Dari Cinta hingga Kecewa

Jangan-jangan kita kecewa sebab keliru menyandarkan harapan pada yang bukan sepatutnya disandari?2 min


3
3 points

Di pelataran rumahnya, Cak Slamet menikmati kopi bikinannya sendiri. Selagi Cak Slamet sedang meracik dan melinting tembakaunya, tiba-tiba Judy datang dengan muka lemas dan kusut persis seperti sarung yang dikenakannya.

Lho, Jud, kenapa kok lemes gitu? Apa lagi ndak ada duit?” Ujar Cak Slamet dengan nada mengejek si Judy.

Halah, Cak, Sampean ini kok gitu. Mbok ya ngertiin aku gitu, lho.”

“Kan aku sudah tanya itu tadi… Gimana aku bisa ngerti kalau kamu ndak cerita, Jud. Aku bukan dukun apalagi calon pejabat yang tahu masa depan. Ya, walaupun banyak kelirunya, sih.”

Hmmmm…. Ternyata dia sudah ada calon, Cak. Ndak lama lagi mereka mau nikah,” gumam Judy

Cak Slamet terbahak-bahak mendengar jawaban Judy, “Hahaha …. Rasakan itu, Jud!”

“Lah kok malah ketawa, toh, Cak, sampean ini. Ngertiin aku gitu, lho …..” Judy nampak makin kusut.

“Ngertiin itu gimana? Ngasih semangat? Semangat thok ya semua orang bisa, Jud. Ndak perlu repot-repot kesini kalau cuma pengen aku bilang semangat, hahaha….”

“Aku ini sudah berharap dan percaya sama dia. Malah aku diberi harapan palsu, heuheuheu….”

“Terus kenapa? Kamu kecewa setelah keinginan dan harapanmu disirnakan sama kenyataan?”

“Iya, Cak. Inginku buat memilikinya musnah seketika, sesudah tahu dia punya calon. Jelas-jelas aku kecewa dong, Cak. Siapa yang ndak kecewa kalau sudah kayak begini ….”

“Memangnya mencintai itu harus memiliki, Jud? Atau kalau ndak memiliki, minimal kamu ingin dicintai balik. Begitu?” Judy mengiyakan.

Bukankah cinta itu suatu kondisi dalam jiwa manusia? Dan mencintai itu perilakunya, sebuah dinamika aplikasi pada sesuatu yang diluar dirimu; barang, hewan, tumbuhan, manusia, dan lain-lain.

Kalau mencintai itu harus memiliki atau mendapat feedback—dicintai kembali—, itu mencinta atau meminta? Dan bukannya cinta itu sendiri dilimpahkan Allah ke kita untuk kita terapkan dan kita distribusikan pula?

Meminjam dhawuh-nya Presiden Jancukers, Mbah Sujiwo Tejo, “Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kamu merasa berkorban, saat itu juga cintamu mulai pudar.” Bukankah kita tahu bahwa cinta yang radikal adalah mencintai tanpa merasa berkorban. Sebab ketulusan turut menyertai cinta itu sendiri.

Aduh, Cak. Sudah tentu aku ini merasa berkorban, ya. Aku merasa selama ini sia-sia semua. Menyisihkan banyak tenaga dan waktu untuk seseorang yang bahkan ndak menghargaiku,” sesal Judy.”

“Tak dibalas cintamu bukan berarti kamu ndak dihargai, Jud. Apa kamu merasa dia menjatuhkan martabatmu sebagai manusia cuma karena dia ndak menunjukkan pembalasan terhadap cintamu?”

Bayangkan saja, bila mencintai harus memiliki dan harus dicintai balik—yang umumnya membuat kita kecewa bila tak sesuai realita—, bagaimana perasaan Allah kala cinta-Nya cuma digubris sepersekian persen jumlah manusia? Untung saja, main icon of  kehadiran Allah adalah Rahman dan Rahim, yang tak satupun manusia bisa berdusta akan kenikmatan kasih sayang yang diberikan-Nya.

“Itulah Tuhanmu, Jud. Tak henti-hentinya merahmati manusia seperti kita, meskipun kita seringkali luput untuk sekadar berterimakasih pada-Nya.”

Judy tampak agak tenang dengan tangannya yang mengambil secangkir kopi untuk diminumnya. “Lantas, setelah ini semua aku harus bagaimana, Cak? Atau … bagaimana biar aku ndak gampang kecewa lagi kedepannya?”

“Begini, Jud. Ini semua tentang harapan. Coba kita lihat lebih jernih. Yang bikin kamu kecewa sama seseorang itu, apakah karena kamu kecewa dia mengingkarimu? Atau karena kamu saja yang berharap terlalu banyak?” Pertanyaan reflektif dari Cak Slamet ini betul-betul membuat Judy terkejut. Judy merasa bersalah karena sudah menghakimi “Si Dia” sebagai penyebab utama kekecewaannya.

“Oh iya, atau mungkin kamu keliru menyandarkan harapan pada yang bukan sepatutnya disandari?”

“Duh ….” Keluh Judy dengan segudang rasa bersalah.[SW]

————————

Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya, dsb. dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi‘.

Baca juga seri “Koma” lainnya:

  • Koma 1: Negeri itu Bernama “Media Sosial”
  • Koma 2: Pseudo Merdeka
  • Koma 3: Dislokasi Kebenaran
     _ _ _ _ _ _ _ _ _
    Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
    Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
    Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 
    Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

Like it? Share with your friends!

3
3 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
3
Sedih
Cakep Cakep
4
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
10
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
6
Wooow
Keren Keren
5
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Duljabbar

Master

Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang | Kini sedang mblakrak di Yogyakarta

3 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals