Jika mengamati fenomena yang terjadi menjelang Pilkada, baik pada tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, hal yang paling umum yang bisa diamati adalah sosialisasi kebijakan populis para calon pemimpin daerah yang sedang menjabat.
Kebijakan populis ketika ditarik dalam pengertian yang positif tentu kebijakan itu berorientasi pada kepentingan orang banyak yang akan membawa pemerintahan itu dalam sejarah keemasan. Namun, jika pengertian ini dibawa kepada konteks kekinian, maka makna itu mengalami pergeseran yang negatif. Sehingga sering kita mendengar bahwa kebijakan populis hanyalah kedok untuk menaikkan popularitas pemegang kekuasaan dan belum tentu kebijakan itu mencerminkan keberpihakan pada rakyat.
Kebijakan yang berpihak pada masyarakat memang seharusnya menjadi karakter pada setiap kebijakan pemerintah dalam waktu yang panjang bukan berlaku secara temporal dan atomistik.
Hampir setiap daerah menerapkan kebijakan-kebijakan populis yang cenderung bertujuan mempertahankan kekuasaan. Kesehatan dan pendidikan gratis yang merupakan program nasional menjadi kebijakan andalan kabupaten, apalagi setelah ditambah dengan memasukkan program umroh gratis bagi para Imam kelurahan dan Imam masjid juga beras gratis dan bersubsidi bagi masyarakat yang kurang mampu.
Merujuk pada konsep gerakan Muhammad Baqir Shadr dengan indikator kebangkitan gerakan yang beliau tawarkan, seorang aktivis gerakan seharusnya memiliki prinsip pemikiran yang benar, pemahaman yang benar dan keimanan yang kuat.
Prinsip yang benar berkarakter ilmiah dan logis-rasional harus dimiliki seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya agar mendapatkan pemahaman yang benar dan memiliki keyakinan mutlak atas sikapnya. Kebijakan populis harus berdasarkan prinsip-prinsip ini. Jika kebijakan populis tidak menjadikan prinsip-prinsip ini maka hipotesis saya adalah kebijakan itu dituggangi kepentingan tertentu dan akan berlaku sementara.
Memangkas sebagian anggaran dari instansi/dinas-dinas yang lain untuk menutupi kekurangan kebijakan itu. Kebijakan ini tentu memberi efek ketidakseimbangan terhadap keuangan dinas-dinas yang lain.
Seperti yang kita ketahui bahwa kebijakan populis yang orietasinya pada kepentingan masyarakat banyak mendapatkan tempatnya sebagaimana pengakuan beberapa masyarakat terkait tingkat kepuasan mereka. Namun masyarakat awam tentu tidak tahu dinamika yang terjadi pada pemerintahan tersebut.
Umroh gratis bagi para imam juga merupakan kebijakan populis andalan sebagian Pemda, padahal kebijakan ini tidak terlalu memberi dampak yang signifikan bagi pembangunan baik itu manusianya maupun fisik terhadap kabupaten tersebut. Muncullah kepuasan tersendiri dari keluarga para Imam padahal sebenarnya itu tidak memberi mamfaat apa-apa bagi masyarakat.
Dengan demikian kebijakan populis yang dilandasi pada kepentingan kekuasaan mendapatkan tempatnya. Inilah contoh pemerintahan yang tidak dilandasi dengan prinsip-prinsip dan pemahaman yang benar.
Berangkat dari prinsip-prinsip yang disebutkan di atas melahirkan karakter aktivis yang mempunyai akidah yang mutlak, optimisme (harapan) dan kepentingan pribadi (ego). Seorang pemimpin daerah harus menjadikan kekuasaannya sebagai jalan spiritual yang dilandasi dengan tiga karakter tersebut. Ketiga-tiganya harus seimbang dan sesuai tahapan-tahapannya.
Keyakinan yang mutlak terhadap sebuah kesuksesan pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menalar harapan (optimisme) di baliknya. Namun yang paling penting adalah mampu mengendalikan ego. Ego punya tempat sendiri sebagai penggerak dalam gerakan, namun sering kali juga menjadi bomerang bagi aktivis itu sendiri. Oleh karena itu ego yang dimaksud disini adalah ego yang menjadikan keridha-an Tuhan sebagai kepentingan pribadi.
Jika kepentingan sedari awal dibangun adalah ego pribadi dan kelompok dalam mempertahankan kekuasaan maka harapan (optimisme) masyarakat akan jauh dan dipenuhi dengan kepuasan-kepuasan semu.
Terus bagaimana kesannya jika fenomena tersebut dianalisis melalui konsep etika politik? Dalam politik dilandasi asas kebebasan. Kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan memilih, dan kebebasan berekspresi yang diatur dalam kerangka moral-etik.
Etika politik berorientasi pada moral yang benar yang mendudukkan basisnya pada kepentingan masyarakat luas. Kebijakan populis tentu harus menganut asas ini, namun karena kebijakan populis mengalami pergeseran makna maka untuk sementara penulis mengatakan tidak layak menggunakan kebijakan populis sebagai istilah yang mewakili orientasi etika politik.
Jika dalam etika politik menitikberatkan konsep kemaslahatan bersama maka aspek yang paling relevan dalam masyarakat adalah kelayakan dan keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah masyarakat mengetahui secara objektif keadilan yang mereka rasakan. Sebagai contoh, dengan penghargaan yang didapatkan oleh sebuah daerah sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan paling rendah dengan menjadikan padi sebagai ikon kemakmuran daerah sangat tidak adil menurut penulis.
Misalnya dengan statistik yang objektif bahwa perputaran uang yang terjadi di daerah bukan dari sektor pertanian namun sektor jasa menempati tangga yang paling pertama padahal misalnya di daerah tersebut bisa dikatakan sedikit lembaga yang bergerak dalam sektor jasa. Indikator yang paling memungkinkan statistik itu terjadi karena perputaran uang lewat transaksi penipuan online dan narkoba via ATM dan sejenisnya. Namun ironisnya padi sampai saat ini tetap menjadi ikon penghasilan utama dari daerah tersebut.
Tingkat kemiskinan yang terjadi di daerah tersebut sama sekali bukan andil pemerintah dalam menuntaskan kemiskinan, namun masyarakat telah mandiri karena punya lahan, alat garap dan alat produksi sendiri. Memasukkan padi sebagai ikon kabupaten tersebut merupakan kemunafikan dan hal yang tidak adil bagi petani karena bisa dikatakan peran pemerintah kurang dalam hal pertanian. Perumpaan seperti ini misalnya sangat tidak layak dikatakan sebagai sebuah keberhasilan jika ditinjau dalam kerangka etika politik.
Kemudian dalam etika politik dikenal dengan asas kelayakan. Kelayakan dibangun atas dasar keadilan Tuhan dan keadilan manusia. Keadilan Tuhan berarti setiap manusia memiliki kelayakan yang sama dalam berbagai hal. Namun keadilan Tuhan dibatasi oleh keadilan manusia yang dilandasi pada pencapaian potensi yang mereka miliki.
Berdasarkan asas tersebut jika dihubungkan dalam sistem patronase yang terjadi di beberapa daerah sangat bertolak belakang. Sebagai sebuah contoh kasus, ketika menjelang pemilihan kepala daerah priode kedua untuk pemerintah daerah yang sedang menjabat, bertebaranlah SMS dari pihak petahana kepada seluruh staf dan PNS di bawah naungan pemerintah daerah tersebut. Substansi dari hal tersebut tentu sudah dapat ditafsirkan sendiri.
Setiap staf dan PNS yang ketahuan memilih pasangan lain maka siap dimutasi ke daerah terpencil atau yang paling sadis diberhentikan sebagai PNS. Begitupula dengan jabatan-jabatan penting di daerah hampir semua diisi oleh keluarga penguasa. Fenomena ini sangat tidak memenuhi asas kelayakan dan keadilan.
Kebijakan populis dan sistem pemerintahan yang diktator sangat jauh dari nilai-nilai etis dalam berpolitik dan sangat amburadul dalam dunia pergerakan. Kekuasaan dijadikan sebagai jalan menguasai bukan melayani masyarakat. Kalau bisa menawarkan istilah yang tepat saya lebih memilih istilah “kebijakan etis” sebagai refresentasi dari kebijakan yang berpihak pada masyarakat yang berkarakter ilmiah dan rasional.
One Comment