Kolonialisme (penjajahan) bangsa Eropa yang terjadi berabad-abad itu telah meninggalkan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam. Salah satu yang menjadi korban dari kolonialisme tersebut adalah praktik hukum Islam (syariah). Dalam kelas Contemporary Islamic Law di Fakultas Studi Islam UIII beberapa waktu lalu, kami mendiskusikan topik ini; “separah apa, sih, kolonialisme itu mempengaruhi praktik hukum Islam?”
Diskusi ini dipantik langsung oleh Dr. Muhammad Al-Marakebiy dengan menyodorkan dua bacaan wajib yang masing-masingnya berjudul Colonialism and Islamic Law oleh Ebrahim Moosa dan Orientalism, Colonialism and Legal History: The Attack on Muslim Family Endowments in Algeria and India oleh David S. Powers.
Artikel pertama, yang ditulis oleh Ebrahim Moosa, lebih kepada membahas bagaimana proses kedatangan kolonialisme sampai memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap praktik hukum Islam. Proses-proses tersebut ia jelaskan dalam beberapa kata kunci seperti transkulturasi (transculturation), tandingan (contrapoints), imajinasi sosial (social imaginaries), networks, dan seterusnya.
Menurut Moosa, ketika para penjajah datang untuk menguasai negara muslim, mereka sebenarnya tidak bisa seutuhnya mengganti hukum-hukum yang telah mengakar di negara tersebut karena mendapati banyak penolakan-penolakan. Interaksi antar-hukum penjajah dengan hukum Islam melahirkan entitas hukum baru untuk menggantikan hukum pribumi yang telah lama dipraktikkan.
Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Bercorak Hukum |
Interaksi percampuran inilah yang disebut Moosa sebagai “transkulturasi”. Proses ini dilakukan secara bertahap, dengan langkah pertama yaitu hakim penjajah harus memahami secara total tentang konsep hukum Islam. Untuk hal ini, ada beberapa cara yang dilakukan, di antaranya dengan menerima pelatihan hukum khusus tentang hukum Islam, atau menyediakan teks-teks hukum Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Saya coba contohkan secara sederhana dengan kasus poligami, walaupun barangkali contoh ini agak kurang make sense dan sulit diterima oleh sebagian kalangan.
Dalam hukum Islam (secara fiqih), terutama di masa-masa klasik pra-kolonial, poligami merupakan sesuatu yang diizinkan dan mudah untuk dipraktikkan. Namun, setelah kolonial datang, hukum Islam dipaksa menyesuaikan ide-ide modernitas yang mereka bawa. Misalnya di Indonesia sebagai negara jajahan dan praktik hukumnya banyak dipengaruhi oleh Belanda.
Hukum poligami diatur menjadi sebuah undang-undang (UU), tepatnya di UU Pernikahan. Praktik poligami memang masih diizinkan, tapi dengan aturan-aturan yang ketat dan sulit untuk dipenuhi. Penjajah di sini tidak mengganti hukum Islam tentang poligami ini seutuhnya, namun mereka mengakomodasi hal itu sehingga terjadi percampuran antara hukum Barat dan Islam, yang kemudian melahirkan hukum Islam wajah baru.
Selain transkulturasi, kata kunci contrapoints juga menjadi poin penting. Moosa mengatakan, ketika para penjajah datang ke negara-negara Islam, mereka mencoba menanamkan pandangan kepada jajahannya bahwa budaya dan sistem hukum mereka itu primitif, barbar, dan tidak lagi sesuai dengan dunia modern.
Sebaliknya, mereka meyakinkan dan memastikan bahwa yang paling cocok dan sesuai untuk dipraktikkan adalah budaya dan sistem hukum Eropa (Barat). Kedatangan mereka memunculkan semacam hegemoni dan dominasi epistemik Barat (Western epistemic hegemony) sehingga mempengaruhi cara berpikir non-Barat. Para penjajah mencoba mengaburkan keberhasilan praktik hukum Islam di masa lalu, dan menempatkan hukum mereka sebagai rujukan satu-satunya (the only referent).
Contoh nyata dari penjelasan ini dapat kita pahami melalui informasi dalam artikel kedua yang ditulis oleh David S. Powers. Lebih spesifik, Powers mengkaji pengaruh kolonialisme dan orientalisme dalam hukum Islam, dengan fokus pada hukum wakaf keluarga (family endowment) dan warisan (inheritance).
Ia mengambil kasus di Aljazair sebagai negara jajahan Prancis dan India sebagai negara jajahan Inggris. Sebelum melihat bagaimana pengaruh kolonialisme terhadap praktik hukum wakaf di Aljazair dan India, ada baiknya terlebih dahulu kita pahami istilah wakaf ini dalam pandangan Islam.
Secara sederhana, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas suatu barang untuk diambil manfaatnya. Misalnya seseorang yang memberikan tanahnya kepada masyarakat di satu wilayah untuk dibangun masjid tempat mereka shalat dan ibadah. Artinya, si pemberi tanah tidak lagi menjadi pemilik. Pemiliknya menjadi tidak ada (atau boleh dibilang hanya Allah sebagai pemilik satu-satunya) yang dipakai untuk kepentingan bersama.
Sebenarnya ada dua jenis wakaf dalam Islam;wakaf khairiy dan wakaf ahliy (family endowment). Wakaf khairy yaitu diperuntukkan secara tegas untuk kepentingan bersama, baik yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Sementara wakaf ahliy yaitu wakaf yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga dan kerabat sendiri. Wakaf ahliy inilah yang menjadi objek permasalahan dalam tulisan Powers.
Masalahnya, sejak abad ke-19 M, wakaf ahly ini menjadi kontroversial, terutama di mata para kolonialis Eropa (Barat). Para penjajah menganggap wakaf ahly ini bukan bagian dari hukum Islam, dan mereka berupaya menyebarkan pandangan itu ke dunia publik modern. Mengapa itu terjadi?
Baca Juga: Converging Shari’a and Sufism: Imam al-Ghazali |
Kembali ke artikel Powers, ia menginformasikan bahwa dalam upaya untuk menguasai tanah Aljazair, penjajah Prancis mendapati rintangan berupa praktik hukum Islam di sana tentang wakaf keluarga ini.
Perlu diketahui bahwa dalam hukum Islam, tanah wakaf atau yang di sana dikenal dengan sebutan “habous” itu tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, diambil, atau diwariskan. Wakaf juga tidak dapat dibatalkan dan sifatnya permanen. Karena itu, ketika penjajah Perancis ingin membeli dan menguasai tanah di Aljazair, mereka terhalang praktik hukum tersebut karena sebagian besar tanah di sana adalah tanaf wakaf.
Satu-satunya cara untuk menguasai tanah wakaf tersebut ialah dengan mencoba menggoyahkan dan mempengaruhi praktik hukum Islam. Pertama-tama, penjajah Perancis mencoba untuk melobi para fuqaha’ di sana agar praktik wakaf ahliy ini bisa dimasukkan ke dalam hukum publik (public law) yang mereka tetapkan. Dalam bahasa lain, mereka bermaksud agar wakaf ahliy ini tidak lagi dianggap sebagai bagian dari hukum Islam.
Segala macam upaya dilakukan, termasuk menguatkan undang-undang dengan mengeluarkan doktrin hukum. Dengan bantuan orientalis, mereka berusaha untuk mendefinisikan kembali, dan mereformasi hukum wakaf Islam agar selaras dengan konsepsi hukum Prancis. Hebatnya, mereka berhasil melakukan itu sehingga tanah wakaf yang tadinya tidak bisa dikuasai, menjadi free market, bebas untuk diambil, diperjualbelikan, dan dikuasai.
Tidak hanya itu, mereka juga memberlakukan serangkaian keputusan legislatif dan mengganti hukum Islam dengan hukum Prancis tentang peran negara, kepemilikan tanah, hukum pidana, dan hanya meninggalkan hukum Islam dengan ruang lingkup kecil yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian, dan warisan. Mirisnya, hal ini tidak hanya terjadi di Aljazair saja, tetapi juga menimpa sebagian besar negara-negara muslim lainnya. Wallahu a’lam.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments