Suatu hal yang sudah umum di kalangan para ahli bahwa sebuah riset ilmiah harus didasari oleh beberapa prinsip hingga bisa mengantarkannya ke sebuah kesimpulan yang diharapkan. Kebebasan berpikir merupakan pilar utama dalam riset ilmiah. Sebuah riset tidak akan benar tanpa adanya kebebasan berpikir. Ia lebih luas dan umum dari kebebasan observasi. Maka, kebebasan berpikir harus ada tanpa sedikit pun ikatan hingga manusia mampu berjalan dengan apa yang dikaruniakan Allah Swt terhadap ilmu pengetahuan.
Kebebasan berpikir berasal dari dua sumber, yakni: Pertama, bentuk asli akal manusia itu sendiri. Allah Swt dengan kehendaknya menjadikan bentuk akal manusia bebas dari ikatan yang membatasi gerak langkahnya. Ia bebas berpikir tentang apa yang diinginkannya, dan Kedua, Kaidah-kaidah luar yang mempengaruhi cara berpikir manusia seperti prinsip-prinsip agama, duniawi, hukum-hukum, peraturan-peraturan sosial dan apa yang dilahirkan oleh pemahaman dan nilai-nilai yang secara langsung mempengaruhi persepsi dan pola berpikir. Begitu juga metodologi riset meletakkan hal-hal tersebut dengan porsi yang tepat.
Kebebasan berpikir dalam ilmu pengetahuan ditegaskan dalam surah Al Ghaasyiyah ayat 17-22 dan surah Yunus ayat 101. Allah Swt membatasi fenomena-fenomena yang harus dianalisis manusia. Ini merupakan prinsip penting dalam riset ilmiah, yaitu pembatasan pokok-pokok permasalahan, sebagaimana dalam surah Al Baqarah ayat 164, dan surah Al An’am ayat 38. Kemudian Allah Swt merinci kekhususan-kekhususan fenomena-fenomena tersebut, hingga dapat memudahkan manusia dalam mengkajinya dan mengambil manfaat darinya (Surah An Nur ayat 43-44).
Sebuah riset ilmiah harus didasari oleh argumentasi yang benar, bukan perkiraan, dugaan atau khayalan. Ilmiah bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan yang memenuhi empat syarat, yaitu: objektif, metodik, sistematik, dan berlaku universal. Apalagi bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan (akademik), hendaknya janganlah asal jiplak tanpa didasari suatu landasan yang benar.
Ada lima kecondongan yang menandai sikap ilmiah seorang akademisi, yaitu: Pertama, adanya keinginan untuk mengetahui dan memahami (spirit of science). Kedua, kecendrungan mencari data dan makna yang benar-benar dapat dijadikan patokan yang masuk akal dan dapat diuji. Ketiga, kecendrungan untuk menuntut suatu pengujian empiris. Keempat, adanya penghargaan terhadap logika, Kelima, kecendrungan memeriksa pangkal pikir dengan menyelidiki kebenaran atau kesalahan dan kesimpulan logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari Allah Swt, sebagaimana tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 147 yang menjelaskan bahwa kebenaran itu berasal dari Allah Swt, sebagai seorang hamba hendaknya janganlah ragu atas kebenaran Allah Swt tersebut. Selanjutnya dalam surah Yunus ayat 82 yang berisikan tentang Allah Swt akan mengokohkan yang benar dengan ketetapannya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukainya. Dengan demikian, kebenaran yang ilmiah itu bersumber dari keyakinan ilmiah (Allah Swt) setelah penelitian secara mendalam atas pembenaran hati secara bulat.
Allah Swt memperingatkan dan melarang hambanya mendalami sesuatu tanpa ilmu. Ini merupakan prinsip dasar dalam riset ilmiah. Firman Allah Swt dalam surah Al Isra’ ayat 36 yang menerangkan tentang larangan agar kita tidak mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan dugaan yang bersumber dari sangkaan dan ilusi yang berasal dari seluruh anggota tubuh (pendengaran, penglihatan, dan hati), karena semua yang kita perbuat akan dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat kelak.
Adapun prinsip-prinsip riset ilmiah adalah: Pertama, Kehidupan manusia tidak akan tegak dan berkembang tanpa adanya riset dan penemuan-penemuan ilmiah yang dilakukan dengan usaha sungguh-sungguh. Karena kehidupan harus mengikuti rel kemajuan dan meningkat ke standar yang lebih baik. Maka, dalam kehidupan ilmiah harus ada yang memperdalam ilmu dan riset pengetahuan (surah At Taubah ayat 122). Kedua, Tidak mengikuti sesuatu tanpa analisis (Taqlid A’ma-Pen). Ketiga, Tidak statis terhadap pandangan-pandangan Islam. Keempat, Tidak mengikuti sesuatu pemikiran tanpa periksa dan analisis dengan menggunakan akal yang telah dikarunikan Allah Swt kepada seluruh manusia (surah Al Baqarah ayat 170). Kelima, Tidak tunduk terhadap ideologi-ideologi dan pemikiran-pemikiran lama tanpa memeriksa dan menganalisis kebenaran dan kegunaannya (Surah Al ‘A’raf ayat 179).
Adapun tujuan riset adalah untuk mendapatkan hasil yang berguna dalam memperbaiki tingkat kehidupan beragama berdasarkan syariat Islam (Surah Yunus: 101, Al A’raf: 179, Al Hajj: 46, Asy Syura: 27, Al furqan: 2, dan Al Isra’: 16).
Jelaslah bahwa sesungguhnya Allah Swt selain telah mengaruniai ilmu dan akal kepada hambanya, juga menerangkan metode riset, cara dan alat-alatnnya. Sehingga kita dapat menemukan hakekat agar sampai ke dalam inti persoalan-persoalan yang sedang diobservasi.
Tujuan akhir dari ilmu adalah mendapatkan petunjuk dari hakekat-hakekat persoalan itu. Segala makhluk Allah Swt baik hidup maupun mati disediakan dan ditundukkan untuk hal tersebut. Selain itu, manusia bisa menunaikan tugas sucinya yang diridhai Allah Swt di atas bumi ini. Firman Allah Swt dalam surah Luqman ayat 20 yang menerangkan tentang perintah untuk memikirkan dan memperhatikan nikmat-nikmat Allah Swt serta tercelanya sikap taqlid buta.
Dengan demikian, sebagai seorang hamba Allah Swt yang selalu melakukan riset demi tercapainya kemajuan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, hendaklah kita tidak melakukan plagiarisme yang disertai sikap asal-asalan dalam merujuk sesuatu tanpa disertai dengan adanya kebenaran yang objektif dan akurat.
MOHON SERTAKAN REFERENSINYA KAK