Ada teman yang suka bertanya kabar perkuliahan saya. Memborbardir sejumlah pertanyaan “How are you”, “Hoe gaat het met je” atau semacam “Kaifa haal” mengenai dunia pendidikan saya. Lalu saya dipaksa untuk menjawab seolah-olah aku ini orang hebat, megalomaniak yang tak perlu dan tak peduli pendidikan. Hahaha. Tentu itu membuatku bingung harus melarikan jawaban ke mana. Awas saja kalau esok saya kalian Mark Zuckerberg-kan, Ibu Susi-kan, Buya Hamka-kan, Caknun-kan, Anne Frank-kan, Bob Sadino-kan, aku akan tampar kalian semua.
Deretan safari pendidikan saya sudah tidak lebih penting dari sebatas Tuhan tatkala menjejalkan butiran nyawa kepada seekor lalat, lalu hidup, lalu “pendidikan” membuatnya belajar menerbangkan diri, hinggap di telethong-telethong pinggir jalan, terbang, hinggap lagi, terbang, hinggap lagi, namun tiba-tiba aku ditabok mati oleh tangan kasar orang yang kesal makanannya dihinggapi kakiku.
Saya bukan dari kaum akademisi dan intelektual, ataupun geng matematikawan. Bukan dari komplotan sarjana, pergumulan doktor, sekelompok cerdik-pandai, anggota konsorsium ilmuwan, ikatan profesor, golongan jauhari-jauhari, maupun kelas Begawan Puisi dan Pujangga Murni─jangankan seorang pakar, Shifuu, atau Grand Master di bidang ilmu dan fokus pengetahuan manapun. Sebab saya sendiri menempuh koridor pendidikan formal hanya sekadar “apen-apen” saja. Saya emut sebentar, kok kurang mengena tekstur dan muatan rasanya, untuk kemudian melepehnya.
Akhir kesibukan pendidikanku adalah “masuk ke dalam”. Menemukan dan mendata sejumlah diri saya di lapisan-lapisan paling dalam saya berikutnya. Dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan “merekognisi” keseluruhan diri saya. Dengan begitu semakin jelaslah “identitas siapa” dan “kenapa meng-ada” serta mengetahui lebih luas kapasitas, batasan dan potret keseluruhan diri saya daripada saya di tahun-tahun sebelumnya. Cukup tahu dan bercermin diri, andaipun soal dunia pendidikan, kalau sejumlah perangkat pendidikan dunia dan rakitan kurikulum dari negara manapun digabungkan, maka niscaya tak akan mampu mengkatrol kebodohan saya.
Saya berada pada semacam titik bodoh ekstrem, yang bahkan titik yang dianggap Masyarakat Kepintaran sebagai “kebodohan” pun saya masih berada jauh di nadirnya, masih jauh tertinggal jarak kemampuan kecerdasanku untuk menyentuhnya. Status puncak percapaian eskalasi keilmuan saya sudah finish kepada kebodohan. Dikarenakan kebodohan-kebodohan saya makin hari makin complicated dan mengkhawatirkan, semakin kronis dan meningkat terus-menerus stadiumnya:
Maka saya putuskan untuk sungkem kepada dunia pendidikan formal dan perangkatnya, nuwun sewu dan pamit, melambaikan tangan sembari berterima-kasih kepadanya, bahkan merasa cukup kasihan terhadap Mbah Pendidikan yang sudah setia hadir, menggendong, menimang-nimang dan berusaha keras mengerahkan segala formula kemampuan mengajar, keikhlasan pengabdian dan rumus keilmuan kepada saya tanpa ia pernah tahu cucunya ini sudah tidak bisa diapa-apakan. Maka untuk beberapa kuartal atau triwulan berikutnya: persoalan sekolah, perkuliahan, dan dunia semacam “academic express”: saya membuang jauh-jauh omong-kosong itu.
*
Untung, saban hari saya “lebaran” terhadap diri saya. Sowan kepada diri saya lalu beridulfitrian tanpa interval dan waktu jeda. Selagi Tuhan masih memperizinkan kepada waktu untuk melingkupi perjalanan saya, maka aku istiqomah mengajak di tiap kokok fajar supaya saya selalu bersalaman dengan diri saya. Berjabat tangan kepada hati-perasaan dan jiwa-ruh saya. Saya mencoba selalu secara konsisten komunikatif kepada diri saya sendiri untuk tidak saling bertengkar satu sama lain, raga dan batin, jasad dan ruh, pikiran dan hati, keinginan relatif dan kebutuhan mutlak.
Bukan karena saya orang yang karakter hidupnya “bermaafan”, pandai untuk berlegowo, berpikiran dingin dan berhati lembut, tidak emosian dan tempramental, konsep hidupnya adalah: kasih, cinta, rahmat. Karena justru hanya dengan begitulah, saya bisa sejenak Puji Syukur-Alhamdulillah menjadi agak meredamlah bentuk-bentuk ledakan kemarahan saya terhadap segala konsep apapun yang dunia sibuk tata perihal pendidikan praktis atau apapun di sejumlah persoalan materialistis lain yang melingkupi dunia ini, yang toh-toh ujung tombaknya adalah untuk me-remote, memperobotkan saya dan bersifat “kapitalis” kepada diri saya.
Lebaran itu bukan sebuah pola. Bukan sejenis siklus tahunan yang berputar-putar dan tidak ada titik temuan akhir yang menghantar kepada kemaslahatan umat, perbaikan kualitas hidup, kedamaian, dan atmosfer kesejukan sosial. Bukan formalitas yang sekadar “pasang wajah” dan “absensi harga diri”. Bukan sejenis yang kusebut sebagai Lebaran Hologram. Lebaran yang semu, yang penuh ambigu dan dekonstruksi wajah, yang yaqlibul quluub, yang rentan ketika diubah view dan angle-nya maka berubah pula susunan dot-dot mozaik yang memformulasikan gambarnya.
Lebaran harus sudah sepanjang waktu, eternal dan tidak bisa disekat oleh dimensi waktu, dikompres dulu-sekarang-besok, dibatasi tempat, dipagar oleh di sini-di sana-di situ-di mana-mana aku dan kau berbeda keberadaan, letak dan posisi. Lebaran harus sudah di segalanya dan tidak boleh plin-plan terhadap waktu, tujuan dan intensinya. Lebaran jangan hanya menjadi rutinitas per-12 bulan yang tak jelas arah, haluan, jurusan, sasaran, target, dan destinasi pengadaannya, mau dari mana dan mau ditujukan ke mana.
Lebaran yang hanya penebus dosa sosial masa lalu, tapi membuat bahkan merancang lagi dosa sosial masa depan. Katanya nol-nol tapi esok buka warung lagi potensi-potensi penumpukan dosa. Lebaran yang cuma konsep “mudik tahunan”. Tujuan mereka pergi untuk pulang kembali ke koordinat yang sama. Mereka hanya pulang naik angkot, bus, sepeda motor, kapal dan kereta api pergi ke kota halamannya beberapa saat untuk kemudian balik lagi ke Kampung Kerja Ibukota. Idul Fitri yang seperti “.Gif”: berupa transisi dari keburukan kepada kebaikan untuk kemudian balik kepada keburukan lagi. Kemaren rasan-rasan. Sekarang bermaafan. Besok kembali makan daging saudaranya.
Namun kalau kau temui aku begitu, bukan berarti aku membencinya, aku masih mencintai konsep dan formulasi lebaran yang ada. “Masih” bukan berarti sebab aku mau, melainkan terpaksa. Karena omongan yang aku lontarkan ini penuh dengan ancaman-ancaman, yang sekali aku publikasikan, akan muncul anak panah-anak panah dari berbagai sudut, diserbu berbagai serangan dan agresi-agresi Mind War dari wilayah budaya, agama, maupun kearifan lokal setempat.
Lebaran ala Nusantara seperti yang sekarang ada saja, yang diadatbudayakan oleh tiga negara leluhur melayu, Indonesia, Brunei dan Malaysia, anggap saja berhasil mensugesti keinginan rohanimu sehingga tampak sudah sangat bagus di mata lahiriyahmu. Mekanismenya anggap saja sudah sangat epik, sarat makna, dan sejenak bikin hati mendadak sejuk, juga terharu.
Terkadang aku malah berpura-pura menangis: Ya Allah… Mereka-mereka itu rumahnya Jabalkat. Mereka rela berlebaran dengan terik, debu dan menciumi knalpot jalan raya. mengejar rumah orang-orang penting dan meaning-pont di hidupnya. Keluarga, guru-gurunya, teman SMP-SMA-Kuliah-Hidupnya, ataupun sanak-kerabatnya sesama manusia, juga handai taulannya, menyisihkan waktu-waktu berharganya, mem-pause pekerjaannya, yang juga terkadang mereka bepergian ada yang bersepeda motoran, onthel, berjalan kaki diguyur hujan lebat. Mereka tetap tersenyum. Mereka ikhlas. Mereka manusia-manusia Pemaaf dan Pencari Maaf Tuhan─Mungkin bagi kalian sederhana. Tapi bagiku ini, kuanggap, sesuatu yang berarti.
Cintaku kuradiasikan sejauh mereka berada, kepada mereka yang sejenis itu, yang gemar mendedikasikan dirinya di wilayah relasi sosialnya sebagai: Penyambung Silaturrahim, meskipun hanya sepercik, setetes, seatom. Karena cintaku “meng-ada” untuk mereka maka aku pun juga ingin mereka “meng-ada” dalam diriku. Kalaupun tidak bisa mereka melebur dalam wujud saya, maka setidaknya melewati konsep-konsep berhidup yang mereka lakonkan untuk aku terapkan kepada diri saya:
Begitu aku sudah finish lebaran pada diri saya, kuputuskan lanjut lebaran kepada manusia. Lebaran kepada lingkungan. Lebaran kepada jaringan organisasi. Lebaran kepada mekanisme kehidupan. Lebaran kepada pagar agama. Lebaran kepada alam dan materi-materi. Lebaran kepada dimensi-dimensi. Lebaran kepada Malak. Lebaran kepada Mr. Iblis. Lebaran kepada Kanjeng Nabi. Lebaran kepada Allah.
0 Comments