“Ekosentrisme etika lingkungan hidup, merupakan teori paling mumpuni demi terciptanya tatanan lingkungan yang sejahtera.” (A. Sonny Keraf)
Beberapa dari kalian mungkin mengheningkan pertanyaan, apa itu etika dan bagaimana pengaplikasiannya? Pada dasarnya, etika merupakan ilmu yang merangkai tindakan dalam aturan kaidah hidup baik sebagai manusia. Artinya, etika memberikan ajaran melaksanakan perintah kemudian menghindari larangan yang ada di dalam norma kehidupan.
Etika memberikan solusi bagaimana manusia harus bertindak sesuai aturan kemanusian, dan tindakan itulah yang dinamakan moralitas. Perlu kalian ketahui, selama manusia masih berada di muka bumi ini, etika akan terus memiliki perkembangan dalam segi teori maupun aplikasi. Salah satu perkembangnnya yaitu etika lingkungan hidup, penasaran mungkin akan melanda kalian para pembaca, benarkah begitu?
Etika Lingkungan
Mulai dekade 1970-an, etika mengalami perkembangan pada objek kajiannya, tidak lagi hanya berperan pada antar manusia, melainkan seluruh biotik yang memiliki hak untuk hidup. Etika lingkungan hidup mendatangkan kajian-kajian teori mengenai bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam.
Baca Juga: Enam Etika dalam Hidup Manusia |
A. Sonny Keraf, di dalam bukunya menjelaskan mengenai aspek-apek etika lingkungan hidup yang dibagi dalam beberapa term, antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme. Namun, kritik habis-habisan tertuju pada pandangan antroposentrisme karena dianggap paling dangkal hanya mementingkan diri manusia. Dari buku tersebut, mungkin tidak sedikit para aktivis lingkungan hidup yang menjadikannya sebagai daftar pustaka demi menghilangkan kerancuan manusia memandang alam.
Sebagian manusia bangga mengenai perkembangan teknologi di dunia. Sebagian lagi sedang meratapi kesedihannya karena kehilangan alam ataupun anggapan bahwa teknologi sudah maju tetapi kehidupan masih begini-begitu saja. Padahal dalam eksploitasi alam seharusnya sebuah negara sudah dikatakan maju, tidak berkembang lagi. Dapat dikatakan bahwa antroposentrisme hanya dimanfaatkan oleh negara-negara maju demi naiknya nilai ekonomi, sehingga pemanfaatan lingkungan direalisasikan demi kepentingan manusia.
Ekosentrisme sebagai teori etika lingkungan mengkritik habis-habisan pandangan antroposentrisme yang dinilai dangkal dalam menilai alam (shallow environmental ethics), antroposentrisme dinilai hanya ‘demi’ kepentingan manusia tidak merupakan tindakan deontologi menjalankan etika.
Mengenal Ekosentrisme
Penulis akan mengkaji mengenai teori etika lingkungan hidup ekosentrisme, dengan pandangan bahwa teori tersebut paling relevan untuk dijadikan tuntutan kesejahteraan lingkungan. Eksploitasi, pembuangan limbah, maraknya pabrik-pabrik, mungkin bisa mengandalkan teori ekosentrisme sebagai patokan agar manusia memperlakukan alam memiliki batas wajarnya.
Namun, semuanya kembali lagi kepada manusia, manusia sebagai pelaku moral harusnya dapat memperlakukan seluruh biotik di luar manusia sebagai sahabat, bukan justru memporak-porandakan demi nafsu berahinya terhadap alam(Naess, 2010). Seluiruh biotik di luar manusia itulah merupakan objek moral yang diperlakukan secara moral demi keutuhan itu sendiri.
Baca Juga: Islam dan Etika Lingkungan |
Ekosentrisme merupakan perluasan dari etika lingkungan biosentrisme dengan perluasan pada korelasi biotik, sedangkan ekosentrisme memiliki perluasan pada ekologi (Keraf, 2002). Jadi, biosentrisme mengungkungkan etika lingkungan pada manusia, hewan dan tumbuhan, ekosentrisme lebih dalam lagi, yaitu pada bagian yang dirasa dibutuhkan demi kelangsungan hidup (air, udara, dan lain sebagainya) agar rantai ekologi tetap terjaga. Ekosentrisme memberikan ajaran etika bahwa manusia sebagai pelaku moral sedangkan segala sesuatu di luar manusia biotik maupun abiotik merupakan objek moral yang harus diperlakukan manusia berdasarkan moral.
Ekosentrisme dengan keinginanya agar setiap individu memanfaatkan alam dengan sewajarnya, tujuannya agar alam tidak rusak dan diklaim menjadi korban. Paul Taylor, di dalam artikel yang ditulis oleh David Schmidtz yang berjudul “Are All Species Equal?” memberikan asumsi bahwa manusia merupakan egalitarianisme spesies, bahwa manusia merupakan anggota komunitas kehidupan di bumi, dan makhluk hidup lainnya merupakan suatu anggota komunitas tersebut(Schmidtz, n.d.).
Selanjutnya, manusia dengan sesama komunitas di bumi merupakan elemen integral yang saling bergantungan. Misalnya, manusia membutuhkan bulu domba sebagai penghangat tubuhnya dan manusia membutuhkan tumbuhan sebagai multi-vitamin dan oksigen melalui fotosintesisnya, walaupun hewan juga demikian, tetapi hewan tidak memiliki akal se-sehat manusia.
Pada keadaan seperti itulah manusia membutuhkan pola pikir ini demi terjaganya ekologi yang mumpuni untuk kehidupan di masa sekarang dan akan datang. Derajat manusia sebagai pelaku moral untuk menjaga keutuhan tatanan lingkungan merupakan paling tinggi di dalam rantai kehidupan, sehingga terciptalah manusia sebagai pelaku moral dan di luar manusia sebagai objek moral.
Respect for Nature
Ekosentrisme mengajari kita untuk hormat setinggi-tingginya terhadap alam dengan asumsi alam telah memberikan keuntungan kepada manusia berupa melangsungkan kehidupan yang sementara di bumi ini. Kebutuhan-kebutuhan manusia mungkin telah tercukupi, namun ke-serakahan atau egosentrik setiap orang melampaui batasnya, hal demikianlah yang harus dimusnahkan atau dikurangi.
Sebagai suatu balasan manusia kepada alam, sudah sewajarnya manusia mengapresikan dengan hormat terhadap alam melalui menjaga ekologi, merawat, melindungi tatanan kehidupan. Dengan bayaran, di masa sekarang tidak sedikit manusia memperoleh keuntungan cuan dari hasil alam sebagai contoh, konten kreator, pertanian milenial, tanpa harus menghancurkannya.
Tanggung Jawab terhadap Kerusakan Lingkungan
Ajaran ekosentrime selanjutnya adalah manusia sebagai pelaku moral sudah sewajarnya bertanggung jawab atas kerusakan alam. Bukan sebagai beban untuk menjaga dan merenovasi alam atas kehancurannya, karena mau bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk yang membutuhkan alam paling banyak. Bahkan untuk bernapas segar manusia perlu tumbuhan-tumbuhan melalui fotosintesisnya. Untuk menghilangkan hama padi, misalnya tikus, manusia perlu ular, begitulah simpel kerjanya alam.
Derajat manusia paling tinggi setelah Tuhan, di posisi itulah manusia memiliki tanggung jawab untuk mengelola sesuatu yang berada di bawah derajatnya. Hewan, tumbuhan, dan sesuatu yang menjadi kelangsungan hidupnya perlu diperlakukan secara moral demi terciptanya ekosistem yang seimbang.
Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam menjadi kunci untuk manusia, sehingga setiap keadaan yang dipandang merupakan bentuk eksploitasi alam, perlu menawarkan prinsip tersebut demi kesejahteraan alam. Begitulah teori ekonsetrisme etika lingkugan hidup dalam memandang alam, manusia harus rela mengorbankan diri demi terciptanya lingkungan hidup yang sejahtera.
Refrensi:
Keraf, S. (2002). Etika Lingkungan Hidup. Kompas.
Naess, A. (2010). The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement. A Summary*. Inquiry, 16, 95–100.
Schmidtz, D. (n.d.). Are All Species Equal?
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments