“Allah menghidupkan hati dengan pengetahuan yang luhur, dengan cahaya penuh hikmah, seperti menyuburkan tanah yang gersang kering kerontang dengan air hujan.”
Berjibun-jibun hati yang membatu. Menguasai diri dengan pengetahuan egonya. Dikuasai oleh “Aku” dalam benaknya. Enggan menerima pendapat dari luar dirinya. Anggapan-anggapan kebenaran hanya terpusat dalam sikap aku-nya. Betapa malang sikapnya. Dirundung pembenaran-pembenaran sepihak. Keluhuran meta-etikanya tertutup rapat tak kuasa membuka mata hatinya. Membatu kemudian menggumpal di dalam hatinya.
Kesadaran muncul seperti hidayah yang luar biasa. Ide dan ilham terpancar tanpa berhenti sedetik saja. Namun daya tangkap hati dan pikiran tiada kuasa. Enggan merenung di dalam sepi. Bermunajat kemudian mengasingkan hati. Menarik diri dari gemerlap kesombongan duniawi. Kecongkakan akal tanpa budi. Malas introspeksi dan berkaca diri. Tidak ada kegelapan sebenarnya. Kecuali enggan menggapai cahaya. Cahaya yang selalu terpancar dari Tuhan. Menuntun hati menemukan budi pekerti. Akal senantiasa mawas diri. Tanpa beban iri dengki di dalam hati.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 1)
Penyakit hati muncul dari diri sendiri. Ulama didatangi ketika kesulitan melanda bertubi-tubi. Tuhan hanya tempat persinggahan. Yang kemudian dilupakan saat senang. Manusia melarikan diri dari kesadaran. Menunggu tua atau sakit-sakitan. Mungkin memang Tuhan bersemayam di dalam hati ketika sedang kesulitan. Tetapi bagaimana perihal kalam bahwa Ia lebih dekat ketimbang urat leher?
Pengetahuan akan membangun pola pikir. Pola pikiri membentuk pola sikap. Permenungan dalam hati dan kontemplasi membentuk meta-etika kepada Tuhan dan sesama manusia. Rumi seperti menemukan cakrawala ketika berjumpa dengan Syams at Tabris. Dan seharusnya begitu juga bagi setiap manusia, utamanya saya.
Guru adalah pembimbing untuk menuju kepada Tuhan. Guru terbagi menjadi tiga macam: 1). Guru yang hatinya terpancar nilai-nilai luhuru uluhiah, sehingga setiap lakunya adalah akhlak yang mulia. 2). Guru yang dengan kata-katanya memberi manfaat kepada setiap manusia. 3). Guru yang penuh dengan hikmah di setiap tingkah dan ucapannya, ia hanya menyampaikan apa yang pernah ia lakukan. Kemudian menyimpan rapat-rapat pengetahuan yang ia ketahui namun belum ia kerjakan.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 2)
Ketika guru mengangkat derajat murid dari bumi ke langit. Maka murid atau manusia selalu bergandengan tangan dengan gurunya. Maka pengetahuan dan meta-etika adalah satu kesatuan yang ditularkan oleh guru kepada murid. Agar pengabdiannya benar-benar dalam dekapan rahmat Tuhan.
Air butuh pengantar agar ia menjadi panas, yaitu periuk dan api. Begitu juga cinta kepada Tuhan. Yang dibutuhkan adalah ketulusan. Mencintai sesuatu yang gaib namun tampak. Adalah cinta yang sangat besar. Bukan perihal surga dan neraka. Karena cintanya masih sebatas makhluk saja. Begitu juga para guru. Ia mengajar bukan lantaran surga atau neraka. Tetapi bukti cintanya kepada Tuhan. Dengan – tanpa lelah membimbing umat manusia menuju cahaya maha cahaya.
Lenyapnya kedirian, keakuan adalah wujud cinta transenden penyatuan dengan kekasih Tuhan dan Tuhan. Maka miskin menjadi doa dari Nabi Muhammad. Karena sejatinya manusia adalah miskin. Tiada sehelai pakaian pun yang dibawa ketika lahir, pun ketika mati. Hanya kafan sebagai bungkus dan penghormatan sesama manusia. Ketika kembali kepada Tuhan maka tiada lagi kepunyaan.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 3)
Meniadakan keakuan memiliki tujuan untuk memperterang jalan menuju pemahaman. Pemahaman bahwak “aku” manusia bukanlah wujud hakiki. Dan hanya Tuhanlah Maha Segala-galanya. Dari tubuh kau jauh, namun ada jendela di hati yang menghadapmu. Lewat rahasia jendela itulah, seperti rembulan, kusampaikan pesan kepada-Mu.Gambaran dari seorang Rumi tentang ketiadaan.
Sehingga perjalanan menuju Tuhan butuh konsep terus belajar. Belajar memandang diri sendiri. menempakan diri di dalam ruang yang sejatinya memang penuh kelemahan. Dan hanya Tuhan yang Maha Kuasa. Sikap sederhananya adalah dengan selalu berprasangka baik kepada sesama manusia, pun kepada Tuhan. Hal itu yang menjadi semangat belajar khususnya bagi saya. Serta keyakinan bahwa Tuhan akan menyuburkan tanah yang gersang dengan air hujan. Pun begitu di dalam hati yang tiada sama sekali tanaman yang subur ini.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 5)
DI2019
Sumber;
Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi.Penerbit Mizan, Jakarta selatan, 2015
William C.Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, ajaran spiritual Jalaluddin Rumi. Penerbit Qalam,Yogyakarta. 2001
One Comment