Mengenal Pola Segitiga Konflik & Kekerasan Johan Galtung

Perdamaian bukan tidak adanya kekerasan (absence of violence), tetapi terciptanya keadilan sosial. Karena tanpa keadilan sosial tidak mungkin terjadi perdamaian. 5 min


Sumber Gambar: restorativejusticeontherise.org

Pertama dan yang utama saya turut berbelasungkawa dan mengutuk aksi kejam yang akhir-akhir ini terjadi, yakni aksi pembunuhan dan pembakaran rumah ibadah pada Jumat 27 November 2020 di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dalam aksi ini pun diduga dilakukan oleh salah satu kelompok teroris bernama Mujahidin Indonesia Timur (MIT) meski hal ini masih perlu penyelidikan yang lebih lanjut. Namun apapun bentuknya kekerasan tetaplah harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku.

Saya tidak berbicara lebih jauh mengenai kronologis kejadian di Kabupaten Sigi tersebut. Tetapi hanya ingin melihat bahwa ternyata kekerasan baik yang berlatarbelakang agama, etnis, suku dan ras sejak era Orde Baru hingga era Reformasi seperti saat ini kekerasan masih saja berlangsung. Mungkin kasus di Kabupaten Sigi hanyalah satu dari sekian banyak kekerasan yang kelihatan dan jelas terjadi di depan mata. Hal ini terkadang membuat kita kaget dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi?

Kebingungan dan kekagetan ini bukan tanpa alasan, pertama adalah kebingungan mengenai apakah ini murni motif agama atau bukan. Kedua adalah kaget ketika kita gagap dan lamban dalam mengidentifikasi sebuah persoalan yang disebut konflik dan kekerasan. Kelambanan dalam mengidentifikasi persoalan ini biasanya terjadi dalam melihat sebuah dinamika di dalam konflik yang melibatkan banyak pihak. Terkadang tak jarang kita terjebak pada penyederhanaan di dalam melihat persoalan hingga berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan seperti provokasi misalnya.

Baca juga: Mengurai Konflik Etno-Religius dengan Pengalaman Keberagamaan Lokal

Hal yang sering kali terjadi mengenai kekaburan di dalam melihat persoalan mengenai konflik khususnya. Tatkala adanya pertentangan presepsi yang kadang kita tidak mengetahui persoalannya tapi berusaha memahami, sehingga jatuhnya bukan paham tapi “nyinyir”.

Menurut ilmu sosial, konflik sebenarnya baik jika diarahkan untuk kebaikan karena dengan adanya konflik kita mampu memahami kejadian yang selama ini kita anggap aman-aman saja ternyata memiliki banyak masalah. Ibarat peribahasa api dalam sekam, dengan adanya konflik kita menjadi tahu bahwa ada sekolompok orang yang selama ini terpinggirkan ternyata memiliki keinginan yang kadang keinginan ini tidak tersalurkan dengan baik hingga menjadi konflik yang mengarah kepada kekerasan.

Oleh karena itu, Johan Galtung sebagai begawan studi Perdamaian jauh-jauh hari telah menciptakan sebuah teori untuk memahami pola konflik yang terjadi. Pola konflik itu dikenal dengan nama segitiga konflik. Pada akhir tahun 1960-an Galtung mengajukan sebuah model konflik yang berpengaruh, meliputi konflik simetris atau pun konflik tidak simetris. Dia menyatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan rincian: (C): Konteks/Kontradisi. (B): Sikap. (A): Perilaku. Di sini konteks atau kontradiksi merujuk pada dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan”. Hal ini biasanya dirasakan oleh pihak yang bertikai, karena disebabkan oleh “ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial” (Miall, 2000).

teori-sosiologi-konflik-struktural-marx-3-638.jpg

(Contoh Gambar Segitiga Konflik Galtung, Sumber: www.slideshare.net)

Jika merujuk suatu kasus konflik tertentu, setiap pihak memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda dan persepsi yang bertentangan. Oleh karena itu mereka mungkin menghubungan konflik dengan sebab-sebab yang berbeda. Misalnya, mungkin satu pihak menyatakan bahwa akar masalah adalah ketidakadilan, sementara pihak lain merasa bahwa akar masalahnya adalah ketidakamanan. Biasanya di sinilah kekaburan dan ketidakpahaman sebagian kita dalam memahami konflik sosial yang terjadi.

Sebagai contoh konkret lainya adalah ketika masalah kasus pembakaran hutan untuk ladang sawit, menurut masyarakat lokal adanya pembakaran tersebut telah menyebabkan adanya kerusakan alam dan mengusik kehidupan. Tetapi ketika hal itu ditanya kepada pemilik atau perusahaan yang melakukan pembakaran mengatakan bahwa pembakaran itu bukan dilakukan pihaknya, melainkan bencana. Atau mungkin sebaliknya dalam beberapa kasus tertentu.

Hal ini sudah barang tentu, masing-masing kelompok fokusnya pada isu-isu yang dianggap paling penting, dan khususnya lokasi yang paling menderita karena konflik. Semua sebab dan isu ini memang nyata dan penting, dan semuanya harus diatasi sebelum konflik dapat diselesaikan dan situasinya diperbaiki. Sementara itu, banyak sekali usaha untuk menyerang mereka yang pendapatnya berbeda tentang penyebab atau berbagai isu. Tantangannya adalah bagaimana menyadarkan berbagai pihak yang terlibat untuk melihat bahwa semua isu yang berbeda merupakan bagian dari masalah, meskipun beberapa di antaranya tentu saja lebih mendesak atau lebih penting daripada yang lainnya (Fisher, 2000).

Selain itu dimensi dari segitiga konflik ini jika diuraikan dalam beberapa kasus dapat dilihat bahwa: 1). Sikap adalah persepsi anggota etnis tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain. 2). Perilaku adalah sebuah tindakan kerjasama, persaingan atau paksaan, suatu gerak tangan dan tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. 3). Konteks/Kontradiski adalah kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan prilaku sebagai sebuah proses, artinya kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak etnis-etnis yang hidup dalam lingkungan sosial.

Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, dan pada gilirannya melahirkan kontradisi atau konteks. Atau sebaliknya kontradiksi atau situasi melahirkan sikap dan perilaku. Dalam hal ini misalnya persepsi etnis A terhadap etnis B adalah negatif, maka muncul perilaku etnis A yang tidak kooperatif terhadap etnis B, sehingga menimbulkan konteks atau situasi yang kontradiktif atau kurang baik. Sebaliknya, sikap etnis A akan dibalas dengan sikap dan perilaku etnis B dalam konteks melawan (Susan, 2009).

Selain itu, lebih lanjut Galtung berpendapat bahwa ketiga komponen ini harus muncul bersama-sama dalam sebuah konflik total. Sebuah struktur konflik tanpa sikap atau perilaku yang bersifat konflik merupakan sebuah konflik laten (konflik struktural). Arti dari pernyataan ini adalah bahwa pada dasarnya segitiga konflik yang ditawarkan Galtung ini secara tidak langsung juga dapat menggambarkan atau melihat formasi kekerasan yang diakibatkan oleh konflik, yakni kekerasan langsung, struktural, dan kultural.

1602962005.jpg

(Contoh Gambar Segitiga Kekerasan Galtung, Sumber: www.scribd.com)

Jika dilihat dari gambar di atas bahwa terdapat sebuah garis yang menandakan adanya pembatas antara kekerasan terlihat dan tidak terlihat. Setiap masing-masing bentuk kekerasannya dapat dikatakan bahwa: 1). Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan (resource power). 2). Kekerasan struktural adalah terciptanya penggunaan kekuasaan struktural, seperti seseorang yang memiliki wewenang dalam menciptakan kebijakan publik. 3). Kekerasan kultural adalah kekerasan yang berbasis pada ideologis atau budaya (Susan, 2009).

Sebagaimana yang telah disampaikan di atas bahwa mungkin saja kasus yang terjadi di Kabupaten Sigi merupakan salah satu bentuk kekerasan langsung yang terlihat jelas di permukaan. Dan jangan-jangan masih banyak kekerasan yang sebenarnya itu juga bagian dari permasalahan atau konflik, namun karena tidak terlihat menjadi tidak teratasi dengan baik. Bahkan Johan Galtung lebih jauh mengatakan bahwa membiarkan penderitaan, penyakit atau bencana yang diderita sebagian masyarakat bawah, padahal sebenarnya bisa diatasi, adalah kekerasan (Windhu, 1992).

Baca juga: Tantangan dan Peran FKUB dalam Menangani Konflik Antar Umat Beragama

Oleh karena itu, saya pribadi tidak pernah sepakat ketika ada sekumpulan masa yang melakukan aksi kolektif atau demo yang selalu mengatakan bahwa aksi ini adalah aksi damai. Sebab dengan melakukan suatu aksi kolektif saja sebenarnya dia sedang ingin mengangkat masalahnya atau keinginannya agar didengar dan terlihat untuk kemudian dilakukan pendekatan-pendekatan untuk menyelesaikannya. Tentunya itu juga bagian dari masalah, sebab mengapa dia melakukan demo jika tidak ada sebuah masalah yang ingin disuarakan, meskipun aksi itu tidak ada unsur-unsur kekerasan seperti bentrok misalnya.

Sebab sekali lagi menurut Galtung bahwa “perdamaian bukan hanya tidak adanya kekerasan (absence of violence) atau perang senjata. Tetapi juga tercapainya keadilan sosial, karena tanpa keadilan sosial tidak mungkin terjadi perdamaian”. Semoga saja kasus-kasus yang selama ini tidak terleselesaikan dengan baik bisa diatasi segera dengan mengajak semua pihak ikut berpartisipasi demi menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Daftar Pustaka

Fisher, S. (2000). Mengelola Konflik (Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak). London: Zed Books.

Miall, H. (2000). Resolusi Damai Konflik Kontemporer (Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Membangun Konflik Bersumber Politik, Sosisl, Agama dan Ras). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Susan, N. (2009). Penghantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Prenada Media Grup.

Windhu, M. (1992). Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.

__________________

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals