4 Cara Menyikapi Perkara Khilafiyah dalam Islam

Persoalan Khilafiyah memang merupakan suatu keniscayaan di dalam hidup ini. Keniscayaan tersebut harus disikapi dengan bijak demi terjalinnya perdamaian, dll.7 min


1
Source image: pixabay.com

Permasalahan khilafiyah (perselisihan pendapat) bukanlah fenomena baru di era modern ini. Bahkan fenomena khilafiyah sudah sering terjadi di masa Rasulullah, kemudian berlanjut ke era pemerintahan khulafaur rasyidin (istilah umumnya adalah pengganti kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah), dan akan terus berlanjut sampai berakhirnya dunia ini.

Di dalam hadis disebutkan bahwa perselisihan dan perpecahan pada suatu umat akan terus terjadi, dan solusi untuk meminimalisir perpecahan tersebut ialah dengan bersatu kepada inti ajaran Islam dengan meneladani Rasulullah sebagai Al-Qur’an yang berjalan dan para sahabat yang dijamin oleh Rasulullah.

Baca Juga: Manakala Para Sahabat Melakukan Upaya Kontekstualisasi

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي 

Dari Abdullah bin Amru dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pasti akan datang kepada umatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan sandal, sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terangterangan maka pasti di antara umatku ada yang melakukan demikian, sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan, ” para sahabat bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya“. (HR. At-Tirmidzi)

Di dalam hadis lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ 

Dari Abdurrahman bin ‘Amru As Sulami bahwasanya ia mendengar ‘Irbadl bin Sariyah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi kami satu nasehat yang membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka kami berkata kepada beliau; “Ya Rasulullah, sesungguhnya ini merupakan nasihat perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Aku telah tinggalkan untuk kalian petunjuk yang terang, malamnya seperti siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku melainkan ia akan binasa. Barangsiapa di antara kalian hidup, maka ia akan melihat banyaknya perselisihan. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku, dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham. Hendaklah kalian taat meski kepada seorang budak Habasyi. Orang mukmin itu seperti seekor unta jinak, di mana saja dia diikat dia akan menurutinya.” (HR. Ibnu Majah)

Lebih tegas lagi Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Berdasarkan ayat di atas, setidaknya ada kalimat yang perlu kita garis bawahi yakni “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)”.

Artinya, jika kita mendapati suatu perkara khilafiyah, maka kita kembalikan lagi kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun, untuk mengembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah juga tidak bisa hanya dengan bermodalkan terjemah atau membaca ayat dan hadis secara mentah-mentah saja. Karena dalam memahami Al-Qur’an dan hadis, kita harus meninjau ulang asbabun nuzul ayat dan asbabul wurud hadis. Selain itu, kita harus bisa memahami metode dan kaidah dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadis.

Berdasarkan beberapa hal di atas, lantas bagaimana cara kita menyikapi persoalan khilafiyah? Apalagi sebagai seorang awam yang tidak punya kemampuan untuk berijtihad, dan jika kiranya kita memilih beberapa pendapat ulama, bagaimana caranya supaya kita bisa mengikuti pendapat yang paling benar dan rajih.

Tulisan ini setidaknya akan menjawab beberapa pertanyaan dan kebingungan di atas.

1. Meminta Petunjuk kepada Allah

Ini adalah poin pertama dan poin yang paling utama. Karena tanpa taufik dan hidayah dari Allah, meskipun kita telah membaca banyak kitab dan mendengar beberapa penjelasan para ulama dengan mengabaikan pertolongan dan petunjuk dari Allah, maka kemungkinan besar kita bisa jadi condong dan terjerumus kepada pendapat yang sesuai hawa nafsu kita sendiri.

Di dalam surah pertama, surah Al-Fatihah yang merupakan ummul kitab (induknya surah) di ayat ke enam disebutkan:

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦

Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6)

Maka sangat jelas sekali bahwa dalam segala hal termasuk ketika menghadapi persoalan khilafiyah kita harus memohon petunjuk dari Allah.

Rasulullah sebagai teladan bagi kita memiliki watak dan kepribadian luhur serta beragam kebaikan. Apabila Rasulullah menjumpai perkara yang diperselisihkan oleh kaumnya, maka Rasulullah berdoa meminta petunjuk kepada Allah di dalam salat tahajud.

Adapun di dalam hadis Rasulullah memanjatkan doa iftitah di dalam salat tahajudnya:

حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلَاتَهُ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dia berkata; “Aku pernah bertanya kepada Aisyah; `Dengan apa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memulai shalat malam? ‘ la menjawab; `Apabila bangun malam maka beliau memulai salat dengan mengucapkan doa: `Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Sang pencipta langit dan bumi, Maha mengetahui hal-hal yang gaib dan yang nampak, Engkau menghukumi di antara hamba-hambamu dalam perselisihan mereka. Ya Allah, tunjukilah aku kepada kebenaran yang banyak diperselisihkan. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang benar‘. (HR. An-Nasa’i)

Dengan kita berdoa meminta petunjuk kepada Allah, berarti itu menunjukkan bahwasanya kita sedang bertawakkal kepada Allah. Amat sombong kiranya jika kita hanya mengandalkan kemampuan berpikir kita sendiri tanpa memohon pertolongan kepada Allah yang Maha Mengetahui (Maha Menguasai dan Pemilik Ilmu).

Jadi kita harus berdoa terlebih dahulu sebelum membaca buku atau kitab, berdoa terlebih dahulu sebelum bertanya kepada ulama, dengan begitu insyaallah Allah akan menunjukkan kepada kita mana hukum yang paling rajih (hukum yang paling kuat dan paling benar).

2. Meneladani Akhlak Para Ulama dalam Menyikapi Khilafiyah

Di masa terdahulu sering sekali terjadi khilafiyah di antara para ulama. Bahkan imamnya para ulama seperti ulama empat mazhab yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad pun sering terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu hukum.

Walaupun mereka memiliki banyak perbedaan pendapat, akan tetapi mereka tetap sepakat untuk saling menghargai, merasa diri bukan yang paling benar, tidak merendahkan yang tidak sependapat dengannya, memberikan ruang bagi orang lain untuk menyanggah hukum fiqh mereka dan yang paling penting adalah sepakat dalam hal akidah dan mentolerir hal-hal furu’ fiqhiyah.

Terdapat hadis yang menjadi peringatan bagi penuntut ilmu agar tidak meremehkan orang lain dan mendebat para ulama:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّارِ

Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa menuntut ilmu untuk meremehkan orang-orang bodoh, atau untuk mendebat para ulama, atau untuk menarik perhatian manusia, maka ia akan masuk ke dalam neraka.” (HR. At-Tirmidzi)

Di dalam hadis lain, Rasulullah memberi jaminan berupa bonus bagi siapa saja yang meninggalkan debat:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Dari Abu Umamah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan meskipun bersifat gurau, dan aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Dawud)

Beberapa hadis di atas berlaku bagi orang yang dengan sengaja mencari perdebatan dengan orang jahil dalam rangka mencari permusuhan. Jadi hadis tersebut tidak berlaku pada kondisi tertentu seperti; lomba debat antar sekolah dan lain-lain yang ada manfaatnya seperti meningkatkan kreatifitas orang lain.

Intinya dalam segala hal kita tidak boleh sombong, karena sombong adalah lawan dari akhlak mulia. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَرَوَى بَعْضُهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ الْمُبَارَكِ بْنِ فَضَالَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ بْنِ سَعِيدٍ وَهَذَا أَصَحُّ وَالثَّرْثَارُ هُوَ الْكَثِيرُ الْكَلَامِ وَالْمُتَشَدِّقُ الَّذِي يَتَطَاوَلُ عَلَى النَّاسِ فِي الْكَلَامِ وَيَبْذُو عَلَيْهِمْ

Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang akhlaknya paling bagus. Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya dariku pada hari kiamat ialah orang yang paling banyak bicara (kata-kata tidak bermanfaat dan memperolok manusia).” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling banyak bicara itu?” Nabi menjawab: “Yaitu orang-orang yang sombong.” (HR. At-Tirmidzi)

Jadi, hal terpenting dalam menyikapi khilafiyah adalah tetap memperlihatkan dan mempertahankan akhlak yang mulia. Dengan begitu berarti kita telah meneladani Rasulullah karena ia diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

3. Memahami Prinsip Dasar dalam Fiqih dan Ushul Fiqih

Setelah kita mengetahui bahwa hal terpenting dalam menyikapi khilafiyah adalah dengan memohon petunjuk dari Allah dan tetap memperlihatkan akhlakul karimah. Maka selanjutnya adalah dengan kita mendalami ilmu agama, terkhusus dalam ilmu fiqh.

Sebelum itu, perlu untuk diketahui bahwa ada dua masalah pokok yang terlebih dahulu harus kita bedakan:

Pertama, Masalah menyimpang dan sesat. Cirinya keluar dari prinsip pokok agama seperti meyakini bahwa zina itu halal dengan nama lain entah itu disebut mut’ah dan sebagainya atau mengatakan bahwa sahabat-sahabat terdekat Nabi Muhammad dikatakan kafir dan sebagainya, maka ini jelas menyimpang dan tidak bisa ditolerir.

Kedua, Khilafiyah atau perbedaan pendapat adalah yang terjadi antara ulama, bukan antar orang awam. Dikatakan khilafiyah karena masing-masing ulama dalam menyikapi suatu persoalan yang mereka bahas sama-sama mempunyai dalil. Khilafiyah ini hanya terjadi dalam wilayah furu’ (cabang), bukan ushul (pokok), maka ini bisa ditolerir dan harus ditolerir.

Adapun furu’ dalam hal ini ada dua macam:

1. Furu’ itiqdiyah ( cabang dalam wilayah akidah seperti pembahasan mengenai ayat-ayat sifat, ayat tentang tangan Allah, ayat tentang semayam Allah di atas Arsy, dsb).

2. Furu’ fiqhiyah (cabang dalam masalah fiqh seperti bacaan bismillah dalam salat dibaca jahr (suara keras) atau sirr (suara pelan) , qunut subuh dan tidak qunut subuh, salat tarawih 11 atau 23 rakaat, dsb). Istilah lain dari furu’ fiqhiyah adalah khilaf mu’tabar.

Dalam beragama, perkara ushul (pokok) tidak boleh berbeda sedangkan perkara furu’ (rincian) agama boleh saja berbeda sesuai dengan argumen masing-masing yang dilandasi oleh dalil-dalil yang kuat.

Menyikapi furu’ fiqhiyah atau khilaf mu’tabar ini perlu bijaksana, saling berlapang dada dan tidak kaku serta tidak mencela orang lain yang bersebrangan dengan pendapat dirinya.

Terkadang seseorang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar dengan dengan mencela orang lain dan menyampaikan pendapatnya dengan sombong dan kasar, padahal bisa jadi dia yang belum membaca dan mempelajari pendapat ulama lain yang juga memiliki dalil dan hujjah yang kuat juga.

Pada intinya orang yang kaku dan merasa dirinya paling benar dalam beragama bisa jadi orang tersebut belum belajar banyak dan belum menguasai ilmu agama dengan baik.

Baca juga: Modernisasi dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam

4. Membahas Khilafiyah, Namun dengan Koridor yang Benar

Di Indonesia terdapat tiga puluh dua ormas Islam, namun yang paling terkenal, paling banyak memberi pengaruh dan paling mewakili ormas-ormas lain setidaknya ada dua yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Tujuan dari ormas adalah untuk menyatukan bangsa sekaligus memperkuat suatu bangsa. Maka dengan adanya ormas Islam dapat berarti menyatukan sekaligus memperkuat kualitas masyarakat Muslim.

Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dapat diibaratkan seperti dua sayap perdamaian di Indonesia. Apabila salah satu sayap lenyap, maka hilanglah keseimbangan perdamaian tersebut.

Baca Juga: Menjaga Kebersamaan Ummat, Menjaga Keberlangsungan Bangsa dan Bernegara

Ada kalanya kedua ormas tersebut sangat akrab, tetapi ada kalanya kedua ormas tersebut saling bersinggungan. Tentu ada konteks dan situasi yang terkadang mempengaruhinya, dan hal tersebut wajar-wajar saja sebagaimana hubungan antar manusia, suami-istri, dan lain-lain. Tentunya itu semua bersifat dinamis.

Namun dengan kedewasaan serta kesadaran, pada akhirnya pun mereka menyadari bahwa energi umat Islam seharusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif dan pada akhirnya mereka kembali lagi untuk bersatu.

Terkadang selain perseteruan eksternal antara Nahdatul Ulama dengan Muhammadiyah, terkadang juga terjadi perseteruan internal mengenai perbedaan pendapat di masing-masing ormas.

Maka dari itu, lahirlah lembaga khusus untuk menyelesaikan perseteruan internal di masing -masing ormas tersebut yakni di kalangan Nahdatul Ulama dikenal lembaga “Bahtsul Masail”, dan di kalangan Muhammadiyah dikenal lembaga “Majelis Tarjih”, dan begitu pula lembaga-lembaga lain dengan beragam istilahnya.

Fungsi dari lembaga-lembaga tersebut salah satunya ialah untuk mengkaji ulang setiap permasalahan, termasuk permasalah khilafiyah (perbedaan pendapat) yang ada di kalangan masyarakat ormas tersebut yang nantinya lembaga-lembaga tersebut akan mengeluarkan sebuah fatwa sebagai bentuk arahan kepada masyarakat yang berafiliasi di masing-masing ormas.

Dalam hal ini, kita harus mengakui bahwa lembaga-lembaga tersebut mengeluarkan fatwa dengan metodologinya masing-masing dan dengan bermusyawarah, bukan dengan buah pikiran sendiri.

Mereka semua yang bermusyawarah adalah orang-orang hebat dan memang mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu agama.

Betapapun kedua lembaga tersebut berbeda pandangan dalam banyak hal, namun jika diamati lebih seksama dapat kita temukan banyak persamaan dari dua ormas tersebut. Di antaranya masih tetap berafiliasi sunni, substansi fatwa yang ditetapkan, kedekatan kultural, garis keturunan pendirinya, dan paling penting adalah kenyataanya bahwa perbedaan-perbedaan mereka hanya pada masalah furu’ fiqhiyah, bukan ushuliyyah.

Sebagai penutup dari tulisan ini, ada sedikit kalimat yang bisa menjadi insipirasi bagi kita semua yakni “Bersatu kita dalam akidah, bertoleransi kita dalam khilafiyah”.

Di dalam hadis disebutkan bahwa perumpamaan orang mukmin seperti bangunan yang yang saling mengokohkan:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan.'” (HR. Muslim)

Dalam perumpamaan lain juga disebutkan bahwa orang mukim bagaikan lebah yang memberi manfaat dan tidak merusak, bagaikan pohon yang kuat, bagaikan satu kesatuan tubuh, dan lain-lain.

Untuk itu mari kita bersatu dalam akidah, bersemangat dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan hatinya serta mengedepankan sikap toleransi di tengah berbagai perbedaan pandangan yang ada.

Editor: Sukma Wahyuni

 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Hadi Wiryawan

Tim Redaksi Artikula.id | Orcid ID : https://orcid.org/0000-0002-7620-6246

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals