Al-Qur’an dan hadis dikaji dan dipahami secara dalam oleh ulama guna menyelesaikan suatu permasalahan dan sebagai tuntunan hidup bagi umat Islam khususnya. Permasalahan hukum atau fikih mendapat porsi yang signifikan dalam hal ini karena sifatnya yang praksis.
Perlu diketahui bahwa pemikiran-pemikiran mengenai teks agama yang terfokus dari 2 sumber (al-Qur’an dan hadis) yang sudah ada sejak zaman klasik hingga saat ini menghasilkan pemahaman yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan faktor-faktor histroris yang berbeda, sehingga pemahaman pun bersifat subjektif.
Dengan adanya historisitas yang berbeda, maka pada masa modern ini tidak bisa disamakan dengan masa klasik, sehingga diperlukan pengkajian ulang mengenai pemahaman yang ada terlebih terkait ajaran Islam (hukum, fiqih) dalam memahami teks al-Qur’an atau hadis.
Pemahaman baru di era kontemporer inilah yang dikenal dengan masa reformasi, dekontruksi, rekonstruksi, tajdid, tarjih, islah, dan modernisasi. Jika reformasi berasal dari kata reformation yang berarti menyusun kembali atau memperbarui. Tajdid mengandung arti menghidupkan kembali, menyusun kembali. Islah diartikan memperbaiki atau perbaikan. Dan saat ini terfokus pada pengertian tajdid, para ulama mengartikan tajdid dengan perspektif yang berbeda-beda.
Masjfuk Zuhdi mengartikan bahwa tajdid lebih komprehensif pengertiannya karena dari kata tajdid terdapat 3 unsur yang berkaitan yaitu mengembalikan masalah khilafiah pada sumber ajaran agama (al-Qur’an dan hadis), pemurnian ajaran dari bid’ah atau fanatisme, serta memperbarui pemikiran dan melaksanakan ajaran Islam.
Yusuf Qhardawi mengartikan dengan mengembalikan keadaan semula hingga tampil dengan format yang baru.
Pembaharuan dimulai sejak abad 15 dalam bidang intelektualitas dan peradaban, yang mengharapkan pembaharuan di sisi ijtihad. Pembaharuan dalam penyelesaian permasalahan harus merujuk pada al-Qur’an terlebih dahulu, namun jika tidak ada maka dengan hadis. Dan jika keduanya tidak ada maka diperbolehkan dengan ijtihad atau ra’yu. Dan ketiga tahapan ini pun harus diaplikasikan secara urut dan sistematis (al-Qur’an, sunnah dan ijtihad).
Masalah-masalah yang diperbaharui adalah manhaj ilahi (akidah, akhlak, syariah), pemikiran serta syahsyiyah agar terus maju. Dalam pembaharuan atau modernisme diharapkan mampu menghidupkan 2 macam ijtihad: ijtihad intiqa’i (mentarjih dengan penelitian dan penyeleksian) dan jtihad insya’i (penetapan hukum dengan perkara yang baru).
Pembaharuan harus mendiagnosa keberagaman problem dalam era kontemporer dengan Islam itu sendiri dan bukan dari karya-karya ilmuwan atau ulama Barat dan Timur. Pembaharuan yang ada harus dapat mengembalikan gaya Islam sesuai dengan bahasa zaman, menyentuh masyarakat, dan berkarakter Islam.
Hal ini dikarenakan pembaharuan hukum atau ajaran Islam terfokus pada al-Qur’an dan hadis, sedangkan banyak ayat yang mungkin dipahami dengan makna yang sudah jelas secara keseluruhan ataupun ayat yang diperlukan penjelasan terlebih dahulu.
Dan jika dilihat dari aspek pembaharuan hukum Islam atau syariat, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya modernisasi atau pembaharuan, di antaranya adalah guna mengisi kekosongan hukum karena norma-norma dalam literatur fiqih belum mengaturnya.
Pengaruh globalisasi dan IPTEK menyebabkan perlu adanya aturan hukum yang mengatur, pengaruh pada tahap reformasi sebagai peluang membuat hukum yang bisa mengatur masyarakat atau sebagai hukum nasional, serta pengaruh pada setiap pemikiran, terutama hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, faktor pembaharuan ada karena perubahan keadaan dan situasi yang membawa pada perubahan berpikir seorang ulama atau ilmuwan, sedangkan permasalahan sosial masa kini tidak dapat dijangkau oleh pemikiran pada masa klasik. Dan pembaharuan tidak hanya terfokus pada hukum namun juga pada kandungan teks suatu ayat.
Perlu diketahui bahwa dalam penyelesaian masalah terhadap pemahaman ayat dan hadis, proses ijtihad sangat menentukan. Peranan ijtihad sangatlah penting untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat mashlahah, terlebih lagi frekuensi dan model permasalahan berwatak dinamis.
Dan ijtihad pun diperlukan guna mengambil hukum terhadap beberapa nash dalam al-Qur’an maupun hadis, hal ini dikarenakan belum tentu setiap nash mampu diterapkan dengan sosio-kultural yang berbeda.
Selain itu, permasalahan yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw belum diklarifikasi sebagaimana mestinya. Di sinilah posisi ijtihad agar nash sesuai dengan tantangan zaman dewasa ini. Bahwa konsistensi kalimat “shalih li kulli zaman wa makan” dapat terkonfirmasi.
Pembaharuan terhadap setiap zaman antara masa lalu dan masa kini sangatlah berbeda, sebagai contoh perihal perkawinan. Jika dikatakan bahwa fiqih di masa lalu tidak mengenal registrasi perkawinan (KUA) namun di masa sekarang sangat ketat dengan hukum fiqih seperti perihal perkawinan di bawah umur, kawin tanpa registrasi.
Selain itu mengenai poligami, jika di UU Perkawinan diperbolehkan poligami jika sudah mendapat izin dari Peradilan Agama dengan syarat tertentu, sedangkan di masa klasik diperbolehkan poligami tanpa izin asal adil dalam giliran ranjang. Dan untuk perceraian, jika menurut Syafi’i diperbolehkan mentalak dengan 2 saksi saja, namun jika masa kini diharuskan untuk memberi alasan sesuai dengan UU.
Dan tentang perkawinan, perceraian serta poligami pada masa kini sudah diatur dengan sangat ketat dalam UU Perkawinan yang ada di Indonesia.
Tentunya hal ini menjadi wadah agar membatasi pergaulan bebas remaja masa kini (SMP, SMA) agar mereka giat belajar atau konsentrasi pada cita dan harapan tanpa halangan dari lawan jenis, tidak menimbulkan fitnah antara istri, suami dan tetangga yang tinggal bersama satu atap dengan bukti nikah hukum negara (buku nikah) serta keselamatan rumah tangga dari perceraian.
Pembaharuan terhadap nash atau hukum yang bersangkutan tentu diperlukan pendekatan pada setiap proses agar menghasilkan sifat yang universal, salah satunya adalah dengan pendekatan yang digunakan adalah hermeneutik karena ketika suatu ayat sudah dibaca, dipahami dan ditafsirkan akan muncul persoalan hermeneutik dalam arti kontekstualisasi, dikarenakan masyarakat modern tidak bisa lepas dari aspek-aspek sosial yang berkembang sesuai zamannya.
Menurut Mahmud Syahrur dalam bukunya Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami bahwa substansi teks pada al-Qur’an mempunyai kondisi statis pada dirinya dan tidak bersifat historis, namun pemahaman terhadap teks al-Qur’an bersifat historis. Sehingga perkembangan sejarah tidak dapat menafikan ayat al-Qur’an karena perubahan hukum yang mengikuti perubahan zaman.
Pembaharuan diaplikasikan pada hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan sedangkan dari aspek ibadah antara manusia dan Khaliq tidak diperlukan pembaharuan karena semuanya didasarkan pada perasaan (dogma) masing-masing tanpa akal dan pikiran.
Dan secara menyeluruh kesimpulan dari pembaharuan adalah menyusun kembali sesuatu yang sudah ada sehingga sejalan dengan dinamika masyarakat dan adanya elastisitas hukum Islam, bukan berarti menafikan ketetapan hukum yang sudah ada.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments