What Type of Law in Islamic Law?

Tulisan ini mencoba membincang Pandangan Islam dan Barat tentang hukum. 4 min


Sumber gambar: Dokumen pribadi

Tulisan ini adalah sebuah review dari pertemuan pertama mata kuliah Islamic Law pada program Master Islamic Studies di Universitas Islam Internasional Indonesia dengan dosen pengampu Dr. Muhammad Almarakebiy. Topik yang dibahas adalah tentang “hukum seperti apa yang disebut hukum Islam?”

Sebelum membahas lebih jauh, diskusi diawali dengan mendudukkan definisi istilah-istilah penting yang menjadi kata kunci dari topik ini. Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan “hukum (law)” itu sendiri. Apa yang terlintas di kepala kita ketika berbicara tentang hukum? Dalam membahas ini, kita perlu membedakan antara pandangan Barat dengan pandangan Islam.

Bagi akademia Barat, setidaknya ada enam indikator yang mesti ada dalam sesuatu yang mereka pandang sebagai hukum. Pertama, yang dikatakan hukum itu adalah hanya yang ditetapkan oleh negara (state law). Kedua, sifatnya paksaan (coercion) sehingga harus ada sanksi atau hukuman yang konkrit. Ketiga, punya otoritas yang kuat.

Keempat, yang dikodifikasi dan distandarisasi. Kelima, yang menyangkut dengan publik (public issue). Keenam, tidak terkait dengan moral. Kita akan coba membahasnya dengan menampilkan contoh-contoh agar lebih jelas dan mudah dipahami.

Ketika misalnya seorang laki-laki mencium seorang wanita yang bukan istrinya, apakah ini terkait dengan apa yang dikatakan hukum (law)? Menurut kacamata Barat dengan indikator yang disebutkan di atas, tentu hal ini tidak masuk ke ranah hukum.

Mengapa? Karena selain mereka menganggapnya masuk ke ranah privat (private issue), ciuman dengan orang asing (bukan suami istri) juga dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut moral dan etika, sehingga negara tidak punya wewenang untuk memberikan punishment kepada pelakunya.

Cukup menarik melihat bagaimana Barat mendefinisikan hukum, yang ini sama sekali berbeda dengan cara pandang Islam. Hukum Barat sangat membedakan antara ranah privat dan publik walaupun sebenarnya keduanya merupakan isu yang relatif dan subjektif.

Apa yang dianggap privat dan apa yang dianggap publik tergantung kepada individu masing-masing berdasarkan sisi normatif (menurut pengetahuan dan keyakinannya sendiri).

Contoh lain misalnya kasus aborsi. Jika ditanya, apakah ini dianggap privat atau publik? Pihak Barat, terutama feminis, tentu akan menjawab ini masuk ke wilayah privat. Karena yang memiliki tubuh adalah dia, maka hanya dialah yang berhak untuk memperlakukan seperti apa tubuhnya sendiri, orang lain bahkan negara tidak berhak untuk mengatur apalagi mengintervensi wilayah itu.

Karenanya, aborsi di negara-negara Barat tidak menganggap ini masuk ke ranah “hukum”. Sementara bagi mayoritas muslim berpandangan bahwa aborsi ini masuk ke wilayah publik. Dalam normatif muslim, membunuh seseorang adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Dari sini sangat tampak bahwa dalam pandangan Barat, hukum itu sangat sempit dan terbatas. Bagi mereka, hukum itu hanyalah yang menyangkut dengan isu publik tadi.

Baca juga: Diskursus Dua Genre Politik Islam: Antara Fiqh dan Filsafat

Sementara yang terkait dengan moral dan etika, begitu pula dengan yang terkait dengan perihal keluarga atau dalam istilah Islam disebut al-ahwal al-syakhsiyyah seperti poligami, cerai, warisan, tidak bisa dianggap hukum karena semua itu masuk ke wilayah privat. Dalam kata lain, negara berlepas diri dari mengatur dan mengurus hal-hal seperti itu.

Sekarang, coba kita diskusikan pula tentang apa yang disebut hukum dari pandangan Islam. Poin pertama yang perlu dicatat bahwa, sempitnya pandangan Barat dalam mendefiniskan hukum disebabkan karena mereka membedakan antara hukum dan moralitas. Sebagaimana yang telah kita bahas, bagi mereka moralitas bukan termasuk hukum karena menyangkut wilayah personal (privat).

Sedangkan dalam pandangan Islam tidak mengenal dikotomi dan perbedaan seperti itu. Moralitas (eng: morality) bahkan dianggap istilah baru (new term) di era modern yang tidak dikenal oleh ulama klasik dan tidak pula ditemukan padanan katanya (sinonim) dalam bahasa Arab.

Islam sama sekali tidak membeda-bedakan antara etika, hukum, dan moralitas. Semuanya adalah satu kesatuan yang terangkum dalam satu istilah yang dikenal dengan “fiqih”. Term fiqih ini tidak bisa diterjemahkan ke istilah Barat (untranslatable) karena maknanya yang lebih luas daripada hukum (law) yang mereka pahami.

Jika Barat hanya memandang hukum sebagai hal-hal yang terkait dengan publik, maka fikih tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat publik saja, tetapi juga yang menyangkut wilayah privat.

Dalam Al-Qur’an, banyak sekali bukti ayat yang menunjukkan bahwa tidak ada dikotomi antara ranah privat dan publik, antara hukum dan moralitas. Misalnya dalam QS. 29:45, “sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”.

Shalat yang merupakan wilayah privat dikaitkan dengan keji dan mungkar yang merupakan wilayah publik. Artinya, fikih dalam Islam maknanya sangat luas, tidak bisa hanya dianggap sebagai hukum Islam (Islamic law). Ia mencakup state law, non-state law, ibadah, etika, moral, spritual dan masih banyak lagi. Ringkasnya, jika ingin dikatakan, sebenarnya hukum Islam merupakan bagian dari fiqih.

Penjelasan di atas memperlihatkan bagaimana konsep-konsep yang dibawa oleh Barat, dalam hal ini hukum, seringkali tidak sesuai dengan konsep Islam karena simplifikasi yang mereka lakukan. Puasa, zakat dan shalat misalnya, apakah itu semua termasuk ke dalam hukum (law), atau lebih spesifik “state law”? Dalam pandangan Barat tentu saja tidak.

Apakah negara bisa memberi sanksi jika ditemukan seseorang makan siang hari di depan umum? Bisakah pemerintah memberikan hukuman jika mendapatkan seseorang yang tidak shalat?

Atau apakah mungkin pemerintah mengintervensi bagaimana praktik shalat yang dilakukan seseorang, harus begini, dan harus begitu? Jawabannya lagi-lagi tentu saja tidak. Mengapa? Karena ini bukan wewenang negara atau pemerintah.

Ini adalah wilayah fiqh, yang di dalamnya juga mencakup etika, moral, spiritual, hubungan dengan Tuhan, ibadah, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa hukum dalam pandangan Islam sangat komprehensif.

Untuk lebih memperjelas lagi tentang apa yang dimaksud dengan hukum Islam, ada dua pandangan menarik yang dikenalkan oleh Dr. Muhammad Almarakebiy sebelum menutup sesi perkuliahannya. Yaitu pandangan Wael B. Hallaq dan Khaled Abou el-Fadl, yang keduanya merupakan the giant scholar dalam bidang ini.

Baca juga: Modernisasi dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam

Pandangan pertama, Hallaq, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara hukum dan etika dalam Islam. Semuanya merupakan satu kesatuan. Hukum mesti terkait dengan etika, moral, tujuan (maqashid), dan sebagainya.

Sebaliknya, pandangan dari Khaled, justru mengatakan bahwa hukum tidak terkait dengan itu semua. Hukum adalah hukum (order), yang harus ditaati tanpa dikaitkan dengan moral, etika, maqashid, dan seterusnya.

Contoh menarik yang diberikan untuk membedakan kedua pandangan ini adalah ketika misalnya kita berada di lampu merah ketika sedang berkendaraan pukul 2 malam dini hari dengan keadaan jalanan yang sepi tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Apa yang bakal kita lakukan?

Apakah kita tetap berhenti mengikuti aturan lampu merah, atau terus saja berjalan mengingat keselamatan kita tetap terjamin karena jalanan yang sepi?

Berpegang pada pandangan Khaled, kita tetap harus berhenti karena aturan tetaplah aturan yang mesti dipatuhi tanpa menghiraukan keadaan yang bagaimanapun.

Sementara, berpegang pada Hallaq, tidak masalah untuk terus tetap melaju karena sebenarnya tujuan (maqashid) dari aturan lampu merah itu ialah untuk menciptakan keselamatan. Pandangan ini tentu saja bisa dikembangkan dalam kasus-kasus yang lain.

Terakhir, Dr Muhammad menutup penjelasannya dengan pertanyaan, “So, what is the prefer? Hallaq or Khaled?”, sambil tersenyum melihat mahasiswanya yang mengernyitkan dahi berupaya menyimpulkan dan menangkap poin-poin penjelasannya yang panjang lebar. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Editor: Sukma W. 

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals