Suatu hari, Nabi Musa jatuh sakit. Perut beliau terasa melilit seperti ditusuk-tusuk jarum. Sang Nabi mengadu kepada Allah. Oleh-Nya, beliau diberi isyarah agar mencari jenis rumput tertentu nun jauh di sebuah hutan. Setelah meminum ramuan yang diracik dari rerumputan tersebut, rasa sakit di perut Nabi Musa pun sirna.
Kali lain, rasa sakit yang sama mendera Nabi Musa. “Aku mesti masuk ke hutan lagi,” pikir beliau. Setelah menemukan rumput yang dimaksud, Nabi Bani Israel ini pun meminum racikan yang persis sama dengan ramuan yang beliau telan saat sakitnya yang pertama. Hanya, kali ini, sakit di perut beliau tak segera raib, bahkan makin menjadi-jadi.
“Ya Tuhan, kenapa sakit ini tak kunjung hilang, padahal aku sudah melakukan hal yang sama sesuai dengan arahan-Mu yang terdahulu,” Nabi Musa akhirnya mengeluhkan persoalannya kepada Allah.
“Oh, beda,” sahut Allah. “Mau tahu di mana perbedaannya?”
“Maha Benar Engkau, Wahai Tuhanku.”
“Begini,” terang Allah. “Saat pertama kali sakit, kau meminta pertolongan kepada-Ku. Aku lalu menunjukkan kepadamu obatnya dan kau sembuh. Sementara di sakitmu yang kedua ini, kau lupa tidak memohon pertolongan kepada-Ku. Itu karena kau mengira rumput itulah yang dapat menyembuhkanmu. Sekarang kau tahu akibatnya.”
Itu adalah ilustrasi yang dikutip oleh Imam Al-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatih al-Ghaib atau al-Tafsir al-Kabir, saat menjelaskan urgensi bacaan basmalah. Dengan membaca bismillah (atau bismillahir rahmanir rahim), terang Al-Razi, kita seperti sedang berikrar bahwa kita mengawali aktifitas tertentu dengan mengingat Tuhan. Ini karena secara teoritis, dalam bacaan basmalah terkandung satu kalimat yang dikira-kirakan (muqaddarah), yakni lafaz abtadiu (aku memulai). Dengan demikian membaca bismillah (dengan Nama Allah) berarti kita sedang berucap abtadiu bismillah (aku memulai aktifitas ini dengan mengingat nama Allah).
Maka seperti Nabi Musa pada sakitnya yang pertama, bacaan basmalah sebetulnya mendidik kita untuk memiliki sikap batin yang selalu memasrahkan segala hal kepada Allah. Tetapi justru pada saat inilah, saat kita telah mendudukkan posisi Allah dalam hak-Nya sebagai Tuhan, segala yang kita lakukan pun diliputi dengan keberkahan.
Barangkali itulah sebabnya Nabi saw kemudian bersabda, “Segala sesuatu yang tidak diawali dengan bismillah akan tertutup keberkahannya (aqtha’).”
Syeikh Syihabuddin Al-Qalyubi, dalam Al-Nawadir, mengutip kisah seorang perempuan yang tak pernah lupa membaca bismillah. Perempuan ini memiliki seorang suami munafik yang membenci kebiasaan istrinya tersebut.
Maka suatu hari, si suami bermaksud mempermalukan sang istri. Kepada sang istri, lelaki itu menitipkan sebuah bingkisan. Sang istri, seperti biasa, menyimpan bingkisan tersebut dengan rapi di lemari. Beberapa jenak, tanpa sepengetahuan istrinya, si suami mengambil bingkisannya sendiri dan melemparkannya ke dalam sumur. Dan lalu, dengan wajah tanpa dosa, lelaki itu menghampiri istrinya.
“Tolong ambilkan bingkisan yang kuberi tadi,” serunya. Perempuan tersebut beranjak menuju lemari. Dan, laik lazimnya, ia membuka pintu dengan merapal bismillah.
Tepat pada saat itulah Allah mengirim malaikat dan memerintahkannya mengambil bingkisan dari dalam sumur; mengembalikannya di tempatnya yang semula di dalam lemari. Dengan santai, perempuan basmalah tadi pun mengambil bingkisan dan menyerahkan kepada suaminya. Demi melihat kejadian menakjubkan itu, si suami ternganga-nganga dan lantas bertaubat.
Imam Al-Razi meriwayatkan kisah unik. Konon, sebelum mendaku diri sebagai Tuhan, Firaun memerintahkan agar pintu istananya diukir dengan basmalah. Pintu tersebut masih bertahan di sana, bahkan sampai pada saat kekafiran Firaun dan perseteruannya dengan Nabi Musa kian menjadi-jadi.
Saat itu, barangkali karena merasa mendapatkan backup langsung dari Tuhan, berulangkali Nabi Musa mengeluh kepada-Nya. “Ya Allah, kenapa tak segera Engkau luluh-lantakkan kekuasaan orang zhalim itu (Firaun)?”
Berkali-kali pula Allah menjawab, “Hei Musa, sudut pandang kita berbeda. Kau hanya melihat sosok orang zhalim yang berdiam di dalam istana itu, tetapi Aku memandang Nama yang tertulis di sana.”
Sejarah mencatat, Firaun dihancurkan Allah pada saat ia berada di luar istana.
Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa menyelamatkan secarik kertas yang di dalamnya terkandung basmalah, Allah akan mencatatnya dalam golongan shiddiqin, dan meringankan siksa kedua orang tuanya meskipun mereka (orang tua) musyrik.”
“Lihatlah bagaimana Allah melindungi segala yang tertambat di sana Nama Allah,” komentar Al-Razi. “Lantas bagaimana dengan hati seorang mukmin yang di sana terukir kuat Nama Allah?”
Tersebutlah seorang penggembala domba yang arif billah. Suatu hari, sekelompok serigala menghampiri. Uniknya, kawanan serigala itu hanya duduk-duduk saja di sana, seperti tidak bernafsu melahap daging segar domba di hadapan mereka.
Orang-orang yang melihat kejadian itu pun takjub bukan main. Mereka bertanya, “Sejak kapan serigala-serigala itu berdamai dengan domba-dombamu?”
Penggembala menjawab, “Sejak penggembalanya berdamai dengan Allah.”
Suatu malam menjelang fajar, setelah tenggelam dalam tangis munajatnya, Rabi’ah ‘Adawiyah tertidur. Tepat pada saat itu pencuri menyatroni kediamannya. Mengetahui si empunya rumah tertidur pulas, pencuri pun mengambil apa saja yang ia bisa.
Sampai saat ia selesai dan berlari menuju pintu, tempat dari mana ia masuk, pencuri pun kebingungan. Pintu rumah itu menghilang. Ia pun memutari seluruh penjuru rumah, berharap menemukan jalan keluar. Tapi tidak, ia merasa seolah-olah hanya berhadapan dengan dinding, tanpa satu pun rongga yang memungkinkannya lepas dari kutukan mengerikan.
Hampir putus asa, ia meletakkan barang curiannya. Sekonyong-konyong, muncul sebuah pintu di salah satu sudut rumah. Pencuri itu pun bersukacita. Tetapi pada saat ia hendak beranjak menuju pintu, mengangkat barang curiannya lagi, mendadak pintu tersebut raib.
Peristiwa itu terjadi berulang kali. Tepat pada saat itulah ia seperti mendengar suara, “Kamu bisa keluar dari rumah ini, tapi letakkan kembali barang-barang itu. Seorang kekasih bisa saja tertidur, tapi Tuannya (Tuhannya) senantiasa terjaga.”
Begitulah, sejumlah kecil noktah yang dapat kita tilik dari basmalah. Memang, bukan rapal kalimat itu benar yang ampuh, sebagaimana bacaan-bacaan yang lain juga tak sakti. Tetapi di dalam bacaan itu, terdapat Nama Dzat yang mampu membuat apa saja jadi digdaya.
Akhirnya, jika kita tak pernah sama sekali alpa dari merapal basmalah, juga barangkali tak lekang dari mendengar takbir dalam adzan, atau tak pernah berhenti dari mengucap dzikir, akan tetapi hidup kita masih tak jua absen dari rundung masalah, jangan salahkan bacaan-bacaan mulia tersebut, atau apalagi menyalahkan Dzat yang Nama-Nya terpatri di sana.
Barangkali saja, tiap kali kita membaca basmalah, yang kita ingat bukan Tuhan. Barangkali saja kita hanya menghikmati diri sendiri dan kepentingan pribadi? Barangkali saja kita belum “berdamai” dengan Allah?
Wallahu a’lam bis shawab.
0 Comments