Kesuksesan barangkali menjadi primadona tujuan manusia untuk melakoni aspek di kehidupan, seperti karir, hubungan rumah tangga, keterampilan, kemahiran atas bidang tertentu, dan seterusnya. Namun, apa yang menjadikan manusia untuk dapat meraih kesuksesan yang diinginkan? Salah satu dari potensi manusia untuk mendapatkan hal tersebut adalah efikasi diri atau yang lebih dikenal dalam istilah lainnya dengan self-efficacy.
Ditinjau dari pengertiannya, Albert Bandura dalam artikelnya mengartikan efikasi diri sebagai pembawaan keyakinan yang ditanamkan ke pemahaman diri individu tentang kemampuannya untuk menghasilkan tingkat performa yang ditentukan sebagai tolak ukur kesuksesannya dalam peristiwa-peristiwa di sektor kehidupannya. Sebagaimana slogan yang sering kita dengar, yaitu “Ala bisa karena biasa”. Slogan tersebut merepresentasikan bahwa manusia mampu melakukan sesuatu dengan acuan tertentu, yakni keterbiasaan. Hal itu menjadi efikasi diri tersendiri bagi individu tersebut.
Merasa yakin untuk bisa melakukan sesuatu atau menyadari bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu agar tujuan dari hidupnya tercapai adalah konsep dasar untuk memahami efikasi diri. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa saja yang dapat dijadikan sumber untuk menumbuhkan efikasi diri dalam diri. Dilansir dari Encyclopedia of mental health, Bandura menetapkan empat sumber efikasi diri. Mari kita ulas lebih lanjut.
Baca juga: Meyakinkan Diri untuk Selalu Bersikap Optimis |
1. Penguasaan pengalaman
Keberhasilan dapat menumbuhkan efikasi diri seseorang. Keberhasilan di sini diartikan sebagai tercapainya penyelesaian masalah yang dialami seseorang. Keberhasilan yang didapatkan dengan mudah akan menjadikan seseorang tersebut menginginkan kecepatan dalam menargetkan sesuatu. Akan tetapi, apabila dihadapkan dengan hambatan atau kendala, umumnya mereka akan lebih cepat merasa putus asa.
Pengalaman akan keberhasilan tersebut selalu mendatangkan sisi kemudahan dan kesulitannya tersendiri, seperti halnya tantangan, rintangan, masalah, juga resiko. Dalam pengalaman yang seseorang yang dinilai profesional biasanya telah melampaui beragam macam kesulitan sehingga dirinya yakin bahwa dirinya mampu untuk mencapai tujuannya atau memiliki efikasi diri yang tinggi.
Sebaliknya, individu yang tidak begitu banyak pengalaman dalam menguasai bidang yang ditekuninya akan merasa menurun efikasi dirinya, karena merasa tidak yakin akan dirinya mampu melewati beragam kesulitan yang dialaminya. Akhirnya merasa putus asa dan menyerah dengan tujuannya.
Kehidupan memang selalu memiliki pasang surutnya tersendiri. Efikasi diri sebagai pakem bagaimana diri individu menyikapi keadaan sulit juga keadaan yang menguntungkannya. Misalnya, dapat melewati beberapa tes seleksi atau ujian mata pelajaran yang ada di sekolah akan mengarah pada pembentukan efikasi diri di tiap-tiap mereka.
Begitu pula pada kasus beberapa pekerja lapangan atau pekerja kantoran yang menghadapi problematika tersendiri. Orang yang cenderung menguasai di pengalaman hidupnya akan memiliki daya efikasi diri yang tinggi ketimbang orang yang masih belum berpengalaman di penguasaan bidangnya.
2. Pengalaman Role Model yang disorot
Mungkin tidak semua orang harus mengalami secara empiris atas bidang yang akan ditekuni. Misalnya saja, orang perlu mengambil kekayaan pengalaman dari orang lain untuk meningkatkan daya efikasi diri yang dimilikinya. Menggunakan perwakilan pengalaman yang dialami orang lain dapat disebut dengan role model.
Role model dapat diobjektifikasikan ke siapa saja. Misal, pada sosok senior atau pendahulu, tokoh-tokoh yang dianggap sukses dalam bidang tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian, seseorang akan merasa punya kesamaan antara dirinya juga si role model. Ibaratnya dalam kredo seperti ini, “apa bedanya dia dengan saya? Kan, sama-sama makan nasi? Kalau dia bisa, mengapa saya tidak?”
Orang memiliki efikasi diri yang tinggi akan menjadikan sumber role model tadi sebagai pemicu dirinya agar mampu melakukan hal tertentu. Lain halnya, dengan orang yang memiliki efikasi yang rendah akan menjadikan banyak alasan karena dirinya tidak yakin bahwa dirinya bisa melakukannya. Ibaratnya dia akan menjawab, “kalau dia bisa, mengapa harus aku?”
3. Persuasi sosial
Baik disadari atau tidak, rupanya hal yang berkaitan dengan komentar lingkungan sekitar, tanggapan, masukan, saran juga celotehan yang datang dari lingkup sosial memiliki daya tersendiri untuk menumbuhkan daya efikasi diri, yaitu persuasi.
Dorongan semacam itu akan mempersuasi individu dalam menilai apakah dirinya mampu atau tidak, berhasil atau tidak dalam melakukan sesuatu. Persuasi sosial berusaha memberikan pengaruh dengan mengkomunikasikannya secara verbal kepada individu terkait bahwa dirinya mampu dan dapat berhasil dalam melakukan standar yang diharapkan.
Ada pernyataan yang menarik bagi pribadi penulis dari Bandura tentang persuasi sosial ini sebagai sumber efikasi diri, bahwasanya lebih sulit untuk menanamkan efikasi diri hanya dengan persuasi sosial ketimbang merusaknya. Persuasi sosial nampaknya tidak menjamin komunikasi yang diberikan untuk efikasi diri sebagai dukungan, melainkan sebagai penghambat. Sehingga tidak banyak dari beberapa orang mengalami lemahnya motivasi untuk bergerak menuju kesuksesan yang diidam-idamkan.
Akan tetapi, sosial tetap sebagai sumber dari persuasi-persuasi yang diarahkan. Baik itu bernilai positif maupun negatif. Persuasi sosial dianggap sebagai pembangun efikasi diri yang efektif bilamana sumber tersebut tidak hanya sekadar memberikan penilaian positif atas kemampuan individu.
Persuasi sosial juga dapat dilakukan dalam menyusun situasi serta mengantisipasi keadaan yang memungkinan individu terjebak dalam kesulitan-kesulitan tertentu. Katakanlah seperti halnya, nasehat, wejangan, dan sebagainya yang datang dari lingkungan sosial seperti keluarga, sekolah, bahkan di pergaulan.
4. Regulasi emosi
Tidak selamanya penilaian orang lain terhadap kita sesuai dengan kenyataan yang kita alami. Hal ini yang akan menjadi sumber lain dalam menumbuhkan sisi efikasi dalam diri. Dengan begitu, kontrol dan modifikasi emosi akan berubah menjadi energi tersendiri sebagai efikasi diri. Umumnya, orang akan tambah meningkat efikasinya bila sekitarnya memberikan dukungan energi sorak sorai yang menyemangatinya.
Lantas dengan demikian, emosi dalam dirinya meregulasi energi sebagai daya yang meningkatkan keyakinannya bahwa dirinya mampu dan berhasil untuk melakukan sesuatu. Adapun contoh lainnya, cemoohan orang lain atau sikap menyepelekan yang didapatkan orang lain diidentifikasikan sebagai energi yang destruktif sehingga ia mengolah energi itu sebagai kekuatan dan motivasi dalam dirinya bahwa dirinya mampu dan bisa.
Emosi akhirnya sebagai radar untuk mengetahui apakah energi yang didapatkan dari luar bersifat fasilitator atau debilitator. Contoh familiarnya dapat dilihat dari fenomena kegiatan atletik, seperti pertandingan sepak bola. Suporter dari dua kubu yang bertanding akan saling menghantarkan energi semangat kepada tim yang didukungnya serta saling lempar energi yang melemahkan ke tim lawan agar tim kesayangannya berhasil memenangkan pertandingan.
Baca juga: Dinamika Interaksi Sosial secara Psikologis dalam Era Perkembangan Teknologi dan Informasi |
Berikut adalah sumber-sumber yang telah dirangkum sebagai pembangun daya efikasi diri seseorang. Kemudian selanjutnya, dapat disesuaikan ke dalam kepribadian kita, sumber manakah yang sering efektif bagi pengalaman diri kita masing-masing dalam mencapai atau menuntaskan kegiatan tertentu secara sukses atau berhasil.
Apakah diri kita termasuk yang menggunakan latihan sebagai modal penguasaan materi dalam pengalaman kita? Apakah dengan sumber yang kita ambil dari kisah-kisah inspiratif dari sosok yang kita kagumi? Apakah dari kritikan dan masukan dari kolom komentar di sosial media kita? Atau kemampuan diri kita meregulasi emosi kita agar dapat mengubah energi sosial sebagai motivasi pendorong dalam diri kita?
Dengan begitu, kita akan tahu sumber pembentuk bayang-bayang dalam diri kita kemudian kita dapat mengukur bayang-bayang kita.
Sumber
Bandura, A. (1994). Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press. (Reprinted in H. Friedman [Ed.], Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press, 1998).
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments