Kenapa Kita Tidak Harus Berperang?

Perang bukanlah jalan yang harus dipilih, maka hindari dan bersabarlah.3 min


2

Menelisik Izin Perang dari Allah

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan Kami hanyalah Allah”. dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,” (QS. Al-Hajj : 39-40)

 

Nah, ayat itu adalah ayat yang pertama turun soal perang. Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah, Ath-Thabari berkomentar terhadap ayat 39 “Tuhan mengizinkan kaum mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik karena mereka menindas kaum mukmin dengan menyerang mereka.” Selain itu Az-Zamakhsyari mengungkapkan bahwa kaum musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi Muhammad dan menyakiti beliau pula, tetapi Nabi Muhammad mengatakan kepada pengikutnya: “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang”. Begitu pula Ar-Razi juga memberikan penjelasan yang sama.

Seperti yang dikutip Ath-Thabari juga dari ungkapan Ibnu Zayd bahwa kebolehan perang itu diberikan setelah Nabi dan para pengikutnya bersabar selama 10 tahun. Kita banyangkan sepuluh tahun dalam penindasan itu bukan waktu yang singkat. Apalagi jika kita melihat watak orang Arab yang keras namun mereka tetap bertahan dan bersabar untuk tidak melakukan perlawanan.

Dalam sejarah Islam, peperangan besar pertama yang terjadi antara kaum mukmin dan kaum musyrik Makkah terjadi pada tahun 2 Hijriyah, yakni perang Badar yang terjadi setelah hijrah ke Madinah. Dan ayat perang tersebut turun setelah memang tidak ada jalan keluar lain untuk mengatasi kaum musyrik Mekkah yang telah banyak melakukan tindak kekerasan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya.

Upaya bertahan dengan bersabar dan membiarkan kaum musyrik telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap melakukan tekanan dan serangan. Artinya Nabi Muhammad diperintahkan untuk berperang itu berat hati, tidak saking senang atau saking bersemangatnya beliau untuk menghabisi kaum musyrik yang telah menyakitinya.

Pemaknaan dan Pemahaman Ayat

Dua ayat ini terdiri dari rangkaian idiom sebagai kunci pemaknaan, yang menunjukkan situasi yang dapat menyebabkan diizinkannya berperang. Dan beberapa kata menunjukkan makna yang memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Adapun uraiannya sebagai berikut.

Potongan ayat yang diartikan dengan: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Di dalamnya terdapat dua kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu “udzina” (diizinkan) dan “zhulimu” (teraniaya).

Kalau kita bahas kata dizinkan (untuk berperang), itu artinya perang itu awalnya bukanlah sesuatu yang dianjurkan sama sekali. Dan bentuknya kalimatnya menggunakan bentuk pasif “diizinkan” dan bukan bentuk kalimat aktif dengan kata  “(Allah) mengizinkan”. Jadi apapun alasannya lebih baik perang ini dihindari.

Sedangkan potongan ayat yang diterjemahkan dengan: “ (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan Kami hanyalah Allah”. Izin untuk berperang diberikan dengan kondisi bahwa ketidak-adilan dan penindasan yang dilakukan terhadap orang mukmin adalah yang hingga kaum musyrik Makkah mengusir mereka dari tanah kelahiran tanpa alasan yang dapat diterima. Itu ditunjukkan pada bagian alladziina ukhrijuu min diyaarihim bi-ghairi haqq (orang-orang yang terusir dari kampung halaman dengan alasan yang tidak benar).

Lanjutan dari potongan kalimat itu, illa an yaquuluu rabbuna Allah (hanya karena mengaku: Tuhan kami adalah Allah) yang menunjukkan adalah bahwa kaum mukmin diusir dari sana karena perbedaan keyakinan dimana orang mukmin hanya mengakui Allah sebagai Tuhan. Kaum musyrik Makkah memaksa setiap orang untuk mengikuti kepercayaan politeisme mereka. Dan orang yang tidak menerimanya maka akan mereka tekan dan mereka tindas.

Selanjutnya. dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Az-Zamakhsyari menafsirkannya dengan menyatakan: “Allah memberikan kekuatan kepada kaum muslim lebih daripada kaum musyrik untuk berperang. Jika tidak, maka kaum musyrik akan menyerang pengikut agama lain pada masa itu, merebut tempat-tempat ibadah mereka dan kemudian merusaknya. Mereka tidak akan membiarkan gereja dan baira umat Kristen, sinagog kaum Yahudi dan masjid umat Islam.” Ini menunjukkan pelawanan yang dilakukan oleh kaum muslim terhadap kaum musyrik dalam semangat melindungi kedamaian pemeluk agama-agama, termasuk agama selain Islam.

Pesan Utama Ayat

Ayat tersebut harus dipahami konsteks historis dan tekstualnya agar dapat diperoleh pemahaman yang tepat. Bagian-bagian utama dalam penggalan-penggalan ayat diatas menunjukkan beberapa maksud dan pesan utama ayat tersebut, yang seharusnya bersesuaian maksud keseluruhan Al-Qur’an, dan Islam sebagai agama yang menekankan pentingnya perdamaian dan kesetaraan, dan kebebasan beragama.

Penghapusan Penindasan

Penindasan dalam bahasa Arab diartikan dengan zhulm yang secara leksikal kata ini bermakna menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam Al-Qur’an, kata ini merujuk pada tindakan yang menyalahi hukum dan aturan Allah. Sedangkan kata zhulm sendiri digunakan untuk menyifati perbuatan syirik dengan “zhulm azhim”. Arti lain dari zhulm adalah tindakan yang dapat menyakiti orang lain.

Apa yang dilakukan oleh kaum musyrik Makkah dengan mengusir kaum mukmin merupakan tidakan zhulm. Dan kaum mukmin dalam kondisi sebagai yang terzhalimi kemudian ‘diizinkan’ untuk melakukan perlawanan dengan solusi terakhir, perang.

Penegakan Kebebasan Beragama

Di dalam ayat 256 surat Al-Baqarah disebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Izin melakukan peperangan pada waktu itu diberikan dalam rangka menegakkan kebebasan beragama. Dimana saat itu kaum musyrik Makkah melakukan penindasan terhadap setiap orang yang menolak keyakinan politeisme mereka.

Penegakan Perdamaian

Meskipun perang merupakan jalan yang ditempuh oleh kaum muslim saat itu untuk mewujudkan perdamaian, akan tetapi ia bukanlah satu-satunya jalan. Penegakan perdamaian merupakan salah satu pesan utamadari pembolehan melakukan perang. Sikap Nabi Muhammad dan kaum muslim di Madinah, yang saat itu hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, menunjukkan sikap damai yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Maka atas dasar nilai-nilai dari Rasulullah ini, maka ayat perang dalam QS. Al-Hajj ayat 39-40 tersebut seharusnya yang diambil bukanlah perangnya, akan tetapi pesan utamanya, yakni penghapusan penindasan, penegakan kebebasan beragama dan perdamaian.


Like it? Share with your friends!

2
Muhammad Maghfur Amin
Alumni S1 jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Guru MI Narrative Quran (MINAN), Lamongan. Saat ini menempuh S2 di UIN Sunan Ampel Surabaya pada jurusan yang sama (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir).

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals