Itu Benderaku, Bukan Bendera Nabi

... Kalau saya bikin sebuah bendera, lalu dibubuhi tulisan besar: Laa ilaaha illAllaah Muhammad Rasulullah, itu bendera saya. Bukan bendera Nabi. Iya, nggak, sih?4 min


2

Biar saya tegaskan, tulisan ini tidak dalam rangka membenarkan atau menyalahkan tindakan para pelaku ‘bakar-bakar.’ Saya kurang tertarik. Saya cuma greget. Sudah terlalu banyak yang, entah sadar atau tidak, sudah menjadi agen pemelintir kebencian. Awalnya adem, ayem, namun karena diksi dalam narasi bahasanya sudah dipoles sedemikian rupa, terjadilah proses ‘goreng sana goreng sini.’ Orang-orang ini saya sebut sebagai agen.

Bila narasi bahasa yang digunakan dimulai dengan sepenggal kata, “Kalimat tauhid dibakar,” “Peristiwa itu penistaan. Buya Hamka menegaskan, ‘Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.’,” “Aksi Bela Kalimat Tauhid,”Yang dibakar bukan bendera kelompok tertentu tapi bendera Islam,” dan sebagainya, bisa jadi saya pun akan tersulut. Ditambah lagi dengan kenyataan lain bahwa saya tidak tahu menahu soal konteks peristiwa ‘bakar-bakar’ itu dan tidak paham soal bagaimana sebuah bendera dengan tampilan yang demikian selama ini ternyata bermuatan kepentingan.

Tampaknya akan beda bila narasi awal yang kita (baca: saya) dapatkan dari para agen, “Ada bendera ormas terlarang pada acara Hari Santri Nasional,” “Orang-orang sedang ‘bakar-bakar’ sesuatu karena dikhawatirkan menimbulkan masalah yang lebih luas,” dan sebagainya.

Narasi-narasi sepenggal seperti di atas kemudian dikuatkan lagi dengan narasi hadis yang menegaskan bahwa bendera Nabi memang berulis Laa ilaaha illAllaah Muhammad Rasuulullaah. Sayangnya, hadis ini bermasalah. Tidak layak dijadikan pijakan. Mungkin benar bahwa Nabi punya bendera apalagi dalam konteks perang dan kedaulatan. Bendera akan menjadi alat identifikasi. Namun untuk mengatakan bahwa bendera beliau bertuliskan kalimat tauhid jelas bermasalah. Terlalu spesifik. Tidak cukup hanya berdasarkan data yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Sudah terlalu banyak yang mencoba menjelaskan letak masalahnya. Terutama dari persepktif kritik hadis. Lalu, mengapa hadis tersebut selalu muncul dan mesti dijadikan tameng? Entah.

https://artikula.id/wp-content/uploads/2018/10/1540536579820.jpg

**

Meskipun sebenarnya bendera dengan karakter ada kalimat tauhidnya sudah menjadi identitas kelompok tertentu, sejak peristiwa ‘bakar-bakar’ mulai mencuat ke publik, setidaknya ada dua kata kunci yang selalu dimunculkan: Itu kalimat tauhid atau setidaknya bendera Nabi. Ya, seperti tampak pada gambar dan paparan di atas.

Kalau ditelisik lebih jauh, dalam proses produksi wacana ini, para agen akan menyuguhi publik dengan logika-logika yang mudah ditebak; meskipun sebenarnya titik masalahnya adalah ‘bakar-bakar’ tetapi publik digiring sampai pada opini yang cenderung provokatif. Penistaan. Itu minimal.

Akhirnya, ‘bakar-bakar’ jadi hilang tergantikan dengan isu baru: penistaan terhadap agama. Kalau sudah dibawa pada wilayah ini tentu jadi ngeri. Kengerian pun semakin ditambah dengan menyerang individunya: setan-lah, binatang ini-lah, hewan itu-lah dan sebagainya. Hal ini belum termasuk klaim bahwa para pelaku ‘bakar-bakar’ melakukan itu karena efek kebencian pada kalimat itu. Pokoknya, para pelaku ‘bakar-bakar’ itu harus salah.

Di saat yang sama, dalam konteks ini, terjadi pula ekskomunikasi. Para pelaku ‘bakar-bakar’ ‘tidak dianggap.’ Mereka dikeluarkan dari bagian partisipan publik. Tidak ada perkenan untuk berbicara. Menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Jika pun mereka diberi kesempatan menjelaskan tetap saja mereka terbatasi oleh batasan-batasan para agen. Ringkasnya, para agen ‘penggugat dan penyebar’ inilah yang menampilkan diri sebagai pihak yang berhak bicara soal peristiwa ‘bakar-bakar’ itu terjadi. Para pelaku ‘bakar-bakar’ ditampilkan melalui perspektif para agen.

Lebih dari itu, persoalan ini pun digambarkan dengan sangat sederhana meskipun punya implikasi besar: penistaan. Padahal, sebenarnya, tidak sesederahana itu. Apalagi hanya dengan satu kata: penistaan. Hal ini sejatinya merupakan persoalan kompleks. Ada banyak hal yang turut mengitari termasuk ruang dan waktunya. Tidak ada pembahasan mengapa mereka ‘bakar-bakar,’ apa motifnya, apa yang melatarbelakangi, mengapa hal itu bisa terjadi dan lain-lain dengan menggunakan perspektif ‘pelaku.’

Apa pun itu, ada kecenderungan bagaimana sistem simbol semakin menguat seiring dengan makin pesatnya media dan teknologi. Perhatian terhadap sesuatu yang sejatinya esensi sebuah agama tidak terlalu punya tempat. Bagian-bagian luar lebih mendapatkan perhatian daripada pengamalan terhadap kandungan kalimat itu. Orang yang ‘bakar-bakar’ lebih mudah dianggap menghina, melecehkan dan menista agama daripada orang yang membawa benda itu tetapi pesan yang terkandung di dalamnya sama sekali tidak teraktualisasi dalam kehidupan mereka bahwa Islam merupakan agama damai, santun, toleran dan sebagainya.

**

Secara khusus berkenaan dengan mencuatnya banyak hadis soal bendera yang mengiringi peristiwa ‘bakar-bakar.’ Media seakan menjadi fasilitator pemasaran bukan fasilitator pembelajaran agama. Sekedar cerita; malam ini saya mendapat sebuah pesan dari seorang teman. Dia tanya soal status hadis dalam sebuah gambar, apakah sahih atau malah sebaliknya. Pertanyaan ini muncul karena sudah terlalu banyak yang posting. Terutama di Instagram. Begitu pengakuannya. Berikut hadis dalam gambar yang dia maksud:

https://artikula.id/wp-content/uploads/2018/10/1540536579982.jpg

Dalam berbagai literatur yang berisi hadis-hadis Nabi, hadis di atas dapat dijumpai pada riwayat al-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra, al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa al-Shifat, Ibn Hibban dalam Shahihnya, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan lain-lain. Kesemuanya ini melalui jalur seorang perawi hadis yang bernama ‘Abdullah bin al-Samh atau dikenal juga dengan julukan Darraj. Para pakar hadis seperti Abu Bisyr al-Daulabi, Abu Ja‘far al-‘Uqaili, Abu Hatim al-Razi, Ahmad ibn Hanbal, al-Nasa’i, al-Daruquthni, Abu Dawud dan lain-lain tegas menyebutnya bermasalah, munkar atau lemah.

Abu Dawud menegaskan, “Pada dasarnya, hadis yang diriwayatkan oleh Darraj terbilang baik (mustaqimah) kecuali yang dia riwayatkan dari Abu al-Haitsam, dari Abu Sa‘id al-Khudri. Ibn Hajar al-‘Asqalani pun menjelaskan, Darraj merupakan perawi yang shaduq atau tidak sampai pada level lemah, hanya saja dia memberi catatan khusus yang menguatkan pendapat para kritikus sebelumnya: “Hadis yang diriwayatkan Darraj dari jalur Abu al-Haitsam berstatus lemah.” Persis. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Darraj dari jalur Abu al-Haitsam dari Abu Sa‘id al-Khudri. Memang, sebagian ulama ada yang memberinya pujian. Tapi tetap saja masih perlu ditinjau ulang.

Al-Hakim mengatakan –setelah meriwayatkan hadis itu–. “Hadis ini sahih dari sisi sanadnya. Meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya…” Bagaimana pun, pernyataan al-Hakim masih perlu dipertanyakan. Setidaknya dengan pertimbangan para pakar di atas. Apalagi selama ini al-Hakim dikenal sebagai kritikus yang longgar dalam menilai seorang perawi (mutasahil). Tentu saja, penjelasan Ahmad ibn Handal, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Hajar dan lain-lain harusnya lebih didahulukan. Karena dinilai lebih kredibel dan representatif.

Selebihnya, konteks hadis tersebut, bila dilacak lebih lengkap, sebenarnya berkenaan dengan permintaan Nabi Musa agar Allah mengajarinya kalimat yang bisa dia pakai untuk dzikir dan berdoa. Allah pun memerintahnya untuk membaca kalimat la ilaha ilallah. Dia juga menjelaskan bahwa seandainya kalimat itu ditimbang dengan tujuh lapis bumi dan langit dengan seluruh isinya (?) pasti lebih berat kalimat tauhid. Jadi, hadis tersebut berkaitan dengan dzikir dan doa.

Selain itu, yang tidak kalah penting dan perlu digarisbawahi adalah: Hadis tersebut hanya berisi tentang kalimat tauhid. Lailaha illalah. Tidak ada yang lain. Tidak ada tambahan kalimat Muhammad Rasulullah. Tidak seperti yang dikesankan dalam gambar yang di atas. Yang pasti, gambar itu lebih mirip dengan bendera. Itu saja.

**

Ngomong-ngomong, kalau saya bikin sebuah bendera; mulai dari proses nyulam hingga menjadi kain, lalu saya tambahkan di atasnya tulisan besar: Laa ilaaha illAllaah Muhammad Rasuulullaah, jelas itu bendera saya. Bukan bendera Nabi. Iya, nggak, sih?


Like it? Share with your friends!

2
Miski Mudin

Miski Mudin, S.Th.I., M.Ag., adalah dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals