Penciptaan Manusia dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam

Sampai saat ini, pertanyaan tentang apa dan siapa manusia masih menyita dan menarik perhatian manusia itu sendiri.3 min


2
4 shares, 2 points

Sampai saat ini, pertanyaan tentang apa dan siapa manusia masih menyita dan menarik perhatian manusia itu sendiri. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para filosof dan ilmuwan dengan berbagai latar belakang disiplin keilmuan, masih mengandung kelemahan dan mengundang berbagai pertanyaan lanjutan. Dr. A. Carrel dalam Man the Unknown mensinyalir, bahwa keterbatasan manusia dalam memahami dirinya disebabkan oleh: (1). Pembahasan tentang manusia terlambat dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia lebih tertuju pada penelitian tentang materi, (2). Ciri khas akal manusia yang cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks, dan (3). Multikompleksnya permasalahan manusia.

Menanggapi hal ini kaum agamawan berkomentar, bahwa pengetahuan tentang manusia yang demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi, sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit (QS. Al-Isra’ (17): 85).

Oleh karena Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk manusia, dan Allah adalah asal dan tujuan manusia (inna lillah wa inna ilaihi raji’un), maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mengenal dengan baik tentang manusia, adalah “bertanya” kepada Allah. “Bertanya” kepada Allah ini dapat dilakukan dengan merujuk kepada wahyu Ilahi, terhadap berbagai permasalahan dan persoalan yang terkait dengan diri manusia. Salah satunya adalah terkait permasalahan proses penciptaan manusia pertama.

Penciptaan Manusia

Al-Qur’an memberikan informasi bahwa Allah menciptakan manusia dari materi dan ruh. Setelah tanah melalui beberapa fase penciptaan—dari tanah menjadi lumpur, menjadi tanah liat yang dibentuk, menjadi tanah kering seperti tembikar, Allah meniupkan ruh kepadanya, lalu terciptalah Adam. QS. Shad: 71-72, “(Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.’ Apabila Aku telah menyempurnakannya dan Aku telah meniupkan ruh-Ku kepadanya, maka hendaklah kalian menyungkur sujud kepadanya.

Menurut al-Bahil Khauly, pengertian ruh yang terkait dengan penciptaan Adam adalah ruh dari Allah yang mennjadikan manusia memiliki kecenderungan pada sifat-sifat luhur dan mengikuti kebenaran. Unsur paling luhur yang merupakan potensi manusia untuk mengejawantahkan hal-hal luhur dan sifat-sifat suci. Inilah yang membuat manusia dapat mencapai keluhuran melebihi malaikat, memantapkan tujuan-tujuan luhur dalam kehidupan, dan melengkapi manusia dengan kecenderungan pada sumber nilai dan pengetahuan yang menentukan hakikat manusia. Singkatnya, petikan ruh dari Allah inilah yang membuat manusia memiliki kesiapan untuk mengenal dan beribadah kepada Allah, memperoleh ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kemakmuran bumi, dan berpegang pada nilai-nilai dan cita-cita luhur dalam perilakunya, baik secara individual maupun sosial.

Adapun unsur materi dalam penciptaan manusia, mengandung sifat-sifat hewan yang tampak dari kebutuhan-kebutuhan fisik yang mesti dipenuhi dan dipuaskan demi menjaga diri dan kelangsungan hidup. Unsur materi ini, dengan unsur ruh yang immateri, berpadu secara bersamaan dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis. Perpaduan inilah yang membentuk diri dan kepribadian manusia. Dari sini jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan, sebab bila dipisahkan maka tidak bisa disebut sebagai manusia lagi.

Pergulatan Psikologis

Dua unsur dalam diri manusia yang berlawanan ini, acapkali menimbulkan pergulatan psikologis yang berkelanjutan. Adakalanya manusia tertarik oleh kebutuhan dan kerinduan spiritual, serta hal-hal yang bersifat luhur, adakalanya pula justru tertarik dan cenderung pada kesenangan-kesenangan jasmani dan godaan-godaan duniawi yang menjauhkannya dari Allah. Al-Qur’an menggambarkan pergulatan ini, misalnya dalam QS. An-Nazi’at: 37-38, “Maka barang siapa yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka pastilah neraka Jahim merupakan tempat kembalinya. Dan barang siapa yang takut akan keagungan Rabb-nya serta menahan diri dari hawa nafsu, maka pastilah surga tempat kembalinya.

Singkatnya, dalam diri manusia selalu ada pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, antara ketaatan kepada Allah dan kemaksiatan kepada-Nya. Untuk itu, Allah membekali manusia dengan menganugerahkan akal yang berfungsi untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kebatilan. Dengan demikian ada nilai kebebasan dan tanggung jawab yang terkandung di dalamnya. Kebebasan untuk memilih yang baik atau yang buruk, dan mempertanggungjawabkan pilihan tersebut kepada manusia, terutama kepada Allah. QS. Al-Insan: 3, “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan kepadanya, apakah bersyukur ataukah kufur.

Nafsu amarah, Lawwamah, dan muthma’innah

Manakala manusia memperturutkan kesenangan-kesenangan duniawi dan melupakan Tuhannya, berarti ia telah jatuh pada derajat binatang, bahkan lebih rendah. Al-Qur’an menyatakan orang seperti ini adalah mereka yang tunduk pada bimbingan nafsu ammarah bi as-suu (jiwa yang acap menyuruh pada keburukan). Kepribadian orang tipe ini, mirip dengan anak kecil yang hanya ingin memuaskan kebutuhan dan keinginan semata. Kepribadian yang tidak matang. Ini mirip dengan id dalam konsep pembagian jiwa dalam pandangan Sigmund Freud.

Ketika manusia berpegang pada ketakwaan dan ketaatan kepada Allah, menguasai hawa nafsu dan syahwatnya, dan mewujudkan keseimbangan total antara tuntutan materil dan spiritual, ia berada pada ufuk kemuliaan, bahkan lebih mulia dari malaikat. Al-Qur’an menyatakannya dengan nafsu al-muthmainnah, (jiwa yang tentram) tingkatan jiwa tertinggi, suatu konsep yang mirip dengan super ego dalam pandangan psikoanalisis Freud.

Di antara posisi nafsu ammarah dan nafsu muthmainnah, terdapat nafsu lawwamah (jiwa yang amat mencela), yang mirip dengan ego dalam panadangan Freud. Pada tingkatan ini, seseorang akan melakukan introspeksi atas berbagai kesalahan yang dilakukan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perbuatan-perbuatan buruk dan tercela, merasakan penyesalan dalam hati nurani, tetapi acap kali gagal dan kembali terjerembab dalam kesalahan-kesalahan.

Aspek-aspek Pendidikan Islam

Penjelasan-penjelasan di atas menjadi dasar dalam pendidikan Islam. Pertama, bahwa proses penciptaan manusia yang berasal dari unsur ruh dan tanah mengarahkan tujuan pendidikan Islam adalah meningkatkan dan memaksimalkan unsur immataeri, yang berorientasi pada nilai-nilai kebajiakan, dalam diri manusia serta mengontrol unsur materi agar tetap berada dalam koridor kebenaran dan kebaikan.

Kedua, terkait dengan konsep jiwa dalam pandangan al-Qur’an, maka tujuan-tujuan pendidikan Islam harus diarahkan pada pembentukan kepribadian nafsu muthmainnah “jiwa yang tentram” bagi peserta didik. Ketiga, Pencapaian tujuan-tujuan pendidikan ini dapat dilakukan dengan membantu mengarahkan dan memaksimalkan potensi akal peserta didik, yang telah dianugerahkan Allah Swt. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, yang dalam hal ini meliputi: aspek spiritual (ruh), jasmani (tanah), jiwa dan kepribadian (nafsu muthmainnah), dan—dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan, pengetahuan (akal).

Empat aspek dalam pendidikan Islam di atas sesungguhnya selaras dengan sistem pendidikan nasional Indonesia, yang termaktub dalam undang-undang  RI  Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.


Like it? Share with your friends!

2
4 shares, 2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
2
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
M. Yusuf

Master

M. Yusuf, S.Pd.I., M.Pd.I adalah mahasiswa doktoral Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan dosen STAI Auliurrasyidin, Tembilahan Riau.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals