Arus modernisasi kesenian selama ini selalu diseram-seramkan sebagai biang ambruknya kesenian tradisional. Apakah benar demikian?
Hal tersebut hampir benar jika melihat tindak-tanduk jajaran birokrat dan pelaku kesenian (sebagian kecil) yang kian hari kian mengendurkan antusiasme terhadap aras kesenian tradisional.
Jangan-jangan pesohor (sesepuh) kesenian Riau pun serupa, mengalah pada kehendak zaman, memilih berdiam diri, berpangku dengkul menoleh dari kejauhan. Tapi, semoga tidak demikian adanya.
Rasanya terlalu mudah bagi kesenian tradisional menuju ambruk hanya karena desakan kesenian modern, yang senyatanya memiliki akar kebudayaan yang prematur. Sama sekali bukan lawan sepadan. Kesenian tradisional yang berurat akar pada keluhuran sejarah, bertumpu pada segantang kearifan, berpijak pada serimbun tamaddun, tidak mungkin lenyap oleh perkara nan jadid itu.
Tersebab ketidakmungkinan itu, lantas apa kalimat yang tepat untuk menamai nasib kesenian tradisional hari ini? Barangkali kesenian tradisional sedang bermukim ke wilayah senyap, jika boleh dikatakan begitu. Atau memang takdir telah menggariskan kesenian tradisional untuk hanya menetap di lingkaran akar rumput, guna menggawangi culture consciousness masyarakat. Bisa jadi.
Tentu saja, senyap bukan berarti lenyap. Ini yang perlu kita garisbawahi. Ia terus bergelora dalam simpul-simpul kebudayaan masyarakat. Apalagi kesenian bukan hanya soal yang tampak. Kalau kita memahami kesenian sebatas panggung dan tepuk tangan, wajar kalau selisih pandang maujud.
Ini pula yang patut kita pahami dari gerak kebudayaan Bengkres, Sanggar Juang Kesenian asal Tembilahan, Indragiri Hilir. Di saat kebanyakan sanggar kesenian di Riau hijrah ke platform modern, Bengkres tetap dengan sikapnya: menyulungkan kesenian tradisional.
Wilayah senyap yang ditapaki Bengkres bisa disebut, meminjam kalimat Syaukani al-Karim, menjenguk masa silam untuk menafsirkan masa kini. Atau dalam bahasa T.S. Elliot, “Sejarah bukan perihal masa lalu, melainkan mengenai kehadirannya dalam kekinian” (Lih. Critical Essays).
Dengan begitu, konsistensi Bengkres di jalur teater bangsawan dapat dipahami sebagaimana kalimat Syaukani al-Karim (penyair senior Riau) itu. Sehingga, nilai-nilai kemelayuan yang luhur dapat terus dikontekstualkan secara radikal di tengah-tengah gempuran modernitas yang kian membeludak, kalau bukan masif.
Selain itu, saat banyak pihak menyesalkan lemotnya inisiatif pemerintah merevitalisasi kesenian tradisional, sepertinya hal ini tidak jadi soal bagi Bengkres. Sebab, pertama, ini memang bukan tanggung jawab pemerintah. Kedua, bagaimana mungkin aparatur dibebani perihal tetek bengek kesenian, sedang ruang gerak hidup mereka sama sekali tidak ‘nyeni’.
Buktinya, terhitung sudah dua kali (moga terus berlanjut) Bengkres sukses menggelar pementasan di Kota Kraton, Yogyakarta. Kali ini bertempat di Taman Budaya Yogyakarta, 5 November, Bengkres akan menyajikan teater bangsawan Melayu: Tengku Sulung (Perlawanan Panglima Besar Reteh).
Bisa dipastikan kesuksesan Bengkres adalah buah jalinan antara kolektivitas dan sekepal komitmen, yang selama ini dirawat sebenar sungguh.
Apa pun itu, Tabik Bengkres. Sebagai penutup celoteh ini, menyitir Edward W. Said, “Kebudayaan adalah sumber jati diri, maka ia wajib diperjuangkan”. Kalau kata Imam Besar Bengkres, “Itulah hakikat perjuangan akar rumput”.
One Comment