Di Indonesia, pernikahan bolehlah dibagi dalam dua bagian besar, yang tergolong politis dan yang tergolong teologis, golongan ketiga silahkan ditambah sendiri. Sepanjang menyangkut pernikahan politis, orang boleh menginjak-injak kemesraan, asal segala kepentingan berjalan mulus. Tidak ada aturan yang pasti terkait urusan ranjang. Pernikahan yang sakral hanyalah komoditas politik.
Yang teologis? Agama adalah payung, cinta adalah pilarnya, kira-kira demikian. Soal kadar iman dan sebagainya itu urusan nanti, yang penting pernikahan jenis ini dihelat untuk menunaikan komando dari ‘otoritas pusat’: Allah dan Rasul-Nya. Maka, kesetaraan iman menjadi syarat mutlak.
Di tanah air kita ini, nikah lintas iman (perempuan Muslim dan pria belum Muslim) masih jadi bahan gunjingan yang laris manis di tengah-tengah masyarakat. ‘Nikah wajib bersendi kitabullah’, bagaimanapun teguhnya cinta. Sehingga, kawin lari, metheng sebelum beduknya, ancam bunuh diri, menjadi jalan singkat yang dianggap pantas. Padahal, kalau ditanya kepada dua sejoli yang terlibat cinta lintas iman tersebut, mereka tak mengerti kenapa cinta mereka sedalam itu. Kira-kira cinta itu kenal agama gak ya?
Suara-suara semisal, ‘kenapa pria boleh menikahi perempuan beda agama, sedangkan kami tidak?’, sering disounding oleh sebagian kaum hawa Indonesia, khususnya. Lagi-lagi, ini terlabel sebagai agenda yang mendeskriditkan perempuan. Hukum konstitusi di Indonesia jangan ditanya, masih timpang memayungi persoalan ini. Para artis yang berduit bisa saja numpang nikah di luar negeri, yang kere? Membujang sepanjang usia. Atau, siap-siap dicoret namanya dari kartu keluarga.
Cinta memang rumit, serumit ngurus e-KTP.
Skip Indonesia, mari kita tinjau sejenak Tunisia. Negara yang berlokasi di kawasan Timur Tengah ini terkenal agak liberal. Keberkahan yang mereka terima dari Arab Spring, benar-benar dimanfaatkan untuk membangun negara dengan sangat demokratis. Setelah cukup lama terkungkung di bawah selangkangan Ben Ali, mereka mendesak banyak hal. Di antara yang paling menonjol, adalah persoalan kesetaraan dan hak perempuan.
Di Tunisia, setakat poligami saja, bisa dikriminalkan. Sejauh ini belum ada sepertinya negara-negara di Timteng yang sefrontal Tunisia. Alasannya sederhana, berpotensi mencenderai ‘perasaan’ perempuan. Betewe, kalau perselingkuhan dikriminalkan gak ya?
“Untuk urusan hak perempuan Tunisia memang jagonya, berikut disusul Maroko”, ucap Valentine M. Moghadam, seorang feminis kelahiran Tehran. Namun demikian, nasionalisasi hak perempuan di sana bukan tanpa rintangan, kritik dan kecaman dari pelbagai elemen masyarakat sangat masif terjadi, terutama dari kubu islamis.
Dan bagaimana pula dengan nikah beda agama? Prestasi sebagai negara yang “ramah perempuan”, meminjam istilah Mounira M. Charrad, sepertinya setengah mati ingin dipertahankan Tunisia. Atas dasar kesetaraan dan progresivitas kaum perempuan, nikah beda agama telah dilegalkan secara konstitusional. Bahkan, Presiden Essebsi dengan lantang menegaskan, “Pembatasan hukum pernikahan adalah hambatan bagi kebebasan memilih pasangan”. Tak pelak kebijakan ini mengerut kening banyak pihak di negara-negara Arab.
Tak sampai di situ, Pemerintah Tunisia dengan mantap merevisi dalil konstitusi tentang pembatasan pernikahan yang diterbitkan pada tahun 1973. Hasilnya, para pria non-muslim diberi kekuatan hukum dan terhindar dari fase pertaubatan (alih agama), juga tidak lagi dibebani dengan urusan administratif yang mengular panjang.
Bisa dimaklumi, peluncuran aturan tersebut sebentuk jaminan atas kebebasan perempuan, meski harus menerobos rambu-rambu agama. Kebebasan yang dituntut sebagian kaum hawa Tunisia itu mengingatkan saya pada sebuah nasehat dari seorang budayawan kenamaan Riau, Tennas Effendy, “Hendak bebas diberi bebas, asal tidak lupakan diri”. Sedangkan dewan ulama’ Tunisia pun tidak ada yang nekat mengeluarkan ‘surat tilang’. Bahkan tak sedikit ulama’ yang mengamini kebijakan itu.
Namun, apakah benar kebijakan pemerintah Tunisia itu telah mengkerdilkan teks agama? Jika teks agama terkerdilkan siapa yang menanggung dosanya? Apakah presiden dan jajarannya? Atau dosa individu: pelaku nikah beda agama? Apapun itu, teks agama tetaplah agung, meski ada jutaan manusia yang mencoba mengkerdilkannya. Karena kebijakan itu produk negara, ada baiknya kita melihat dari view negara. Bagaimanapun, sudah menjadi tanggung jawab negara mengayomi rakyat, bahkan kalau ada rakyat yang ‘diare’ sekalipun negara wajib terlibat. Apalagi soal rumit seperti kesetaraan dan keadilan perempuan.
Tunisia sebagai negara berdaulat boleh-boleh saja menerbitkan aturan itu, memang sudah kewajiban negara manut ke selera rakyat. Apalagi rakyat yang dikit-dikit berdalil dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan, rakyat yang melihat dengan kaca mata “agama” tentu sulit untuk sepakat. Baiknya dilihat dari view “negara”. Biar klop.
Negara dibangun tidak semata-mata dengan ‘batako normatif’, atau dalil-dalil yang ditumpuk lalu tegaklah apa yang disebut dengan negara. Ada kepentingan nasional (national intrest) atau orientasi politik tertentu yang meliputinya. Kadang kita suka khilaf, juga rajin melucu menganggap negara adalah agama, dan ketika melihat agama, sayangnya lupa negara. Intinya, baik Tunisia, maupun Indonesia masih gagap dalam ber-nation-state dan berdemokrasi. Karenanya, “perayaan perbedaan”, meminjam ucapan Romo Shindu, belum siap dihelat dengan penuh suka cita, terutama di negara-negara kawasan Timteng.
Urusan perempuan memang tak pernah ada surutnya, dari satu tuntutan ke tuntutan berikutnya terus saja digelinding. Satu catatan, negara tak boleh kewalahan mengurusi tetek bengek perempuan. Selain, karena di kakinya ada ‘surga’, air matanya adalah ‘neraka’ bagi pria.
One Comment