Bagaimana supaya menjadi wali? Mungkin ini menjadi pertanyaan banyak murîdîn (sâlikîn, muhibbîn). Tentu, wali di sini maksudnya adalah wali dalam perspektif tasawuf yaitu kekasih Allah Swt, bukan wali gubernur seperti kata sebagian orang ketika musim pilkada lalu.
Baca juga: Karomah Wali Milenial
Apakah ada jalan (thâriq) yang cepat dan efisien untuk menjadi wali? Sebelum kita cari tahu jawabannya harus diklarifikasi terlebih dahulu, jika dikatakan “Tidak perlu kepingin jadi wali. Riyâdhoh, dzikir, ibadah itu harus ikhlas untuk Allah” ini maksudnya himbauan bagi yang ingin jadi wali yang identik dengan karomah-karomah. Adapun wali yang sebenarnya itu harus ditargetkan juga dicita-citakan, bagaimana mungkin seorang hamba tidak ingin menjadi kekasih Tuhan, bahkan seburuk apa pun keadaan hamba tersebut.
Dalam banyak kisah, ternyata banyak orang yang mencapai derajat yang begitu agung di sisi Allah tanpa susah payah, mungkin bisa dikatakan itulah bentuk fâidhurrahmâan (limpahan Tuhan).
Baca artikel lainnya: Syekh Mudzakkir (1869-1950 M): Karomah yang Menghidupi
Cerita-cerita tersebut jika diceritakan kepada para sâlik boleh jadi membuat mereka cemburu. Karena mungkin ada sâlik atau murîd yang sudah lama riyâdhoh tapi tak kunjung menjadi wali. Cerita-cerita tersebut bukan untuk melemahkan semangat para sâlikîn, tetapi untuk mempertegas bahwa jalan atau jalur menjadi wali itu sangat beragam dan unik.
Seketika penulis teringat pernyataan Syeikh Dr. Muhammad Idris Al-Fasi hafidzahullâh “At-thuruq ilallah bi ‘adadi al-anfâs” (jalan menuju Allah itu banyaknya sejumlah jiwa yang diciptakan Allah). Boleh jadi satu jiwa cocok pada satu jalan yang tidak cocok bagi jiwa yang lain. Dengan pernyataan ini memberi kesimpulan agar antara sâlik saling berhusnudzan, bahkan terhadap orang yang masih jauh dari perilaku sâlik, karena boleh jadi ada orang biasa yang lebih dulu jadi wali daripada ahli suluk.
Baca juga: Nasehat Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari tentang Kenyataan, Keinginan, dan Doa
Dengan banyaknya jalur menjadi wali, maka boleh jadi ada yang menjadi wali lewat jalur ilmu, ada pula jalur kaya, jalur miskin, jalur ibadah mahdhah, jalur senantiasa membahagiakan istri, jalur pejabat, jalur pedagang bahkan jalur preman dan jalur lainnya.
‘Abdullah bin Ahmad bin Quddamah al-Maqdisi dalam al-Tawwabin menceritakan seorang preman yang menjadi wali, dialah Abu Yahya Malik bin Dinar Al-Bashri. Malik bin Dinar bertaubat dan menjadi ahli ibadah hanya karena mimpi dan seterusnya ia dikenal sebagai wali. Bukankah hanya karena iba dan memberi minum seekor anjing seorang ahli maksiat diampuni seluruh dosanya dan menjadi ahli surga? Begitulah hadis shahih mengisahkan.
Secara syariat, yang paling utama menjadi imam itu yang paling aqra-afqah, tetapi menjadi kekasih Allah tidak serumit itu, karena seorang wali tidak wajib fasih, apalagi harus hapal kitab ini dan itu, bahkan Nabi Musa as sendiri tidak fasih, Nabi Harun justru lebih fasih, tetapi Nabi Harun menjadi Nabi kurang lebihnya karena doa Musa yang kurang fasih tersebut.
Baca artikel lainnya: Dari Sakit Perut Nabi Musa Sampai Pintu Rumah ‘Rabiah al-Adawiyah
Dengan memahami ragamnya jalur ini, kita akan menikmati tugas yang diberikan Allah kepada kita di dunia. Ada yang tugasnya menjadi pedagang sayur, dari sebelum subuh hingga siang harus berjualan, alih-alih mau wiridan hingga syuruq, yang wajib saja tidak bisa lama-lama, tetapi mungkin jalur kewalian yang ia dapatkan berasal dari jualannya itu sendiri. Tetapi paling tidak ada rumus umum yang harus diamalkan, yaitu menjadikan setiap tugas dan tempat kita berada sebagai media untuk beribadah kepada Allah Swt.
Jika ada yang berjualan lontong, lalu ia melebihkan porsi (besar) lontong dari ukuran normalnya sebagai shodaqoh sirr (tersembunyi) dan ia hanya mengambil keuntungan jualan yang lebih sedikit, maka boleh jadi itulah yang mengangkatnya menjadi kekasih Allah. Memang secara kasat mata tidak dzikir, tidak banyak shalat (sunnah), tetapi caranya menjalankan profesinya tersebut mengantarkannya pada derajat yang mulia.
Baca juga: Menyegarkan Ruhani di Tengah Kesulitan Duniawi
Bukankah Nabi Yunus as mencapai futuhnya di dasar samudera, sementara Rasulullah saw di ujung ufuk yang Maha Tinggi. Tetapi maqam (tempat) Yunus berada sama-sama mengantarkannya mencapai makrifat kepada Allah Swt.
Begitulah cara unik Allah menghamparkan beragam jalan untuk menjadi kekasihnya. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments