Penulis teringat dengan sebuah hadis yang mengatakan, “janganlah menangis jika ajaran agama masih disebarkan atau masih dipegang oleh ahlinya (ulama), tapi menangislah jika agama dipegang oleh orang-orang yang bukan ahlinya.” (HR Thabrani).
Hadis di atas merupakan ekspresi keprihatinan dan keresahan kita bersama, manakala agama dipegang dan diamanahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki kualifikasi dan kualitas keilmuan agama yang mumpuni, lantas kita perlu menanyakan kembali ke mana ulama yang katanya para pewaris Nabi, apakah mereka hanya menutup diri dari porak porandanya umat Islam karena berpegang pada fatwa yang sejatinya salah malah dibenarkan? akibatnya mereka saling menuduh ini haram, itu dosa dan kamu kafir. Na’udzubillahi mindzalik.
Pada zaman ini, kita bisa lihat betapa maraknya muncul fenomena para Ustas (guru abal-abal) bukan Ustadz, yaitu mereka yang mendakwahkan kepada masyarakat dengan identitas mendakwahkan ajaran Islam tetapi sebenarnya identitas tersebut hanya formalitas saja, karena kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang tidak begitu mendalami terhadap ilmu agama Islam. Hal tersebut menandakan bahwa agama Islam sudah beralih tangan kepangkuan orang yang bukan ahlinya.
Di dalam kitab maraqil ‘ubudiyah syarah kitab bidayatul hidayah Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa nanti akan ada zaman di mana seseorang yang katanya “Ulama” akan menjual agamanya dengan embel-embel dakwah. Atau mereka akan mengajarkan agama dengan harapan untuk mendapat materi duniawi saja. yang demikian itulah yang disebut dengan ulama Su’, sebelumnya kita perlu mengenal lagi istilah ulama su’ ini, sebagiamana dinukil dari kitab Ihya ‘Ulumi ad-din di sana dijelaskan mengenai pengertian ulama su’ dan bagaimana kedudukan mereka dimata Allah Swt. Berikut radaksinya:
ونعني بعلماء الدنيا علماء السوء وصفهم بذلك لخسة منزلتهم عند الله تعالى ودناءة همتهم حيث استعملوا ما به يمدح فيما يذم وهم (الذين قصدهم من) تحصيل (العلم التنعم بالدنيا) والترفه بزخارفها بتزيين المنازل بالفرش الطيبة وتعليق الستور عليها وتزيين الملابس الفاخرة والتجمل بالمراتب الفارهة (والتوصل) بذلك (إلى الجاه والمنزلة) الرفيعة (إلى أهلها) أي الدنيا
Artinya, “(Yang kami maksud dengan ulama ulama dunia adalah ulama jahat) Imam Al-Ghazali menyifati mereka demikian karena kerendahan kedudukan mereka di sisi Allah dan kehinaan semangat mereka di mana mereka menggunakan sesuatu yang terpuji untuk sesuatu yang tercela. Mereka adalah orang (yang dengan) meraih (ilmunya bertujuan untuk kesenangan dunia,) hidup senang dengan perhiasan dunia, yaitu menghias rumah dengan permadani mewah, menggantungkan gorden padanya, menghiasi diri dengan pakaian luks, dan memperindah rumah dengan kasur yang elok, (mendapatkan) dengan ilmunya (pangkat dan kedudukan) yang tinggi (pada penduduk) dunia.
Imam Ghazali membagi ulama kepada dua model; yang pertama ulama akhirat Ulama akhirat (mementingkan urusan akhirat dan meninggalkan urusan dunia) menurut beliau adalah ulama yang benar-benar representasi sebagaimana yang dikatakan dalam hadis yaitu pewaris Nabi (warasatul anbiya), mereka ini adalah ulama yang sangat memegang teguh kepada al-Quran dan Hadis atau yang biasa kita sebut dengan as-salaf as-shalih.
Namun ulama yang seperti ini (ulama akhirat) jarang sekali kita temukan lanjut kata Imam Ghozali. Bahkan bisa dihitung dengan jari karena kuantitasnya yang sedikit. Namun dengan catatan karena konteksnya pada zaman Imam ghozali dan setelahnya bisa jadi berbanding terbalik dengan realita zaman kini.
Berbeda dengan model ulama yang kedua, yakni ulama dunia (ulama su’) mereka inilah yang mempergunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan duniawi, yaitu mengajarkan dan mengamalkan ilmu agamanya hanya untuk mencari hal duniawi baik itu pangkat, kedudukan dan sebagainya. Dan inilah yang dkhawatirkan Imam Ghozali dan umumnya kita semua. Imam Ghozali mengatakan bahwa ciri-ciri ulama su’ sebagai berikut:
- Dalam dakwahnya mereka selalu membicarakan bagaimana cara mendapatkan kebahagian dunia tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang bagiamana caranya mendapatkan keseahteraan akhirat.
- Mereka berdakwah jika hanya ada upahnya saja
- Ulama yang dengan gelarnya selalu berpihak dan mendekat kepada pemimpin yang zalim dan melegitimasinya.
- Begitu mudahnya mereka mengeluarkan fatwa demi kepentingan materi atau politik duniawi.
Sikap Kita Terhadap Fenomena Ulama Su’
Setelah kita membaca bagaimana bahayanya jika ilmu agama disebarkan atau diplesetkan oleh ulama su’ sebagaimana di atas maka kiranya bagi kita memiliki beberapa manhaj atau kiat-kiat dalam menangkal adanya fenomena ulama su‘ tersebut:
1. Kita dianjurkan untuk seimbang dalam bersikap yakni, memprioritaskan amal akhirat tetapi jangan juga melupakan hal dunia, begitu juga dalam berdakwah. sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS al-Qashas: 77)
Jika salah satu ada yang unggul, baik itu agama maupun akhirat maka ibarat orang yang buta, mereka berjalan dengan mudahnya tetapi tidak melihat keindahan alam ciptaan Allah Swt yang begitu luas ini. Na’udzubillahimin dzalik
2. Kekhawatiran Imam Ghozali dalam kitabnya, bahwa akan ada zaman di mana ulama lebih mementingkan urusan duniawi dalam berdakwah, sebenarnya merupakan jembatan dan stimulant bagi generasi umat Islam untuk memiliki sikap produktif, yaitu dalam belajar dan mengajarkan ilmu agama. Apakah kita mau dipimpin oleh seorang ulama yang menjauhkan kita dari nilai-nilai ajaran Islam.
Jika demikian apakah kita hanya berdiam diri saja menyikapi hal itu?, tentunya wajib bagi kita untuk selalu belajar (tafaqquh fi ddin), agar kita memiliki bekal ilmu agama yang megakar kuat sehingga tidak salah kaprah dalam mengikuti atau mengklasifikasi ajaran agama mana yang salah dan mana yang benar.
3. Menjauhi mereka, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahwa Rasulullah mengingatkan“ulama akhirat adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan duniaulama dunia bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para Rasul karena itu, jauhilah mereka. (HR al-Hakim). Dalam hadis lain pula dikatakan bahwa ulama dunia tersebut dikatakan lebih ditakuti dari pada Dajjal. Maka dari itu hendaknya kita waspada dan mawas diri terhadap suatu yang buruk bagi kita khususnya dalam masalah agama.
Namun itu semua kembali kepada kita untuk selalu melakukan tabayyun (QS al-Hujurat:6), terhadap siapa saja yang memberi fatwa/ berdakwah (من قال) dan apa yang difatwakan/dakwahkan (ماقال) karena bisa jadi orang yang mengatakan atau orang yang berfatwa sejatinya adalah oknum yang mencoba mengahancurkan Islam dari dalam baik dengan lisan maupun perbuatan.
0 Comments