Di era modern ini, penguasaan terhadap bahasa asing sudah menjadi sebuah keniscayaan. Bahasa asing yang dimaksud penulis di sini adalah selain bahasa Indonesia dan daerah. Penguasaannya sudah menjadi tuntutan zaman, terlebih bagi generasi muda guna menghadapi segala kemungkinan yang timbul dari kemodernan. Seperti perdagangan bebas antar negara maupun dialog peradaban yang melibatkan banyak negara dengan bahasa yang berbeda-beda.
Dalam kepentingan pendidikan, penguasaan bahasa asing sangat dibutuhkan ketika hendak memahami budaya negara lain dan membaca literaturnya. Sedangkan bagi juru dakwah, hal ini akan sangat membantu ketika hendak berdakwah ke negara lain.
Sebaliknya, jika seseorang tidak menguasai suatu bahasa asing maka ia akan mudah terkena tipu daya. Misalnya, saat seorang wisatawan hendak membelibuah tangan di tempat yang dikunjunginya. Jika ia tidak menguasai bahasa di daerah tersebut, maka ia akan sangat mudah tertipu pedagang yang menawarkan harga yang lebih tinggi dari sewajar.
Tentu hal ini akan lain ceritanya jika wisatawan itu menguasi bahasa di daerah tersebut. Hal ini selaras dengan ungkapan “man ‘arafa lughata qawmin, amina min makrihim” (sesiapa saja yang mengerti bahasa suatu kelompok, maka ia akan selamat dari tipu-daya kelompok tersebut).
Berdasarkan kebutuhan mendesak di atas, kehadiran lembaga pendidikan bahasa menjadi solusi yang terbaik. Dengan lembaga pendidikan, maka belajar bahasa akan lebih maksimal karena ada tutor yang membimbing serta adanya tugas-tugas yang membuat pembelajaran lebih tertarget. Sebab, belajar bahasa tidak akan maksimal jika dilakukan secara otodidak.
Di pesantren-pesantren pun juga sudah banyak yang memasukkan bahasa asing, selain bahasa Arab tentunya, ke dalam kurikulum pendidikannya. Bahkan tidak sedikit pesantren yang mewajibkan santri menggunakan bahasa Arab-Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Salah satu pesantren yang memberikan perhatian khusus pada bahasa asing ini adalah PP. Mambaul Ulum Bata-Bata, yang terletak di Pamekasan Madura. Menariknya, pada pesantren yang didirkan oleh RKH. Abdul Majid (w. 1957) ini tidak hanya bahasa Arab dan Inggris yang diajarkan, bahkan lebih dari itu. Lebih tepatnya ada delapan bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris, Jepang, Mandarin, Prancis, Jerman, Spanyol dan Korea.
Delapan bahasa ini diajarkan dalam lembaga-lembaga kursus di bawah naungan pesantren dengan tempat atau asrama khusus. Adapun kegiatan belajar-mengajarnya dilakukan di luar jam sekolah dengan periode pemondokan sekitar 3-4 bulan, tergantung jadwal libur pesantren.
Kehadiran pembelajaran bahasa-bahasa asing ini memberikan skill tambahan bagi para santri. Sebab santri tidak hanya dididik untuk mampu membaca dan memahami kitab kuning, tapi juga menguasai bahasa asing yang diminatinya. Bahkan, berkat adanya program pengembangan bahasa asing ini, sudah ada beberapa santri yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke negara China Taipei dan Republik Rakyat China.
Berdirinya lembaga-lembaga pengajaran dan pengembangan bahasa asing dapat pahami sebagai upaya Pesantren Bata-Bata mempersiapkan santri-santri yang mampu menyampaikan pesan-pesan Islam ke penjuru dunia. Hal ini terbukti dengan metode ujian akhirnya, yaitu santri membaca kitab kuning kemudian dijelaskan menggunakan bahasa asing yang ia pelajari, di samping penguasaan teori-teori dasar dari masing masing bahasa tersebut.
Menariknya, ujian ini dilakukan secara terbuka. Dalam artian, dilakukan di atas pentas dan disaksikan oleh semua santri dan siapa pun boleh secara langsung mengetes kemampuan mereka. Bahkan, Sandiaga Uno yang kebetulan berkunjung ke pesantren Bata-Bata pada Februari 2018 pernah mengetes langsung kemampuan bahasa Inggris dari santri yang mengikuti kursus bahasa Inggris. Tentu hal ini menjadikan mereka tidak bisa main-main dalam mempelajari bahasa, jika tidak ingin malu di atas pentas.
Apa yang dilakukan oleh pesantren Bata-Bata ini merupakan sebagian dari usaha mencetak santri yang siap menghadapi tantangan kehidupan dan dakwah di masa depan. Jika santri hanya menguasai bahasa Arab saja, maka kegiatan dakwah tidaklah mungkin dapat dilakukan secara lebih luas.
One Comment