FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dewasa ini memiliki tantangan yang cukup serius. Pasalnya, di era medsos yang begitu bebas, sering terjadi peristiwa yang sebenarnya konflik biasa, namun ‘digoreng’ seolah menjadi konflik SARA.
Sebagai contoh adalah kasus di Makassar yangdisampaikan ketua FKUB Makassar sewaktu penulis ikut dalam kunjungan kerja dan studi banding 16 Juli 2019. Ceritanya, ada orang bagi-bagi sembako kepada masyarakat, gara-gara si Fulan tidak kebagian sembako tersebut, dia lalu provokasi bahwa ‘awas lho itu orang mau mendirikan gereja di tempat kita’. Jika para tokoh agama dan masyarakat tidak berhati-hati, tentu hal itu bisa memicu keresahan dan kerusuhan. Untung hal tersebut dapat segera diklarifikasi dan akhirnya situasi menjadi kondusif kembali.
Contoh lain, pernah terjadi ada orang menaruh mushaf Alquran di toilet masjid. Masyarakat saat itu sempat heboh dan muncul prasangka, bahwa ini pasti kerjaan oknum non muslim. Ternyata, setelah diselidiki, pelakunya orang gila. Ada pula kasus lain, hanya karena ada seorang non Muslim menegur seorang pengendara motor yang ketika lewat gang di depan rumahnya, sempat terjadi adu mulut dan ketegangan. Itulah pentingnya kita menahan diri dan tidak terburu-buru saja berprasangka dengan orang lain.
Sisi lain, FKUB jelas punya peran yang cukup signifikan, untuk menjadi katalisator dalam menjaga dan menciptakan kerukunan antara umat beragama.Meski sebenarnya tugas ini adalah tugas kita semua sebagai elemen masyarakat.
Nah, dewasa ini, di antara tantangan yang muncul adalah adanya perkampungan atau perumahan dan kos-kosan yang terkesan eksklusif, hanya menerima agama atau aliran ideologi tertentu. Ini merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perhatian bagi tokoh-tokoh agama, masyarakat dan pihak pemerintah daerah yang mengeluarkan izin kepada para pengembang perumahan. Sebab, fenomena tersebut dapat memicu cara berfikir dan berperilaku yang kurang toleransi terhadap liyan (the others).
Mereka yang berbeda, seolah lalu dicurigai, dianggap musuh, dan bahkan dikafirkan serta tidak layak untuk hidup berdampingan dengan dirinya, hanya karena beda agama atau aliran. Hal ini tentu tidak sehat dalam konteks kehidupan yang majemuk atau plural, yang meniscayakan adannya dialog dan interaksi antara individu dan kelompok yang berbeda.
Yogyakarta selama ini dikenal sebagai city of tolerance seolah kemudian dimentahkan oleh fenomena eksklusifitas tersebut. Toleransi itu tentu meniscayakan adanya perbedaan perbedaan yang saling menghormati dan menghargai, Bahkan kadang harus ada kesadaran untuk mengalah demi kebaikan bersama.
Tantangan berikutnya adalah masalah pemakaman penduduk yang bukan asli Yogyakarta. Masyarakat umumnya keberatan jika ada penduduk bukan asli orang setempat meninggal dunia. Disinilah FKUB perlu memberikan semacam rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menyediakan pemakaman umum, sehingga bagi warga penduduk yang ‘non pribumi’ merasa nyaman ketika hendak mencari pemakaman.
Satu hal yang sering memicu ketegangan adalah pendirian rumah ibadah. Hal ini biasanya dipicu oleh oknum yang suka untuk provokasi, serta terjadinya miskomunikasi, di samping kadang juga oleh seseorang yang melakukan manipulasi data.
Oleh sebab itu, sekali lagi tokoh masyarakat dan tokoh agama bersama FKUB dan pemerintah harus sering berkomunikasi dengan baik, ketika terjadi isu isu yang berbau konflik SARA. Khotbah-khotbah dan ceramah agama sudah semestinya berisi konten yang menyejukkan, tidak provokatif. Termasuk mestinya masyarakat tidak mudah men-share dan tidak mudah terprovokasi oleh video provokatif yang sering berseliweran lewat WA grup.
Sayangnya, kadang para anggota FKUB mendapati hambatan dalam memaksimalkan tugas dan tanggungjawabnya karena kesibukan mereka, terutama misalnya untuk rapat rutin bulanan dan pleno yang urgen. Namun hal itu sebenarnya masih bisa diatasi lewat komunikasi melalui WA grup atau HP.
Semoga FKUB ke depan semakin bisa mengamalkan tugas dan perannya untuk menciptakan masyarakat yang rukun dan damai . Semoga.
One Comment