Cacian Jiwa

Aku sedang berada dalam satu titik rendah3 min


5
5 points
Sumber gambar: unsplash.com/@blancotejedor

“Tanya Indah Caci Resah”

Tak lelahkah? Kau terinjak, termaki, terjajah, bahkan terlupakan.
Tak malukah? Kau yang dulunya anggun mempesona, idaman nan sering digoda.
Tak resahkah? Kau terbebani, tercekik, bahkan susah untuk bernafas lega.

Hai, yang bernama Ibu Pertiwi!
Di mana anak-anak penyelamatmu?
Di mana pelindungmu?
Di mana ajudanmu?
Apakah sudah tak sudi berdamai denganmu?

Mengapa bagian September di tubuhmu selalu berujung tragis?
Selalu ada kisah bengis!
Di luar nalar logis!
Beruntunglah sebagian anak-anakmu bernalar kritis.

Apa kabar anak tirimu yang bernama komunis?
Apa kabar anak tirimu pula yang bernama agamis?
Serta apa kabar anak tirimu yang bernama nasionalis?
Lantas siapa anak kandungmu dari rahim ideologis?

Ayolah, Bu,
Jika kau muak, silahkan saja mengadu
Masih ada suamimu yang bernama langit tetap siap membantu
Ada pula aku yang dengan malasnya mencaci.
Mencaci entah apa ujaran dalam hati.

Tenanglah, Ibu,
Satu suara. Satu kita bersama

Yogyakarta, 30 September 2019

 

“Fase di Titik Pertiwi”

Aku sedang berada dalam satu titik rendah,

Di mana segala di sekitarku seperti hamparan abu sisa bakaran rokok. Tak ada yang tahu apa itu keresahan. Di balik gelap gulita, hanya terdapat sebatang kretek yang senantiasa menari dengan hisapan dalam-dalam. Secangkir kopi pun terlihat gelisah saat menatap penikmatnya tampak resah.

Aku kebingungan, resah, sukma tertusuk tak berdarah. Kunyalakan lampu yang usang serta kubuka alkitab kosong bersenjata pena. Di sana kutuliskan, “Di manakah manusia? Tuhan, engkau itu sebenarnya apa? Betapa banyak makhluk yang mengaku manusia tetapi bertindak layaknya tuhan Allah yang menjatuhi vonis dalam kalamnya yang diberikan pada Muhammad. Seperti tuhan Bapa’ yang memperanakkan Yesus, banyak yang berdalih menebar kedamaian tapi ada harapan pada kepribadian golongannya. Aku melihat para pecinta dengan gagasannya bahwa cinta itu tak memandang fisik serta cinta itu ada di hati. Tapi, masih saja ketika melihat wanita seksi penis mereka seperti tentara dalam sikap sempurna. Apa lagi itu cinta? Tak kutemukan cinta sejati seperti kerinduan Adam dan Hawa, yang setiap harinya berjalan untuk memecah kerinduan. Tapi, kulihat banyak dari mereka yang setiap harinya berjalan menatap dada serta bodi wanita. Kulihat pula para mahasiswa yang menggebu-gebu dalam menyampaikan aspirasi, bergabung dalam suatu wadah dengan payung agama serta golongan. Tapi, lagi-lagi aku tak mendapati kemurnian atas nama idealis. Hanya omongan kosong tanpa rujukan hati. Sibuk memperhatikan penguasa tanpa memandang apakah dirinya punya kuasa. Bahkan berkuasa atas nama yang telah tersanjung, mereka besar karena nama wadah mereka, wadah itu pun kini mati suri karena ruhnya diperkosa ambisi dalam berebut eksistensi nama. Kulihat wadah lain nampak murung, penuh dengan aroma hasut untuk merebut. Atas nama agama, wadah itu saling tuduh kritik ideologi. Atas nama golongan, nama kemanusiaan hanyalah soal tahta dan kuasa. Tak kulihat satu pun isi dari wadah itu yang mencoba membersihkan sampah dalam wadah-wadah itu. Malah banyak yang sebenarnya mutiara lalu menjadi sampah dalam wadah-wadah sakral itu. Seperti tak ada lagi mutiara yang tersisa, layaknya anak ayam yang berbondong-bondong mengikuti induknya namun sang induk pun ingin menukar anaknya dengan makanan hingga sang anak pun terombang-ambing oleh pemilik makanan itu. Kulihat lagi banyak yang berada di luar wadah itu, dan ternyata di sana banyak kutemukan bongkahan emas di dalam pakaiannya. Bongkahan emas yang sengaja tak ingin dimasukkan ke wadah, mungkin tujuan mereka agar bongkahan emas itu sebagai penyelamat mereka kelak ketika krisis melanda. Tapi, itulah yang membahayakan si pemilik bongkahan itu. Banyak penghuni wadah yang menjauhinya bahkan ada yang membuntuti untuk menghentikan serta mengeruk alur pada bongkahan emas itu. Semakin ke sini, aku semakin tak tahu untuk apa itu semua diadakan. Untuk apa agama dilegalkan, untuk apa demokrasi dicanangkan, dan untuk apa nama Tuhan digembar-gemborkan guna kepentingannya? Bukankah tuhan itu milik seluruh elemen kehidupan, tanpa sekat, tanpa perbedaan, dan tanpa kebencian?”

Setelah kurasa mesra bermain dengan buku dan pena, sebatang kretek kunyalakan lagi serta cangkir kopi sudah terlihat penuh dengan udara. Kopi itu tinggallah ampas, tapi kejahilan jariku dengan pena masih membekas.

Kututup alkitab sakral itu, telah habis sudah kretek surga itu. Melihat ada tempat, kusandarkan tubuh dengan segala penat yang melekat. Dengan mata yang agak sayu dan terus berputar seakan enggan berpejam. Otakku mencoba berdamai dengan hati. Entah mengapa, lisanku kembali komat-kamit seperti ikan hias aquarium yang menanti umpan pemilik. Tak kusadari, persenggamaan otak dan hati telah orgasme, mengeluarkan bait kata yang abstrak. Setelah kucoba merayu, hasil orgasme itu mau menampakkan rupanya. Dengan mesra kudengarkan,

“Serat Paraning Dumadhi”

Tanggal enam belas, bulan ke-sembilan tepat di tahun ke-tujuh belas di abad dua puluh.
Hari itu merupakan sebuah sejarah,
Amanah yang maha kuasa dan para pendukung terasa tumpah.

Seiring berjalannya waktu, ku hadapi segala yang berlaku.
Ada suka, ada duka
Ada pencaci, ada pengikut sejati.

Kedewasaan tumbuh karena pencaci,
Hasrat emosi redam berkat pendukung sejati.
Aku merasakan betapa indahnya skenario itu.

Di saat diri ini ditinggalkan sang surya,
Ujian dan masalah kian menyala,
Di situ kebijaksanaan dituntut untuk bangkit.

Meski di dalamnya terdapat darah yang tak terungkit,
Luka yang sangat sakit.

Tapi aku rasakan pula bahwa bangsa ini indah.
Meski gemerlapnya kini agak bubrah.
Semua terlihat menyatu pada jiwa ini.

Ada pula asmara yang kian menyapa
Tumbuh cinta pada dia yang bekerja.

Ah…
Sudahilah angan absurd itu!
Semua kini hanya masa lalu,
Secuil sejarah dalam hidupmu.

Tanggal dua puluh sembilan, bulan sembilan, tahun delapan belas abad dua puluh. Istirahatlah kamu!
Sejarah hidupmu abadi, terpatri pada relung hati.

Sudah cukupkah, wahai lisan? Hingga terkantuk aku coba menikmatinya, sebuah roman sejarah hidupku yang ternyata sedang dipersetubuhkan oleh otak dan hati. Terdengar dengan sedikit tangisan, ketika itulah aku mulai teringat mengenai apa itu tuhan, apa itu agama, serta apa itu wadah yang semula kubunuh perlahan. Sudah saatnya kini mataku terpejam. Berharap dapat bermimpi dan bangun dalam keadaan celana yang basah.

Yogyakarta, 1 Oktober 2019


Like it? Share with your friends!

5
5 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
1
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Ainu Rizqi

Master

Tim Redaksi Artikula.id | Alumni Pondok Pesantren Darul 'Ulum. Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals