Sejarah bangsa Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari peran santri yang maknanya berasal dari kata ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang agama dan kitab suci’. Bahkan kontirbusi santri bagi negeri ini sudah sangat banyak jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah bangsa modern. Maka tidak heran jika pemerintah yang dalam hal ini Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober pada tahun 2015 silam sebagai hari santri nasional.
Baca juga: Resolusi Jihad Melawan Neokolonialisme
Penetapan hari santri yang dilakukan pada tanggal itu, sebagaimana telah diketahui bersama dimaksudkan untuk mengenang semangat jihad para santri tentang keindonesiaan yang digelorakan oleh para ulama. Merujuk pada suatu peristiwa bersejarah ketika K.H. Hasyim Asyari memberikan perintah kepada umat Islam untuk berjihad melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali Republik Indonesia pasca-Proklamasi 1945. K.H. Hasyim Asyari, pada tahun-tahun itu, adalah satu dari sekian banyak ulama yang bersama para santrinya membela dan berjuang untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melepaskan diri dari penjajahan.
Namun jauh sebelum masa-masa kemerdekaan, sejatinya peran para kyai sudah ada sejak masa pasca Majapahit, yakni pada masa kerajaan Mataram Islam di Nusantara. Bahkan peranannya begitu besar bagi bangsa Indonesia selanjutnya, khsususnya dalam menjaga sebuah harmoni antara agama dan budaya.
Baca juga: Melihat Tradisi Keislaman di Kerajaan Mataram Islam
Salah satu kyai yang memiliki peran besar pada masa-masa era Kerajaan Mataram Islam adalah Kyai Nur Iman, Mlangi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kyai Nur Iman atau yang bernama Raden Mas Sandiyo sendiri secara segi silsilah atau keturunan merupakan putra dari Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa ke-4 penguasa Kerajaan Mataram di Kartasura. Dari tradisi lisan atau tutur disebutkan bahwa Kyai Nur Iman lahir sekitar tahun 1720an. Sedangkan nama “Nur Iman” merupakan pemberian dari Kyai Abdullah Muchsin.
Sejak kecil Kyai Nur Iman menghabiskan waktunya hingga dewasa di pesantren Gedangan. Di tempat inilah Kyai Nur Iman banyak belajar berbagai disiplin keilmuan Islam seperti, bahasa Arab, fiqh, ilmu tauhid, dan tasawuf. Ia pun terus tumbuh menjadi pribadi yang saleh dan produktif melahirkan karya-karya.
Dari segi perjalanannya menuntut ilmu melalui pendidikan pesantren, apa yang dilakukan Kyai Nur Iman tidak berbeda jauh dengan kyai-kyai lainnya. Namun dari segi spiritual, perjalanan Kyai Nur Iman persis seperti apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Suryomentaram, yakni sikapnya untuk pergi meninggalkan Keraton.
Baca juga: Meneladani Sikap Spiritual Panembahan Senopati
Adapun kepergian Kyai Nur Iman atau yang juga dikenal dengan Bendoro Pangeran Hangabei (BPH) Sandiyo didasari atas konflik internal keraton sebagai akibat dari campur tangan kompeni Belanda. Sebuah konflik yang pada akhirnya berujung pada perjanjian Giyanti 1755 yang membelah Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Dengan berbekal nasehat dari gurunya, Kyai Abdullah Muchsin, untuk selalu menyampaikan dakwah secara luwes di mana pun dan kapan pun, Kyai Nur Iman pun pergi bersama kedua sahabatnya, Tanwisani dan Sanusi, melakukan perjalanan ke arah Barat. Ketika mereka sampai di tempat yang bernama Gegulu, sebuah tempat yang masuk ke dalam wilayah Kulon Progo sekarang, Kyai Nur Iman pun melakukan dakwah hingga bertemu serta berteman baik dengan penguasa desa setempat yang bernama Ki Demang Hadi Wongso. Tidak lama kemudian, Kyai Nur Iman pun dinikahkan dengan anak Demang tersebut, yang bernama Mursalah.
Setelah Ki Demang wafat, Kyai Nur Iman kemudian kembali melakukan perjalanan ke arah Utara dan sampai di desa yang bernama Kerisan. Di desa Kerisan Kyai Nur Iman bertemu dengan saudara kandungnya, yakni Pangeran Mangkubumi yang kelak bergelar Sri Sultan Hemengkubuwono I. Sri Sultan pun kemudian mengajaknya untuk kembali ke keraton yang kala itu sudah menjadi Kasultanan Yogyakarta. Namun Kyai Nur Iman menolaknya dan memilih untuk kembali ke desa Kerisan.
Pada saat melakukan perjalanan kembali ke Kerisan, Kyai Nur Iman melihat wilayah yang konon ‘bersinar dan harum’ (meleng-meleng tur wangi). Pengelihatannya akan sebuah wilayah yang bercahaya inilah yang menarik perhatian Kyai Nur Iman untuk menetap di sana. Atas alasan pengelihatan wilayah ‘bersinar dan harum’ itu, wilayah ini pun dinamakan dengan dusun Mlangi yang berasal dari ungkapan ‘meleng-meleng tur wangi’.
Kyai Nur Iman pun akhirnya berkata kepada saudaranya, yakni Sultan Hamengkubuwono I untuk tinggal di daerah Mlangi ini. Hingga pada akhirnya sang Sultan pun selaku saudara memerdekakan tanah Mlangi ini atau yang dikenal dengan tanah ‘perdikan’ yang bebas pajak.
Dari desa Mlangi ini Kyai Nur Iman kembali melakukan dakwahnya yang luwes sesuai nasehat gurunya. Dengan tidak meninggalkan budaya setempat seperti, 1). Salawatan; Barzanji Arab-Keraton, 2). Pembacaan salawat Kojan atau tembang macapat Jawa, 3). Pembangunan Masjid Jami Mlangi Islam-Keraton.
Baca juga: Pertalian Islam Kejawen dan Ajaran Tasawuf
Di dusun Mlangi ini pula lah kemudian dibangun sebuah masjid yang dinamakan Masjid Pathok Negoro Mlangi pada tahun 1755 M sebagai masjid yang bernaung di bawah Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Masjid ini pada saat itu secara umum bukan saja digunakan sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai tiang negara, keamanan, batas wilayah, dan pertahanan rakyat.
Di dalam perjalanannya, Masjid Pathok Negoro ini diserahkan kepada Kyai Nur Iman. Pada perkembangannya, Kyai Nur Iman menjadikan masjid ini sebagai tempat penyebaran ilmu-ilmu keagamaan seperti pesantren Mlangi yang beraliran al-sunnah wa al-jama’ah dan penguatan kebudayaan kraton. Maka tidak heran jika kita pergi ke sana, secara langsung akan melihat adanya perpaduan antara Islam dan budaya Jawa, seperti yang terlihat pada bentuk gapura yang khas Keraton Yogyakarta.
Latar belakangnya yang lahir dari keluarga bangsawan di satu sisi, dan tumbuh dari pendidikan pondok pesantren tradisional di sisi lain telah membentuk pribadi Kyai Nur Iman sebagai orang yang mampu menjaga harmoni perpaduan antara Islam dan Jawa. Sikap akomodatifnya terhadap budaya Jawa pun terlihat dari masih dilantunkannya salawat-salawat khas Jawa di dusun Mlangi.
Perannya sebagai kyai di dalam membangun harmoni antara Islam dan Jawa ini pun persis seperti yang Clifford Geertz gambarkan dalam karyanya,The Javanese Kijaji, yang menyatakan bahwa, “kyai sebagai makelar budaya berperan menghubungkan sekup sistem tradisi lokal dengan sekup sistem tradisi yang lebih luas. Kandidat cultural broker dalam konteks Jawa adalah kyai. Hal ini karena sosok kyai memiliki dua wajah sekaligus, yakni ia sebagai pendidik masyarakat dan ia sebagai pemimpin masyarakat. Posisi ini memungkinkan kyai menjadi perantara budaya antara masyarakat tani Jawa dengan sekup budaya masyarakat luar”.
Baca juga: Perlunya Kearifan Lokal dalam Memahami al-Qur’an
Tentu apa yang dilakukan oleh Kyai Nur Iman Mlangi dalam melakukan dakwah sudah seharusnya menjadi contoh konkrit di dalam kehidupan kita hari ini. Utamanya bagi para kaum santri sebagai agen-agen masa depan yang mampu membawa perubahan di tengah masyarakat tanpa menghilangkan konteks budaya lokal. Apalagi jika mengingat begitu mirisnya dakwah-dakwah yang dilakukan oleh sebagian ustad-ustad masa kini, tanpa pernah mengenyam dunia santri atau pesantren, secara perlahan tapi pasti justru ingin menghilangkan kearifan budaya lokal di dalam menyampaikan syiar Islam.
Assalaamu’alaikum sy mau tanya tentang silsilah KH Nur Iman kebawah ada gk ?
Sy salah satu tedak turun beliau ingin menwlusuri silsilahnya …karena orang tua sy sdh meninggal silsilah dari RM bgs Salim bin RM sandeyo. Mohon diinfokan detailnya terima kasih.
SAYA INGIN TANYA APAKAH ADA KETURUNAN ATAU NAKA DARI mBAH kH NUR IMAN ADA YG DI ACEH, MOHON PENJELASANNYA..TRIMAKSIH