Akhir-akhir ini, Sumatera Utara sedang diterpa isu tidak sedap terkait dengan wacana Gubernur yang ingin menjadikan kawasan Danau Toba sebagai Wisata Halal. Sebagai informasi, Gubernur Sumatera Utara saat ini diketahui banyak memperoleh dukungan dari ulama dan sebagian besar umat Muslim pada pemilihan kepala daerah 2018 lalu, sementara masyarakat setempat memang sebagian besar dari kalangan nonmuslim.
Sepertinya, kontestasi identitas muslim dan nonmuslim yang muncul pada pemilihan kepala daerah 2018 lalu masih terbawa hingga kini dan menjadi salah satu faktor mengapa sejak awal wacana ini bergulir selalu dibayangi oleh narasi “Islamisasi Danau Toba” yang menimbulkan polemik pro dan kontra di kalangan masyarakat. Padahal, konsep ini ditujukan agar wisatawan yang sebagian besar umat Muslim merasa lebih nyaman berkunjung dan menghabiskan lebih banyak uang di kawasan tersebut.
Banyak pihak yang menentang, mulai dari masyarakat adat, mahasiswa, budayawan, politisi, dan tokoh agama. Sebab, selain dianggap sebagai bentuk intervensi budaya, wacana ini juga dinilai tidak hanya dapat merubah kultur dan struktur masyarakat setempat, tetapi juga berpotensi memicu konflik horizontal di kawasan itu. Bahkan sampai ketika konsep tersebut diklarifikasi oleh pejabat terkait sebagai Moslem Friendly Tourism, gelombang protes masih saja bermunculan baik di media sosial maupun secara aktual.
Di media sosial misalnya, mudah sekali ditemui komentar-komentar negatif jika ada akun berita yang mempublikasikan soal Wisata Halal, mulai dari yang tersopan seperti “jangan urus adat budaya kami”, sampai kata-kata kasar yang menyebut nama hewan atau bagian tubuh manusia oleh akun-akun anonim. Lalu di dunia nyata, berbagai elemen masyarakat melakukan unjuk rasa menolak realisasi konsep wisata halal, mulai dari aksi damai oleh mahasiswa hingga gelaran Festival Babi di Danau Toba yang rencananya akan dilaksanakan tanggal 25 September 2019. Hanya aksi anarkistis saja yang belum, tetapi harapan kita kalau bisa jangan sampai terjadi.
Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan sikap bahwa sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba menolak labelisasi halal dan tidak halal yang menurut mereka terkesan mengotakkan.
Melihat perkembangan situasinya, saya jadi ragu seandainya Danau Toba diberi label Wisata Halal. Mengapa? Pertama, karena sedikit banyak konsep tersebut akan merubah tatanan masyarakat setempat baik secara struktural maupun secara kultural. Konflik akan muncul dalam proses perubahan sosial, terutama jika masyarakat masih belum siap untuk hidup dalam keberagaman.
Kedua, masyarakat sekitar masih menganggap tanah sebagai wilayah teritorial sekaligus batas-batas kultural, sehingga masuknya pendatang dianggap sebagai ancaman terhadap budaya yang sudah lebih dahulu ada.
Ketiga, masyarakat sekitar yang sebagian besar nonmuslim juga tidak banyak diuntungkan secara ekonomi dengan adanya konsep Wisata Halal. Lagi-lagi, ini akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berpotensi menyebabkan konflik di kawasan tersebut.
Sederhananya kalau wisatawan yang datang ke Danau Toba banyak yang Muslim, yang dicari terlebih dahulu pasti yang Muslim juga. Apakah itu tempat wisatanya, penginapannya, ataupun warung makannya. Karena selain lebih nyaman untuk beribadah, juga lebih terjamin kehalalan makanannya. Kalau tidak ada, baru berlaku hukum darurat. Karena tidak ada yang Muslim terpaksa di tempat yang nonmuslim. Tetapi meskipun ada hukum darurat, masih banyak orang yang merasa tidak nyaman menggunakannya, apalagi jika sering-sering.
Nah, konsep halal dan haram dalam Islam terkait dengan makanan itu memang sedikit rumit untuk dimengerti, terutama bagi mereka yang tidak mempelajari. Makanan yang dikatakan haram itu sebenarnya bukan hanya daging babi dan daging anjing saja. Daging ayam, daging sapi dan daging kambing pun haram dimakan jika waktu disembelih tidak mengucap nama Allah.
Pastinya, semua orang Muslim menyadari bahwa hanya orang Muslim saja yang mengucapkan nama Allah ketika menyembelih hewan untuk dijadikan makanan. Ujung-ujungnya, akan semakin banyak orang Muslim yang berdatangan kesana, baik untuk bekerja maupun membuka usaha tempat wisata, penginapan, restoran, cafe, dan sebagainya. Lambat laun, proses kependudukan ini akan mengubah komposisi demografi di kawasan tersebut dan menjadikan persaingan menjadi sangat ketat.
Kalau sudah begini, masyarakat setempat yang nonmuslim bukan hanya akan kalah bersaing dalam hal usaha, tetapi juga akan banyak mengalah untuk menjaga kerukunan. Misalnya, biasanya orang potong babi secara eksplisit terpaksa harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Padahal, potong babi merupakan salah satu ritual dan atraksi yang jarang dilihat oleh banyak orang Muslim. Selain itu, potong babi bagi masyarakat setempat juga memiliki prestise tersendiri.
Kemudian, dampak lainnya adalah akan banyak bermunculan perkampungan Muslim, begitu juga masjid dan musala yang berdiri untuk mengakomodir kebutuhan ibadah para pendatang maupun wisatawan.
Perubahan sosial yang cepat seyogyanya harus diimbangi juga dengan kemampuan resiliensi yang tinggi terhadap perubahan itu sendiri. Tetapi masalahnya, sebagaimana yang kita tahu, bahwa di Indonesia ini memang tidak banyak orang yang bisa menerima perubahan, terutama jika perubahan itu muncul dari perbedaan.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyadaran serta ruang dialog yang dapat menjembatani dan mempertemukan semua kepentingan untuk meminimalisir potensi ketegangan.
Konflik yang besar biasanya bermula dari persoalan kecil yang terakumulasi tanpa disadari. Daripada nanti malah jadi ribut, lebih baik tidak usah sama sekali atau setidaknya tunggu sampai masyarakat belajar untuk mampu hidup dalam keberagaman. Lagipula, masyarakat sudah letih dengan polemik yang hampir tak berkesudahan, dan masyarakat juga sesekali ingin menikmati suasana hidup rukun tanpa ketegangan.
Untuk kebaikan bersama, wisata halal bisa menunggu. Toh, setiap tahun Danau Toba tak pernah sepi pengunjung dan masyarakat sekitar juga sudah terbiasa hidup dalam kondisi yang seperti sekarang.
0 Comments