Menakar Jiwa Manusia: Petuah Ki Ageng Suryomentaram

"Hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat"4 min


Berbicara kehidupan tentu tidak akan pernah lepas dari yang namanya persoalan, baik persoalan dalam tata pergaulan maupun persoalan atas diri sendiri, yang berdampak pada hilangnya “rasa bahagia”. Dalam hidup bicara kebahagiaan memang persoalan yang subjektif, namun tidak jarang bagi sebagian orang dengan kejinya rela bercakar-cakaran, rela curiga, rela bertengkar dan lebih jauh rela menyalahkan keadaan ketika dirinya tidak merasa bahagia. Hingga melahirkan kesan bahwa dirinya tidak cukup dewasa dalam memahami realitas. Bahkan sering kita dengar kata-kata “bahagia itu sederhana”, akan tetapi ketika kata-kata itu dihadapkan pada persoalan yang lebih besar, diri kita tidak mampu menyikapinya dengan bijak, sehingga dengan mudah menyalahkan keadaan.

Oleh karena itu, tidak jarang banyak berbagai pemikir telah melahirkan begitu banyak karya dan pemikiran untuk memahami persoalan tentang rasa manusia. Salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram sendiri adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang ke-55 dari 78 bersaudara. Lahir pada hari Jumat Kliwon, 20 Mei 1892 dari ibu Bendoro Raden Ayu (B.R.A) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI, dengan nama kecil Bendoro Raden Mas (B.R.M) Kudiarmaji.

Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram tidak berbeda dengan anak-anak sebayanya beliau bersekolah di sekolah Srimanganti yang berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selepas dari Srimanganti, beliau melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti kursus Klein Ambtenaar, yang mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, beliau bekerja di kantor gubernur selama 2 tahun. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram memiliki kegemaran membaca buku-buku seperti, filsafat, sejarah, dan agama. Pendidikan agama Islam beliau dapatkan langsung dari K.H Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Pada usianya mencapai 18 tahun Ki Ageng Suryomentaram pun diangkat sebagai Pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo (B.P.H) Suryomentaram. Namun, pengangkatannya sebagai pangeran ini membuat Ki Ageng Suryomentaram sedikit kecewa ketika kakeknya Patih Danurejo VI diberhentikan sebagai patih dan akhirnya meninggal dunia. Pada saat Ki Ageng Suryomentaram memohon kepada ayahandanya untuk memakamkan kakeknya di Imogiri, ayahandanya menolak. Penolakan inilah yang membuat Ki Ageng Suryomentaram kecewa, meski terlahir dari anak seorang raja dengan segala fasilitas yang begitu mewah tetap saja dalam diri Ki Ageng Suryomentaram ada rasa gelisah dan kecewa.

Rasa gelisah dan kecewa ini pun semakin besar dirasakan dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Bahkan dalam perjalanannya ketika dirinya sedang melaju menggunakan kereta, sang Pangeran melihat dirinya sebagai orang yang telah terkamuflase oleh pakaian yang digunakannya dari sutera, juga berbagai perhiasan berupa emas dan berlian yang dikenakannya. Dengan pakaian dan perhiasan yang mewah ini, membuat dirinya seakan-akan berbeda dengan kebanyakan orang. Dan pada saat itu dirinya berkata kepada dirinya sendiri, “Jika Suryomentaram ini tak lagi memiliki harta benda (semat), kedudukan (drajat), dan wibawa (kramat), yang tersisa hanyalah orangnya saja”.

Maka, dengan kegalauan dan perasaan keingintahuannya terhadap masalah kejiwaan, hakekat kehidupan, dan kebahagiaan. Telah membawa Ki Ageng Suryomentaram keluar dari kraton dengan melepaskan gelar kepangerannya dan pergi untuk mengembara.

Memahami kehidupan Ki Ageng Suryomentaram telah menarik perhatian begitu besar bagi kebudayaan bangsa Indonesia terkait dengan masalah perenungan filosofis. Mengingat pertanyaan yang dilemparkan Suryomentaram terkait hakekat hidup persis seperti filsuf-filsuf besar dunia. Namun, yang menarik dari pemikirannya adalah sifat orisinalnya yang khas Indonesia karena lahir dari budaya dan masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Radhar Panca Dahana, bahwa wejangan Ki Ageng Suryomentaram menemukan gagasannya dalam peristiwa, dalam hidup yang berjalan, dan dalam diri orang-orang yang bergelut dalam keseharian, hingga banyak yang menyatakan bahwa gagasan Ki Ageng Suryomentaram adalah filsafat khas Indonesia.

Gagasan filsafat khas Indonesia yang lahir dari kegalauan, perjalanan dan perenungan filosofis Ki Ageng Suryomentaram inilah yang melahirkan pengetahuan tentang kawruh jiwa atau ilmu jiwa (science of the soul) atau ilmu tentang pengetahuan diri (science of self knowledge). Kawruh Jiwa adalah pengetahuan mengenai jiwa. Di mana jiwa adalah sesuatu yang tidak kasat mata, akan tetapi keberadaannya dapat dirasakan. Oleh karena itu Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa kawruh jiwa adalah ilmu tentang “rasa”. Dengan memahami kawruh jiwa, seseorang diharapkan dapat hidup tulus, tentram, penuh kasih sayang dan percaya diri.

Salah satu gagasan dalam kawruh jiwa yang perlu dipahami terkait tentang persoalan diri sendiri dan kebahagiaan adalah karep dan mulur mungkret. Sebagaimana Ki Ageng Suryomentaram jelaskan bahwa sejatinya dalam diri manusia ada karep (keinginan), watak karep ini adalah mulur-mungkret (mengembang-menyusut). Bila keinginan tercapai akan mulur dan bila tidak tercapai akan mungkret. Dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan rasa dan kebahagiaan inilah yang harus menjadi ukuran dalam mengatur keinginan agar tidak melampaui batas kemampuan dengan selalu menyalahkan keadaan dan melanggar batas-batas norma yang ada.

Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan sepeda. Dan keinginannya itu tercapai maka ia akan mulur (mengembang) dengan menginginkan yang lebih tinggi, seperti motor. Namun apabila keinginan memiliki motor tidak terpenuhi secara alamiah seharusnya seseorang bersedia mungkret (menyusut), menerima dulu apa yang dimilikinya. Jika melihat dalam konteks yang lebih jauh apa yang Ki Ageng Suryomentaram ajarkan ini ternyata sejalan dengan konsep rasa syukur, sebagaimana janji Gusti Allah dalam Q.S. Ibrahim: 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Jadi, dengan pemahaman tersebut seharusnya sebagai manusia tidak perlu merasa frustasi dan bertindak melampaui batas serta mengatakan hal-hal yang justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam bersyukur. Selain itu, dalam gagasan kawruh jiwa juga menunjukkan akan adanya bungah-susah (gembira-susah) yang bersifat langgeng. Di mana tidak ada kegembiraan yang terus-menerus, dan tidak ada kesedihan yang terus menerus. Keduanya hadir secara bergantian. Sehingga dalam hidup tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan dikeluhkan. Gagasan ini pun sejalan dengan pepatah kuno dari tanah Jawa tentang ‘urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang’, artinya (hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat).

Pemahaman ini sangat efektif bila dipraktikkan dalam kehidupan untuk membesarkan hati bagi pihak yang tertimpa kesusahan besar, karena ia mengetahui bahwa kesusahannya tidak berkepanjangan dan lebih jauh tidak mudah iri dengan kebahagiaan orang lain. Oleh karena itu ada ungkapan yang terkenal dari Ki Ageng Suryomentaram,“Di atas bumi dan di kolong langit tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari, atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya, dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”.

Ungkapan Ki Ageng Suryomentara di atas merupakan cara untuk menghindari perasaan getun-sumelang. Getun artinya kecewa terhadap sesuatu yang telah terjadi dan sumelang artinya khawatir atas sesuatu yang akan terjadi. Jika seseorang terjebak pada perasaan getun-sumeleng, maka dia akan sulit bersifat objektif dan tulus dalam memahami realitas. Dan orang yang mampu keluar dari belenggu getun-sumeleng akan memasuki perasaan tenang dan percaya diri hingga mudah memperoleh kebahagiaan.

Inilah sikap dan perasaan yang perlu dikedepankan seseorang untuk memaknai sebuah realitas hidup dan kehidupan, khususnya terkait dengan masalah kebahagiaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan yang diringi rasa syukur untuk mampu memahami persoalan yang dihadapi sebenar-benarnya.


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
4
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals
situs toto toto 4d toto 4d toto 4d idnslot slot88 toto 4d toto 4d togel viral dana toto scatter hitam