Munculnya polemik kebijakan-kebijakan baru oleh para elite negara, khususnya eksekutif dan legislatif, menyebabkan gejolak penolakan yang cukup masif dari berbagai golongan dan lapisan di seluruh penjuru Indonesia. Kebijakan yang muncul dari kursi parlemen ibukota memancing reaksi masyarakat terutama mahasiswa dalam mendiskusikan problem ini. ‘Halaqah’ dalam satu meja dari berbagai organisasi mahasiswa pun marak digalakkan akhir-akhir ini dan membuahkan sebuah konsensus bersama tentang aksi penolakan dari kalangan mahasiswa pada hari Senin hingga Selasa (23-24/9).
Berbagai aksi penolakan mahasiswa ini diwujudkan dalam aksi long march di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, terkhusus pulau Jawa yakni, Jakarta yang berpusat di depan gedung DPR-RI; Yogyakarta yang berpusat di jalan Gejayan pertigaan Colombo; Malang yang berpusat di depan gedung DPRD kota Malang; Jember yang berpusat di depan gedung DPRD kabupaten Jember; Surabaya yang berpusat di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Timur; Sidoarjo yang berpusat di depan gedung DPRD kabupaten Sidoarjo. Aksi demonstransi ini dipelopori oleh sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari tiap universitas maupun berbagai organisasi pergerakan seperti PMII, HMI, KAMMI, IMM, dll yang menghimpun massa dari mahasiswa.
Aksi penolakan mereka bukan tak berdasar, aksi tersebut lahir dari carut-marutnya kondisi bangsa saat ini. Permasalahan-permasalahan yang kompleks sedang menyerang Indonesia saat ini bermuara dari berbagai aspek seperti hukum, demokrasi, lingkungan dan kemanusiaan. Kalangan mahasiswa rupanya ingin menunjukkan eksistensi mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang peduli terhadap hak-hak kerakyatan dan umumnya masa depan negara. Ini sudah terbukti dengan adanya tindak lanjut yang bukan lagi berbentuk diskusi-diskusi internal mahasiswa, ataupun seminar-seminar, namun sudah diwujudkan (menurut penulis) dalam suatu acara nasional mahasiswa berupa aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia.
Lantas, yang menjadi pertanyaan besar di benak pembaca yang budiman adalah apa sebenarnya yang menjadi masalah mendasar yang melatarbelakangi golongan mahasiswa melakukan aksi tersebut? Bukankah aksi di jalanan itu sudah termasuk puncak dari bahayanya keadaan negara? Karena sudah tidak bisa dirembugkan lagi dengan diskusi dan kritikan tajam lewat naskah tulisan.
Selain itu pula, penulis berasumsi bahwa peristiwa ini apakah juga menjadi titik temu reintegrasi golongan mahasiswa yang diharapkan kehadirannya kembali sejak Reformasi ’98? Namun dari beberapa asumsi tersebut, muncul isu-isu baru yang ikut menyertai aksi-aksi penolakan ini.
Agenda yang dilakukan lembaga negara dekat-dekat ini menarik perhatian rakyat terutama mahasiswa untuk terus melakukan usaha pengontrolan terhadap lembaga perwakilan seperti DPR-RI. Kita ketahui bersama bahwa DPR-RI adalah lembaga legislatif yang mempunyai wewenang salah satunya adalah untuk menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD-RI. Huru-hara yang terjadi akhir-akhir ini adalah pembahasan berbagai RUU mengenai beberapa cabang yakni seperti pertanahan dan kemasyarakatan. Tak hanya RUU, revisi mengenai UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memunculkan polemik besar dalam lingkup hukum kenegaraan.
Bagaimana tidak? RUU maupun revisi UU yang diampu oleh DPR-RI saat ini dicap sebagai pembahasan hukum yang ‘ngawur’ dan ‘nyeleneh’.
Kenapa demikian? Semisal saja dalam tubuh RUU Pertanahan yang di sana terdapat poin-poin hukum yang terkesan menguntungkan para elite pemilik lahan di Indonesia, seperti perpanjangan jangka waktu HGU, dan diksi dalam poin hukum yang muaranya seperti akan menyembunyikan nama pemilik HGU. Hal ini mengundang berbagai kritik pedas, karena dinilai akan menguntungkan para elite pemilik lahan, apalagi hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada sektor lingkungan yang kini sedang berada pada dangerous zone.
Tidak hanya itu, pasal-pasal tentang kemasyarakatan seperti hak demokrasi dan kebebasan berpendapat seakan-akan dibatasi dan dibungkam kembali oleh pemerintah layaknya rezim Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Ini tentu memancing para penggiat demokrasi, entah itu dari lingkungan akademik maupun dewan pers yang merasa dirugikan dengan adanya pasal-pasal ‘nyeleneh’ tersebut, untuk melakukan penolakan atau pembahasan ulang terhadap RUU tersebut karena telah memunculkan distorsi demokrasi yang lambat-laun semakin ketat dalam praktiknya.
Pun tak berhenti di situ, munculnya pembahasan mengenai revisi UU KPK pun menjadi kecemasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Pada awalnya revisi ini diadakan karena melihat keadaan KPK yang selama ini dinilai menyimpang dari ketentuan hukum yang ada, seperti penangkapan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dirasa melanggar HAM dan target penangkapan koruptor yang makin hari makin membludak. Hal ini memunculkan praduga bahwa KPK adalah lembaga yang menangani dan memberantas korupsi, namun target penangkapannya bertambah dari tahun ke tahun. Ini tidak sejalan dengan misi KPK untuk meminimalisir angka korupsi yang tinggi di Indonesia. Namun hal ini tidak sejalan dengan solusi yang diberikan pemerintah, yang mana muncul rumor bahwa KPK harus melewati Dewan Pengawas dalam melakukan aksinya.
Selain itu, isu mengenai diangkatnya pegawai KPK menjadi PNS memunculkan asumsi yang nantinya bermuara pada sikap pro terhadap segala kebijakan pemerintah. Ini tentu menodai kredibilitas KPK sebagai lembaga independen di Indonesia.
Problem ini cukup menjadi perhatian besar bagi aktivis penggiat demokrasi maupun korupsi. Mengingat Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi yang sudah melebihi batas kewajaran. Bagaimana tidak? Menurut data dari Badan Dunia Pemerhati Upaya Pemberantasan Korupsi (Transparency International) merilis laporan tahunan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2018, menyatakan bahwa Indonesia berada di posisi ke-89 dengan skor 38. Fakta ini sangat jauh dengan indeks bebas korupsi yang mencapai skor 100. Dengan kenyataan ini, apalagi dimotori oleh pembahasan revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan daya independensi KPK itu sendiri dalam menangani korupsi, memantik kekecewaan penggiat anti korupsi dan utamanya mahasiswa untuk memperjuangkan harga diri KPK sebagai lembaga independen yang kredibel di negara ini.
Pembahasan terhadap revisi KUHP pun menemui titik penolakan dari para demonstran. Ini tidak lain tidak bukan karena keinginan yang dinilai terlalu memaksakan perangkat hukum pidana. Selama ini, nomenklatur KUHP masih merujuk pada hukum masa kolonial Belanda. Niat baik dari para elite bangsa dalam menciptakan naskah hukum pidana murni ciptaan anak bangsa memang perlu diapresiasi, namun yang menjadi permasalahan adalah isi dari RKUHP tersebut. Sekali lagi, poin hukum di dalamnya dinilai ‘ngawur’ karena tidak sesuai dengan nilai-nilai asas demokrasi. Sebab inilah, rakyat lewat mahasiswa dan dewan pers merasa keberatan terhadap hak-hak mereka yang diringkus oleh elite pemerintah.
Masalah lain yang muncul adalah problem kemanusiaan yang akhir-akhir ini terjadi tindakan anarkis, rasis dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, sebut saja saudara kita setanah air yang berasal dari Papua. Puncak problem ini ketika menjelang hari kemerdekaan terjadi tindakan yang dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman aparat keamanan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Tentu ini menyulut berbagai aksi dan protes rakyat Papua seperti di kota Jayapura dan kabupaten Manokwari yang merasa putra-putri mereka telah didiskriminasi oleh kelompok tertentu.
Melihat kejadian ini tentu sangat berbahaya, mengapa? Sebab bisa saja aksi-aksi seperti ini didorong oleh kelompok separatis yang ingin mengacam persatuan dan kesatuan bangsa. Maka dari itu, pemerintah dituntut untuk menyelesaikan masalah kebangsaan tersebut dengan melakukan pendekatan secara kemanusiaan terhadap semua komponen bangsa terkhusus masyarakat Papua yang terlanjur ‘sakit hati’.
Satu lagi permasalahan, adalah tentang dampak lingkungan yang dari tahun ke tahun terjadi penggerusan kekayaan alam Indonesia yang telah nyata diakui dunia. Ini tidak hanya menjadi isu nasional, akan tetapi menjadi masalah global. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa kekayaan alam Indonesia berupa hutan di tanah Sumatera dan Kalimantan menjadi organ vital paru-paru dunia ke-2 setelah negara Brazil dengan belantara Amazon-nya. Hingga saat ini, masih belum ada tindakan yang pasti terhadap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Riau dan sebagian pulau Kalimantan selain pemadaman. Keadaan udara di daerah-daerah tersebut sudah melewati ambang batas dari indeks kesehatan oksigen yang berada pada nilai 300, sedangkan angka keamanan oksigen di sana sudah mencapai angka 500 (berbahaya). Konsensus aksi mahasiswa turut meminta kebijakan pemerintah yang harus menindak tegas aktor di balik rusaknya lingkungan yang mengancam hak kehidupan manusia utamanya di daerah yang diselimuti asap pekat.
Dari berbagai problem kenegaraan dan kebangsaan tersebut, seakan menjadi simbol kembalinya ruh mahasiswa setelah lama tenggelam terhitung sejak pasca reformasi untuk menggulingkan rezim Presiden Soeharto di tahun 1998.
Namun bukan berarti perjuangan mahasiswa harus tampak di jalanan sambil melakukan orasi tentang keadaan negara, namun peran mahasiswa selama ini sudah cukup melimpah bagi keberlangsungan kontrol kinerja pemerintah, entah lewat apa pun jalurnya. Akan tetapi, aksi long march di jalanan memang mengingatkan kita dengan peristiwa ’98, kita tidak bisa melepaskan peran rakyat lewat mahasiswa saat itu.
Aksi kritik terhadap pemerintah yang dilakukan mahasiswa memang akhir-akhir ini menjadi topik yang perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Ingatkah kita terhadap aksi ‘kartu kuning’ kepada Presiden Joko Widodo yang dilakukan oleh Ketua BEM UI di tahun 2018? Itu seakan menjadi titik peringatan bagi pemerintah walaupun saat itu belum muncul masalah-masalah yang kompleks seperti sekarang. Memang pada saat itu, tindakan kritik Ketua BEM UI tidak diindahkan oleh sebagian banyak pihak, karena tidak mendapatkan sokongan dari pihak yang lain (mahasiswa). Namun sekarang, hemat penulis mengungkapkan bahwa adanya komunikasi yang masif berskala nasional, entah itu hanya lewat tagar; pesan wa; atau yang lainnya, dapat menggerakkan semua elemen mahasiswa untuk turut andil dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
Inilah yang penulis sebut reintegrasi mahasiswa lingkup nasional dalam aksi penolakan kebijakan elite pemerintah. Tetapi, muncul polemik baru yang menyusupi aksi mahasiswa. Isu-isu tentang penggulingan pemerintahan yang sah akhir-akhir ini gempar menampar tujuan utama demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Beberapa orang di sekitar penulis mengungkapkan bahwa jika aksi-aksi tersebut hanya dilakukan atas dasar ketidaksanggupan oknum dalam menerima hasil pemilu tahun 2019, maka aksi-aksi tersebut tidak ada jiwa kebangsaan sama sekali dan inilah yang penulis katakan akan menjadi isapan jari belaka.
Kenapa demikian? Karena harus dikembalikan lagi kepada tujuan awal untuk memperjuangkan ruh demokrasi yang menghargai keputusan rakyat adalah mutlak adanya. Memang keputusan hasil pemilu 2019 yang memutuskan pasangan nomor urut 1, Jokowi-Ma’ruf, belum dilantik. Akan tetapi, tidak mungkin nantinya ada kekosongan kursi pemerintahan apabila memang disusupi oleh oknum untuk menggulingkan presiden terpilih.
Adanya rekonsiliasi antar pasangan calon presiden pada pemilu 2019 kemarin, bijaknya untuk disikapi sebagai titik damai dan selesainya persaingan kursi presiden untuk 5 tahun ke depan. Tetapi ini memang berbahaya jika aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa diboncengi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Namun penulis optimis, bahwa mahasiswa tidak akan terganggu ruh independensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai bangsa, dan kepentingan NKRI. Terbukti sudah dari banyaknya peran rakyat khususnya mahasiswa dalam melakukan pengawalan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga saja, cita-cita luhur rakyat yang diwakili oleh suara mahasiswa dari berbagai penjuru daerah di Indonesia dapat terdengar oleh kuping-kuping para elite di Senayan. Dan semoga tidak terjadi huru-hara yang anarkis dan berkelanjutan. Serta permasalahan-permasalahan bangsa yang penulis utarakan di atas dapat terselesaikan, sehingga negara ini dapat dianggap sebagai negara yang menghargai jasa para pendahulu dalam melaksanakan reformasi menuju Indonesia emas tahun 2045.
Sekian yang dapat penulis ungkapkan, tentu banyak kekurangan dalam artikel ini. Semoga dapat bermanfaat dan menambah kepekaan dan kepedulian kita terhadap keberlangsungan kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2 Comments