Dislokasi Kebenaran

Padahal bila ditelisik lebih dalam, harusnya kebenaran tak perlu kita umbar-umbarkan, cukup untuk diri kita sendiri. 3 min


Sumber Gambar: moguldom.com

Koma 3

Sejuk-sejuk dinginnya hawa subuh di Kadipiro itu masih menyelimuti. Seperti biasanya, seusai subuh berjamaah, Cak Slamet dan rekan-rekannya berkumpul di tempat yang mereka sebut markas. Tak lain, tempat itu adalah kediaman Cak Slamet. Tempat dimana tercakupnya segala jenis ilmu, perasaan, bahkan pisuhan.

Entah apa yang membuat mereka nyaman; diskusi keilmuan kah, ber-muwajaha dengan rekan-rekan kah, atau suguhan-suguhan enak dari si empunya rumah kah, dan beragam kemungkinan lain. Ah, untuk jelasnya tanyakan saja sendiri pada mereka.

Aduh aduh, ini apa lagi toh?” Sambat Judy kala melihat timeline Twitter-nya.

“Kenapa, Jud? Mbok santai gitu, lho.” Cak Slamet menanggapi.

“Ini lho, Cak. Orang yang selama ini disangka-sangka sebagai penyebar hoax, ternyata yang dia sebarkan itu benar. Orang yang terus berprasangka baik malah ternyata salah. Ruwet!”

Lha memang kenapa kalau nyatanya begitu?”

“Kan mumet (pusing), Cak. Mau berprasangka baik malah yang kuprasangkai itu tak sesuai dengan prasangkaku. Justru prasangka buruk orang lain malah nyata terjadi.”

“Prasangka dan kenyataan kan memang seringkali berlawanan, Jud. Kamu berprasangka baik sama si A, tapi ternyata dia ndak sesuai prasangkamu. Memang kamu bakal rugi apa kalau prasangkamu tak sesuai dengan kenyataan?”

Baca Juga: Perlukah Menyampaikan Berbagai “Versi Kebenaran” Kepada Umat?

Cak Nuk menyaut, “Kukira ndak akan ada ruginya, Cak, kalau kita berprasangka baik pada siapapun. Semisal prasangkaku keliru pun, ndak akan pengaruh dengan nyawaku, hartaku, martabatku, dan lain-lain. Wong cuma prasangka aja kok ….”

“Nah, si Genuk saja ndak merasa dirugikan secuil pun, Jud. Minimal, prasangka baik itu bikin kita ayem. Sedangkan prasangka buruk malah bikin kamu rugi waktu dan tenaga buat mikirin itu semua. Kok seolah-olah kita ini hidup berlandas pada siapa yang benar, sampai lupa apa sih yang benar.”

“Memang kebenaran menurut sampeyan itu gimana, Cak?” tanya Judy

“Menurutku, kebenaran itu ada tiga, Jud. Ada kebenaran pribadi, kebenaran umum, dan kebenaran mutlak. Kebenaran pribadi dan umum sifatnya masih sangat relatif, Jud. Sedangkan kebenaran mutlak ya cuma punya Allah dan Rasulullah.”

Bila diandaikan, bilangan 10 itu hasil dari bilangan berapa dikalkulasi dengan bilangan berapa. Bisa jadi, Cak Slamet menganggap 10 itu hasil dari 5 ditambah 5, dan itu benar. Bisa jadi, Judy menganggap 10 itu hasil dari 2 ditambah 8, dan itu benar. Bisa jadi, Cak Nuk menganggap 10 itu hasil dari 2 dikalikan 5, dan itu benar pula.

Pada kebenaran umum, kita menyadari bahwa dalam satu hari bisa ada siang, sebab matahari bersinar. Dan hari bisa malam, sebab matahari tak nampak, dan bulan lah yang menggantikannya. Bila saja tak ada matahari dan bulan, mungkin kita akan mumet sebab akan rumit untuk membedakan siang-malamnya.

“Wah wah, Cak. Masih sangat relatif kebenaran-kebenaran yang kita yakini ini. Berarti, prasangka dengan kebenaran itu memang beda konteks ya, Cak?” tanya Judy

“Betul, Jud. Prasangka itu kan urusan tata kelola pikiran dan perasaan kita, yang mana kita sendiri belum tahu kenyataannya bagaimana. Kenyataan itu nanti lah yang bakal bikin prasangka kita itu benar atau salah. Tapi mbok ya jangan terpaku sama siapa yang benar, Jud. Kembali ke tadi, kebenaran itu masih sangat relatif buat kita. Yang kita yakini benar, bisa saja salah. Yang kita yakini salah, bisa saja benar.”

Seperti demam kebenaran yang sudah menjadi kebiasaan, semua orang merasa paling benar dan menyalahkan yang tak sepaham dengannya. Apa yang benar pun jadi ‘kabur’ entah kemana perginya.

Baca Juga: Kita yang Haus dan Kelaparan

Padahal bila ditelisik lebih dalam, harusnya kebenaran tak perlu kita umbar-umbarkan, cukup untuk diri kita sendiri.

“Bila dapat diandaikan sebagai rumah, kebenaran itu dapurnya, Jud. Kalau ada orang bertamu, apa terus yang kita suguhkan itu panci, wajan, bawang, dan peralatan dapurnya serta bahan-bahan makanan yang akan kita bikin?” tanya Cak Slamet sambil melinting tembakau di tangannya.

“Ya jelas endak lah, Cak. Wong kita punya dapur, buat apa mengolah makanan di ruang tamu bahkan di depan tamunya langsung, hehehe ….”

“Nah, terus aku mengolah makanan yang bakal kusuguhkan buat tamu itu di dapur. Proses mengolah itulah yang kusebut kebaikan, Jud. Niat kita untuk menyuguhkan sesuatu untuk tamu, supaya tamu itu bisa nyaman, itulah kebaikan. Lantas kalau makanan dan minuman sudah kusuguhkan, dan kita menikmatinya bersama, itulah keindahan, Jud, puncak dari segalanya.”

“Ooooh, berarti kebenaran itu sifatnya mendasar ya, Cak. Lantas kita mengolahnya sebaik mungkin, biar nantinya bisa jadi keindahan. Betul, kan, Cak? Wah, pinter lho aku ini, hehehe ….”

“Iya iya, Jud, betul pinter kamu ini. Mbok sudahlah kita ini jangan royokan benar-salah. Apapun kebenaran sebagai input diri kita yang kita yakini, mari diolah sebaik mungkin biar output-nya itu keindahan. Biar isi Negeri-mu ini didominasi kebaikan dan keindahan gitu, lho. Mosok kok didominasi ketidakharmonisan, ke-fales-an, dan barang-barang ra nggenah (tidak baik) lainnya terus.” Pungkas Cak Slamet dengan sambatan-nya

Kebenaran yang harusnya jadi urusan dapur, malah disuguhkan terang-terangan sambil diolah didepan orang yang akan disuguhkan. Proses mengolah yang harusnya dengan kebaikan, malah dirusak dengan beragam warna keburukan.

Dan keindahan yang harusnya disuguhkan, malah dinomorsekiankan. Itupun kalau tersirat di lautan ‘kebenaran’nya.

***

Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya, dsb. dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi’.

Baca juga seri “Koma” lainnya:

Editor: Ahmad Mufarrih

 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
9
Suka
Ngakak Ngakak
3
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
9
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Bon Jabré

Master

Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang | Kini sedang mblakrak di Yogyakarta

3 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals