Koma 12: Ahlinya Ahli
Nampaknya sudah empat bulan berjalan Cak Slamet dan kaum Jarkoni tidak menyapa homo sapiens yang kerap mengunjungi Artikula.id. Apa mungkin Cak Slamet sedang jenuh dengan lingkaran kehidupannya yang gitu-gitu aja? Atau ndak ada yang menarik dari jangka waktu empat bulan itu dalam sirkulasi orang-orang di markas Jarkoni? Atau jangan-jangan Cak Slamet lagi mangkel dengan Cak Nuk, Kang Dar, atau bisa juga si Judy yang setiap hari selalu nggatheli.
Lingkar orang-orang Jarkoni memang tidak seperti umumnya. Misalnya, ada Kang Dar. Kang Dar ini salah satu rekan Cak Slamet dari lama. Rekan ngobrol, rekan berkesenian, hingga rekan bisnis. Beliau berdua menginisiasi berdirinya warung kopi yang tiada namanya. Cuma ada plang “Warung Kopi”, yang seiring waktu disebutlah oleh orang-orang dengan “Warkop Jarkoni”.
Suatu ketika Kang Dar punya dua karyawan baru buat pekéwuh di warungnya. Yang mana langsung diawasi hampir setiap hari oleh Kang Dar. Sedangkan Cak Slamet sewaktu-waktu saja, kalau ada tamu yang pengen ketemunya di warung.
Sebagaimana biasanya, Kang Dar sama seperti Cak Slamet. Mengayomi siapa saja yang ada di sekitarnya. Tak terkecuali dua karyawan di warungnya, dua lelaki muda umur 20-an yang sedang masa-masa primanya untuk belajar dan belajar. Kedua anak itu diperlakukan Kang Dar sebagaimana seorang ayah memperlakukan anaknya. Juga sebagaimana seorang guru pada muridnya. Juga sebagaimana seorang sahabat pada sahabatnya.
Meski ada embel-embel karyawan, bukan berarti Kang Dar itu sewenang-wenang memperlakukan karyawan sebagai sosok yang hierarkinya lebih rendah daripada dirinya. Tetap ada polah profesional sebagai orang yang bergerak di bidang bisnis. Lebih-lebih jasa pelayanan, yang mana berkomunikasi langsung dengan pengguna jasanya.
Semua dilakukan Kang Dar sesuai dengan porsinya. Begitu juga dua karyawan itu, Judy dan Rudi. Yap, Judy yang selama ini sering mondar-mandir ke markas Jarkoni. Si Rudi sudah balik kampung ke Jombang dan bikin warung kopi sendiri dengan ilmu yang selama ini diserap di Jarkoni.
Rudi pernah punya pengalaman kerja yang kurang sip sebelum ikut Kang Dar. Yang mana pengurus warungnya seringkali merepotkan Rudi dan karyawan lainnya.
“Kerja kok ndak mau repot, ya mending glimbungan saja di rumah.” kata Pejuang Rupiah yang radikal.
Bukan begitu, Ngab. Merepotkan dalam kasus bekerja yang amat ruwet, tidak efisien, hingga hal-hal yang ndak perlu dikerjakan malah dituntut untuk dikerjakan. Padahal, si Pengurus itu sebenarnya ndak tahu-tahu amat dalam setiap hal yang diurusnya. Tapi kok menuntut karyawan yang jelas sudah tahu kejadian lapangan untuk hal-hal yang justru dinilai ndak sip untuk diaplikasikan.
Ah, tapi karyawan ya bisa apa. Si Pengurus memang menerima kritik dan saran, tapi orang yang memberi kritik dan saran juga dikritik dan disarankan olehnya untuk ndak perlu ikut-ikut urusan yang dia sendiri merasa paling tahu. Repot, tho?
Ada yang ndak sesuai dikit, si Pengurus nggrundel terus seolah-olah kesalahan karyawan seperti dosa membunuh orang lain. Duh, ya mau gimana lagi. Si pembikin salah bakal dianjing-anjingkan si Pengurus di belakangnya. Kalau di depannya, ya stay cool dengan menenteng jabatan pengurus.
“Menyerahkan urusan ke orang yang bukan ahlinya, ya tinggal nunggu hancurnya saja.” kata Kang Dar di markas Jarkoni.
“Apalagi melakukannya, Kang. Mengerjakan urusan yang sama sekali bukan keahlian kita. Menyerahkan saja bakal hancur, apalagi kita sendiri yang melakukan,” timpal Cak Slamet.
“Butuh berapa periode untuk melihat kehancuran itu, Kang Dar?” Judy menyahut.
“Weh, ini ndak mbahas presiden, lho, Jud. Tapi ndakpapa, anggap saja ini mengarah ke semua urusan. Kali ini tak ma’fu kesalahanmu.” Judy cuma cengar-cengir.
Kehancuran itu ya bakal sebanding dengan seberapa parah orang yang melakukannya. Seberapa dia merasa paling tahu, seberapa dia sering menyalah-nyalahkan tanpa mencerna apa salahnya sendiri, seberapa amanah dia melakukan apa yang dikerjakan.
Dengan kasus si Pengurus tadi, bisa diindikatori dengan tidak betahnya orang-orang yang dibawahinya. Kerja dalam tekanan batin, tidak krasan, yang outputnya adalah ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan seperti seharusnya. Kalau makin parah tiap waktunya, ya coba terka-terka saja apa yang akan terjadi berikutnya.
“Lha misal saja kita ini menjadi bawahan orang-orang seperti itu, mau gimana selain sabar, Kang? Sudah terlalu sering disuruh sabar sama orang yang saya sambati. Kayak ndak ada tips lain saja.”
“Bhahaha, kalau sabar ya memang sudah mesti, Jud. Tapi karena ada orang yang kalau disabari malah semakin parah, ya harus dibarengi dengan cara lain.”
Mengkomunikasikan hal-hal yang tidak semestinya terjadi, sangat perlu dilakukan. Minimal dengan rekan yang sama posisinya sebagai karyawan. Bukan hanya ngrasani, sebab ndak akan merubah apapun. Harus ada rencana untuk ngapain-ngapain saja kedepannya. Atau yang paling klimaks, adalah dengan ngobrol ke atasannya si Pengurus, alias pemilik.
“Kalau cara-cara tersebut kurang efektif, coba sambatkan dengan orang-orang yang kamu rasa ahli dalam bidangnya, Jud. Mungkin ada temanmu yang pernah merasakan dan berhasil menghadapi orang seperti pengurusmu.”
“Bagai bumi-langit setelah saya ikut sampeyan, Kang. Rasanya kerja kok asyik-asyik saja. Seperti Bapak di rumah yang selalu enjoy dengan hidupnya. Tapi, ya, ngapunten kalau saya sering offside dari batas-batas kerjaan, Kang, hahaha. Kadang saya lupa kalau saya sedang kerja.”
“Lhayo, Jud. Aku ya berusaha memperlakukan orang sesuai porsinya. Mau sebagai bapak, sahabat, sedulur, atau rekan kerja, semua harus diimbangi. Asal ndak melakukan utawa yak-yak’o dalam melakukan hal yang bukan keahlianku saja.”
“Nah, itu, Kang. Mbok yang bikin kopi itu aku aja. Soalnya jelas saya sudah ahlinya. Sampeyan bikin teh jahe aja, diminum sendiri, ehehe….”
***
Empat bulan yang masih menarik dalam kekosongan berita tentang kaum Jarkoni. Memang si penulis saja yang entah nglayap ke mana sampai-sampai tidak berkunjung ke markas Jarkoni empat bulanan ini. Jan tenan.
——-
Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya dan sebagainya, dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi‘.
Editor: Ainu Rizqi
Baca juga seri “Koma” lainnya:
- Koma 1: Negeri itu Bernama “Media Sosial”
- Koma 2: Pseudo Merdeka
- Koma 3: Dislokasi Kebenaran
- Koma 4: Dari Cinta hingga Kecewa
- Koma 5: Sinkronisasi Harapan
- Koma 6: Prioritas Laku Hidup
- Koma 7: Tuhan pun Diciptakan
- Koma 8: Demi Bangsa dan Negara!!!
- Koma 9: Akidah Zona Nyaman
- Koma 10: Bias Paham, Bias Jodoh Pula
- Koma 11: Berbuat Baik kok Bangga
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments