Istilah Al-Qur’an sebagai kitab yang shahih kulli zaman wa makan sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kitab penutup yang diyakini umat muslim dan dijadikan solusi dalam memecahkan problematika umat. Pesan Ilahi yang menetapkan basis kehidupan individual maupun sosial bagi umat dalam segala aspek.
Meski begitu, tidak sedikit perbedaan dalam pemahaman pada tiap ayat dan tafsirannya. Terlepas dari tendensi dan kepentingan yang lain, hal tersebut berdampak bagi para dai dan muballigh dalam menyampaikan tausiahnya pada audiens yang tentunya jelas berbeda.
Rentetan isu yang terjadi hampir setiap tahun tidak luput dari wacana sosial keagamaan. Mulai dari argumen tentang penistaan terhadap agama, pengucapan “selamat natal” untuk umat Kristiani, beramah-tamah, memberikan hadiah dan mengikuti rangkaian peribadatan orang nonmuslim, perdebatan sistem pemerintahan yang syar’i dan islami dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah perlu menyampaikan “versi kebenaran” kepada umat terkait sesuatu yang vital seperti ini, misalnya?
Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai latar belakangnya, perlu kita ketahui tentang akidah serta klaim kebenaran mengenai akidah itu sendiri. Kata akidah diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yang berarti ar-rabth (ikatan), al-Ibramal-ihkam (pengesahan/penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat).
Hasbi ash-Shiddieqy, seorang tokoh fikih sekaligus mufasir Nusantara, berpendapat bahwa akidah merupakan sebuah urusan yang harus dibenarkan dalam hati, diterima dengan puas, serta tertanam kuat dalam lubuk jiwa serta tidak dapat digoncangkaan oleh badai syubhat. Pengertian secara terminologi sebagai sesuatu yang tidak kontra. Maksudnya, membenarkan bahwa tidak ada seseuatu selain iman dalam hati seorang hamba, tidak ada asumsi selain, bahwa ia beriman kepada-Nya. Dapat disimpulkan, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah akidah, baik itu benar ataupun salah. Al-‘aqdu (ikatan) merupakan lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan).
Adapun menjaga akidah yang benar dapat diartikan dengan tidak melakukan tindakan yang mampu memicu timbulnya kontroversi, tidak terlalu toleran dengan umat agama lain, apalagi perihal yang ada berkaitan dengan ubudiyah, berhati-hati dalam menjaga pergaulan yang sifatnya persuasif, utamanya dalam dunia maya. Hal tersebut ditakutkan, jika postingan yang terlalu vulgar tentang keterbukaan dan welcome teradap umat lain, akan menggerus iman pembaca, apalagi yang masih dangkal tentang pemahaman keagamaannya.
Lalu seperti apa akidah yang benar itu? Pembahasan mengenai akidah yang benar pada dasarnya tergantung pada mindset yang dimiliki masing-masing individu. Hal tersebut bisa berasal dari resepsi dirinya terhadap lingkungan, ataupun doktrin dari aliran agama yang diikutinya. Jika dikembalikan pada definisi, akidah yang baik dan benar merupakan ikatan, keyakinan terhadap suatu hal (dalam hal ini agama) berupa pembenaran dalam hati, ungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan pengamalan, meski tingkatan akidah bagi beberapa orang berbeda, yakni yaqin, ‘ainul yaqin dan haqqul yaqin.
Dengan melihat latar belakang masyarakat Islam di Indonesia utamanya, kita akan mengetahui berbagai pemahaman religius yang berbeda-beda pula. Hal tersebut tidak bisa disamaratakan. Ada beberapa titik di mana kelompok masyarakat tertentu tidak akan sampai pada pemahaman tersebut. Jika boleh dikatakan, Clifford Geertz membagi masyarakat menjadi beberapa strata sesuai dengan kedudukan sosialnya, yaitu kaum santri, priayi dan abangan, mungkin bisa ditiru pengklasifikasian tersebut berdasarkan pada pola pembentukan sosial masyarakatnya, yaitu karakter pendidikan pembentuknya, lingkungan yang mempengaruhi, dan hal-hal lain yang membenuk pola pikirnya.
Berbeda dengan akademisi yang kritis, open minded, memiliki filter terhadap informasi yang diterima, meski terkadang masih ada beberapa yang terbawa media. Dunia kepesantrenan (salaf utamanya) tidak serta merta akan langsung menerima jika disodori mengenai problematika umat yang mengandung unsur pluralisme dan perbedaan paham/akidah.
Lain juga dengan masyarakat awam yang mayoritas aplikasi ke-religius-an nya didapat dari pemahaman instan, hasil ngangsu kaweruh dengan para ustadz, kyai, atau tokoh agama yang ada di lingkungannya. Istilahnya taklid terhadap apa yang disampaikan beliau-beliau tersebut.
Singkatnya, menurut hemat penulis, tidak semua hal perlu disampaikan pada umat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu pada siapa dan di mana kebenaran itu akan disampaikan. Dikhawatirkan menyampaikan berbagai “versi kebenaran” kepada semua umat akan membuat sebagian dari masyarakat awam bingung dan malah meragukan terhadap apa yang telah dipercayai selama ini.
Yang perlu ditekankan dalam menjaga akidah supaya tetap lurus sesuai ajaran Rasulullah adalah dengan belajar kepada guru yang memiliki sanad keilmuan yang valid hingga sampai pada kanjeng Nabi.
Boleh jadi, ketika seorang akademisi bisa memahami dan mempraktikkan hal ini dengan baik, belum tentu berlaku bagi masyarakat awam. Solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan mengarahkannya pada kiai, ustadz, tokoh agama yang jelas memiliki jalur sanad dan terbukti dengan keilmuannya.
2 Comments