Pada umumnya seseorang bisa hidup dalam dua kepribadian. Dalam satu sisi ia dapat menjadi diri individualistik dan dalam sisi lainnya ia bisa menjadi diri kolektif (depersonalization).
Identitas individualistik muncul karena adanya self-esteem atau pribadi yang menghargai relasi majmuk. Sedangkan identitas kolektif sosial muncul karena self-efficacy , yaitu diri yang lebih efisien sadar secara personal.
Kesadaran bahwa diri tidak hanya terkait individu dan dunianya membuat penting melihat perspektif yang lebih luas bahwa diri yang baik adalah diri yang dapat menyatu dalam relasinya dengan masyarakat.
Terdapat sebuah studi kasus terkait teori identitas dan identitas sosial.
Di sebuah mimbar jum’at, Masjid Jannatul Ulum Yogyakarta, jari telunjuk itu terus terbayang dan hingga sekarang tak dapat terlupakan bagi sebagian orang.
Saat ia menunjuk satu per satu jamaah yang tak berkopyah untuk kemudian menyuruhnya malu dan membandingkan dengan kopyah putihnya.
Jari itu lantas menunjuk beberapa jamaah yang mengenakan kaos bola menyuruhnya malu dan membandingkan dengan baju taqwanya.
Beberapa orang pada umumnya akan berbeda pendapat terkait kasus ini. Anda mungkin sepakat kepada khotib yang keras dan tegas, namun di antara anda mungkin juga akan kasihan kepada para jemaah yg diperolok di muka umum dari atas mimbar.
Namun yang pasti, kebanyakan akan marah jika ia berposisi sebagai mereka yg ditunjuk-tunjuk dari atas mimbar.
Tidak selalu perspektif diri mampu menjawab persoalan-persoalan dalam medan yang luas. Orang tak bisa jauh berfikir tentang alasan-alasan terjadinya sesuatu seperti basahnya tanah adalah karena hujan yang turun dari langit. Lalu melupakan bahwa air langit itu berasal dari bumi.
Sama halnya dalam moment yang mendesak saat di perjalanan, seseorang sesibuk apapun berusaha melaksanakan sholat Jumat meski dengan pakaian seadanya.
Dalam satu sisi, khotib menyebut kain yang menutup tubuhnya dengan istilah baju taqwa dan melupakan bahwa baju taqwa yang sejati adalah yang terpatri di dalam hati (Al Araf 7: 26).
Rasulullah dalam 63 tahun perjuangan hidupnya berusaha membuat nyaman semua orang agar bisa bertahap mengenal dan meresapi ajaran Islam hingga kemudian ia dengan ikhlas dan tulus hati berubah dengan sendirinya.
Saat seorang Badui yg datang dari desa terpencil masuk masjid, berdiri di salah satu sudutnya dan kencing di sana, lalu saat para sahabat ingin mengusik Badui itu, Rasulullah malah bersikap sebaliknya. Beliau membiarkannya.
Jika Badui itu diusik untuk kemudian diusir dan dimarahi maka ia akan lari terbirit dan air kencingnya akan bercucuran mengotori sudut-sudut yang lain dari masjid.
Kecerdasan dan kebesaran hati Rasulullah mampu melunakkan hati sahabat lainnya. Dan mungkin karena itu pula dengan 63 usia Rasulullah atau 23 tahun fase dakwahnya, ia mampu menyalakan cahaya Islam hampir ke seluruh semenanjung Arabia.
Kakek dan pendahulu kita mungkin atau barangkali menyediakan tongkat Jumat di mimbar agar khutbah yang setara dengan sholat itu tak ternodai dengan amarah.
0 Comments