Memori apa yang masih teringat terkait seputar kehidupan di masa-masa pendidikan? siapa saja barangkali akan dapat menemukan ingatan tentang kehidupan di masa pendidikannya usai berpisah dengan lembaga pendidikannya. Salah satunya dapat ditemukan dari sebuah perpisahan sekolah atau masa pelepasan, seperti wisuda dan semacamnya. Banyak sekali terminasi yang menggunakan istilah untuk menamai konsep perpisahan masa ajar di berbagai lembaga pendidikan.
Namun, yang akhir-akhir gandrung dipertanyakan apakah hal tersebut patut dan wajar diselenggarakan? Memangnya, apa inti pendidikan yang didapatkan dari seremonial semacam itu sehingga tidak hanya lembaga perguruan tinggi saja yang mengadakannya bahkan jenjang pendidikan SMA, SMP, SD hingga TK? Pada tulisan ini berusaha mengupas dan meninjau dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis mengenai fenomena wisuda sekolah dan semacamnya.
Perspektif sosiologis: Wisuda sebagai produk budaya
Para pembaca bisa mendapatkan dari referensi manapun terkait sejarah wisuda. Banyak sekali sumber yang menginformasikan seluk beluk bahkan prosedural dalam menyelenggarakan wisuda. Dengan begitu, wisuda tampak sebagai fenomena kekolektifan yang kemudian mengental menjadi bentuk-bentuk peradaban (seperti halnya tradisi akademik, budaya akademik dan seterusnya yang barangkali hanya berkutat pada asas fisikal saja).
Namun sekali lagi kita perlu selidiki, mengapa fenomena wisuda dapat merambah ke jenjang pendidikan TK hingga SMA?
Mari kita kembali melihat fenomena wisuda sebagai tradisi atau budaya. Wisuda dalam konteks ‘peradaban’ di dunia akademik dinyatakan oleh Edward L. Farmer sebagai satu unit budaya yang merangkumi norma-norma sosial, tradisi dan institusi yang diwarisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini dapat dipahami dengan jelas suatu peradaban memiliki produk-produk kebudayaan jika melengkapi aspek fisikal (objek yang diwariskan) dan non-fisikalnya (nilai, norma, pemikiran, semangat, dan seterusnya). Dengan begitu, segala produk kebudayaan yang dijalani akan terasa sakral.
Perdebatan yang terjadi mengenai penyelenggaraan wisuda di jenjang pendidikan TK hinga SMA disinyalir masalahnya mengerucut pada sakralitas. Jangankan untuk wisuda TK hingga SMA, wisuda di perguruan tinggi barangkali sudah memudar kesakralannya. Sebagaimana yang didapatkan dari rangkuman artikel di Mojok tentang alasan cerita mahasiswa tidak ikut wisuda karena dinilai ‘tidak sakral-sakral amat’ (Purnamasari, 2023).
Salah satu argumen menyoal mahasiswa tidak mengikuti wisuda karena menganggap hal tersebut hanyalah formalitas belaka. Merefleksi pada pengalaman pribadi, acara Yudisium dianggap lebih sakral meski diselenggarakan oleh Fakultas ketimbang Pelepasan Wisuda yang diselenggarakan Universitas.
Persoalan wisuda pada jenjang TK hingga SMA pun tidak luput dari sorotan pelbagai pihak, termasuk pakar pendidikan apalagi warganet. Salah satu akun Instagram @_yunitahutabarat mengomentari
“Tidak perlu. Biarkan aku merasa spesial karena bisa wisuda S1 setelah berdarah-darah skripsi”.
Terlepas dari mengartikan wisuda sebagai perayaan yang menandakan kelulusan setelah menempuh sebuah jenjang pendidikan, komentar di atas menegaskan lebih lanjut atas makna perjuangan dalam menggapai kelulusan dan mendapatkan sebuah gelar. Oleh karenanya, wisuda lekat diartikan dalam bahasa Inggris dengan istilah graduation.
Jika begitu, lantas gelar apa yang bisa didapatkan dari jenjang TK hingga SMA hingga memang membutuhkan perjuangan yang berdarah-darah untuk menuntaskannya?
Kemudian, ada juga dari @prayoga_okfrima—yang merupakan junior sekaligus murid penulis—mengemukakan perspektifnya bahwa tolok ukur pada jenjang tertentu seperti TK yang mengadakan wisuda masih menjadi euforia bagi orang tua murid. Murid-murid TK dengan tugas perkembangannya yang terbatas secara kognitif belum dapat mencerna dan memahami konteks dari sebuah pagelaran wisuda atau makna dari sebuah perpisahan.
Wajar saja, Piaget menamai daya perkembangan kognitif pada anak-anak seumuran pendidikan TK atau SD masih berada dalam level atau tahap pra-operasional. Tambahnya, “adakanlah perayaan perpisahan ketika seseorang itu mengerti apa itu makna berpisah”.
Siswa pada jenjang SMP dan SMA barangkali sudah bisa memaknai konteks perpisahan. Dengan begitu, banyak juga acara wisuda sebagai perpisahan atau pelepasan siswa dibuat dalam bentuk pentas seni. Namun, kendati begitu, beberapa faktor lain akan menghambat seperti lantaran persoalan ekonomi, di mana acara perpisahan akan membutuhkan biaya tertentu. Alasan ini kemudian menjadi marak diperbincangkan apalagi menyangkut kondisi pascapandemi Covid-19.
Terakhir, ada yang berpendapat seperti berikut dari akun Instagram @zhiochan_,
“Biasanya tergantung dari kebijakan sekolah masing-masing, jika keberatan bisa bermusyawarah antar orang tua dan guru”
Menanggapi komentar di atas, saya mencoba menggarisbawahi kata ‘kebijakan’ dan ‘bermusyawarah’. Wisuda sebagai produk budaya tidak bisa berdiri sendiri. Terdapat komponen lain yang mendorong wisuda menjadi budaya. Kebijakan akan menjadi promotor ‘perilaku’ dari sebuah bentuk budaya. Selain itu, ada ‘musyawarah’ yang mengindikasikan adanya aspek kognitif yang turut andil dalam perwujudan budaya.
Dari sini dapat kita temukan tiga hal, yaitu budaya, perilaku, dan kognisi. Tiga hal tersebut kemudian dapat menjadi skema timbal balik, di mana ketiga hal tersebut akan terhubung satu dengan yang lainnya. Skema itu akan bermula dari titik mana saja, baik budaya, perilaku, dan kognisi. Arahnya dapat berputar dari mana saja selagi memenuhi tiga hal tersebut (Kurniawan, dkk, 2020).
Budaya -> Kognisi -> Perilaku
Kognisi -> Perilaku -> Budaya
Perilaku -> Budaya -> Kognisi
Budaya -> Perilaku -> Kognisi
Perilaku -> Kognisi -> Budaya
Kognisi -> Budaya -> Perilaku
Bisa saja sebuah budaya sudah terjadi begitu saja tanpa melalui proses kognisi, yang kemudian penetapan semacam pengesahan baik tertulis maupun tidak atas budaya tertentu bertransformasi menjadi perilaku untuk kemudian memahami (proses kognisi) terhadap budaya yang telah berlangsung bersama mereka.
Bisa saja sebuah budaya dimulai dari perilaku yang kerap dilakukan terus menerus oleh suatu kelompok sehingga akhirnya mereka memikirkan mengapa perilaku yang dibiasakan oleh mereka dapat terjadi dan kemudian menjadi budaya.
Bisa saja segala capaian sebuah kelompok harus dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu perilaku mana yang dipilih untuk dijadikan budaya demi mencapai sebuah tujuan tertentu dalam kelompok. Setiap alternatif dalam skema di atas tidak dapat dipastikan secara mutlak dari mana proses awal mula terbentuknya sebuah budaya dalam peradaban.
Perspektif Psikologis: Budaya Wisuda di Sekolah, Kebutuhankah?
Tujuan dari adanya budaya adalah kelanggengan perilaku yang disepakati bersama dalam legitimasi lembaga yang bernaung banyak anggota kelompok di dalamnya. Lembaga yang dimaksud adalah hasil yang berwenang menentukan perilaku yang membudaya dalam sebuah kelompok (Kurniawan, dkk, 2020).
Dalam artikel yang ditulis oleh Dery Kurniawan pada buku Bunga Rampai Psikologi Tamadun Melayu menyoroti bahwa ketamadunan atau kerap dipahami sebagai peradaban memiliki dasar pembentuknya, yaitu Need (Kebutuhan). Tegasnya, Need sebagai kebutuhan dasar utama asas peradaban suatu bangsa (Kurniawan, dkk, 2020). Tentunya, di dunia akademik, wisuda sebagai budaya dahulunya terbentuk karena didorong oleh adanya kebutuhan.
Sebelum lebih lanjut, pada perspektif sosiologis sebelumnya dikatakan bahwa sebagai produk, budaya memiliki kekuatan sakral yang dicari oleh manusia. Artinya, dari definisi itu saja, manusia sebagai makhluk tumbuh sebagai makhluk yang bertransenden. Oleh karenanya, manusia membutuhkan sakralitas. Kesakralan budaya tersebut lahir jika memenuhi kompenen di dalamnya, yaitu aspek fisikal dan aspek non-fisikal.
Kemudian, timbul pertanyaan, bagaimana jika sekiranya hanya salah satu aspek saja yang memenuhi untuk sebuah nilai kesakralan budaya?
Perlu digarisbawahi, kebutuhan dalam konteks sosiologis dan psikologis itu berbeda. Parameter sosiologis berada di wilayah sistem, kemajemukan dan struktur kolektif yang terjadi. Sedangkan parameter psikologis berangkat dari individu. Artinya, kebutuhan psikologis antar satu individu dengan yang lainnya belum tentu sama. namun secara konteks sosiologis, manusia dapat membentuk sistem melewati pikirannya untuk struktur dinamika kehidupan mereka.
Teori Kebutuhan David McClelland
Banyak sekali teori psikologi yang berkenaan dengan motivasi. Salah satunya ialah Teori Kebutuhan McClelland, yang meneliti bahwa adanya kebutuhan awalnya berusaha mengidentifikasikan motivasi. Sehingga bisa diartikan bahwa motivasi dianggap sebagai pelopor yang paling purba dalam mental manusia untuk mewujudkan atau pemenuhan kebutuhannya dalam rangka melegitimasikan perilakunya (dalam paradigma psikoanalisis, Freud membahasakannya sebagai libido). Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya menggunakan teori kebutuhan dari David McClelland.
David McClelland memahami struktur mental manusia terdiri dari beberapa model kebutuhan, terdapat tiga model kebutuhan yang teridentifikasi dalam bukunya “The Achieving Society” (Firman, 2011) yaitu, kebutuhan untuk berprestasi atau kebutuhan terhadap prestasi (Need for achievement), kebutuhan untuk berkuasa atau kebutuhan terhadap kekuasaan (Need for power), dan kebutuhan untuk membangun hubungan atau kebutuhan terhadap afiliasi (Need for affiliation).
Secara pengertian dari tiap model tersebut, kebutuhan terhadap prestasi mengkategorikan manusia yang memiliki kebutuhan akan pencapaian-pencapaian tertentu. Pada kebutuhan terhadap kekuasaan mengkategorikan manusia yang memiliki kebutuhan untuk memiliki otoritas atas orang lain atau akses untuk mengaplikasikan diri demi mendapatkan kendali yang diinginkan. Terakhir pada kebutuhan terhadap afiliasi mengkategorikan manusia yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lain dan menciptaan hubungan yang positif, yakni saling diterima dan saling disukai oleh orang lain (Nasrudin, 2022).
Berkenaan dengan kebutuhan secara psikologis di atas, fenomena ‘wisuda’ jenjang TK hingga SMA disinkronkan atau lebih tepatnya dikaitkan sumber pemenuhannya dari aspek fisikal maupun non-fisikal dari produk wisuda sebagai budaya. Jika masih terbilang ada dan terkait sehingga perlu dijalankan, bagaimana dengan beberapa pihak yang barangkali tidak ada unsur keterkaitan kebutuhannya yang mereka cari dari ‘wisuda’ jenjang TK hingga SMA?
Apalagi, sebagai subjek yang bersekolah atau yang menggeluti dunia pendidikan jelas anak didik yang merupakan anak dari orang tua murid atau wali murid. Bukan orangtua murid atau wali muridnya yang mencari kebutuhannya dalam ajang ‘wisuda sekolah’. Barangkali sah-sah saja, jika mendapat kesepakatan antara orang tua dan guru mengenai polemik wisuda di sekolah.
Namun, bukankah yang menjadi pemain utama, yang turut merasakan juga mencerna makna dari seremonial wisuda demi perkembangan mereka adalah peserta didik? Masa iya, seorang anak TK sudah memikirkan kebutuhan untuk berkuasa dari sebuah ajang wisuda di sekolahnya? Masa iya, lulusan Sekolah Dasar dapat mencanangkan beberapa rencana ke depan untuk mengimplementasikan materi pelajaran yang mereka dapatkan dari sekolahnya sehingga mereka dapat disebut ahli?
Penutup
itulah kenapa saran dari beberapa pakar pendidikan mengatakan agar mengubah konsep acara wisuda menjadi panggung kreativitas dan apresiasi dari segenap keterampilan akademik maupun non-akademik para peserta didik. Kendati begitu, wilayah kebutuhan menjadi sempit pada kebutuhan terhadap prestasi.
Barangkali masih ada celah-celah dalam kebutuhan yang lainnya dalam teori McClelland pada acara alternatif yang dimaksud. Namun lagi-lagi, tidak semua pihak mendapat kebutuhannya dalam segala bentuk produk yang akan dibudayakan. Apalagi dari posisi peserta didiknya, tidak semua dari mereka mencapai prestasi yang spesifik. Bisa saja prestasi semacam prestasi akademik hanya semacam pemenuhan standar nilai akademik saja. Namun itu menjadi perihal prestasi dari sekolah, bukan dari peserta didiknya.
Jangan pula urusan acara wisuda bergeser makna menjadi ajang pemenuhan kebutuhan para orang tua murid atau urusan kepentingan sekolah yang sama sekali tidak menunjang arah pendidikan anak bangsa negeri ini ke arah yang lebih baik. Bila ingin membuat orang tua bangga atas pencapaian pendidikan anak, cukuplah pada jenjang perguruan tinggi di mana mahasiswa yang lulus dapat memperlihatkan ke orang tuanya karena memang dari awal mahasiswa tersebut berkuliah demi keinginan orang tuanya.
Wallahu A’lam Bish-Shawab
Referensi
Kurniawan, Dery., dkk. (2020). Tinjauan Psikologis Ketamadunan Melayu : Need Sebagai Kebutuhan Dasar Utama Asas Peradaban Suatu Bangsa. Bunga Rampai Psikologi Tamadun Melayu. Cirebon : LovRinz Publishing.
Kompas.com. 2023, 23 Juni. Pakar Pendidikan: Pelepasan Siswa TK hingga SMA Sebaiknya Tidak dengan Wisuda. Diakses pada 24 Juni 2023, dari Pakar Pendidikan: Pelepasan Siswa TK hingga SMA Sebaiknya Tidak dengan Wisuda (kompas.com)
Purnamasari, D. (2023). Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Merasa Nggak Sakral-sakral Amat. Diakses pada 24 Juni 2023, dari Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Nggak Sakral (mojok.co)
Nasrudin, A. 2022, 17 April. Teori Kebutuhan McClelland: Jenis dan Cara Memuaskan. Diakses pada 25 Juni 2023, dari https://cerdasco.com/teori-kebutuhan-mcclelland/
Kurniawan, M A E. 2023, 15 Juni. Perdebatan Wisuda di Jenjang Pendidikan TK-SMA Ramai Diperbincangkan di Media Sosial. Diakses pada 25 Juni 2023, dari https://narasi.tv/read/narasi-daily/perdebatan-wisuda-di-jenjang-pendidikan-tk-sma-ramai-diperbincangkan-di-media-sosial
BASRA (Berita Anak Surabaya). 2023, 17 Juni. Marak Wisuda Bertoga di Jenjang TK-SMA, Pakar: Itu Tidak Perlu. Diakses pada 25Juni 2023, dari https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/marak-wisuda-bertoga-di-jenjang-tk-sma-pakar-itu-tidak-perlu-20cNAZbTLPe/3
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!