Plagiat Hadis, Untuk Apa?

"Sederhananya, bila harus berbicara tentang kode etik pengutipan, pada dasarnya, para pengkaji hadis terdahulu sudah memeraktikkannya..."3 min


5
6 shares, 5 points

Mari Memulai dari yang Paling Sederhana.

Judul di atas merupakan pertanyaan salah satu mahasiswa pada matakuliah Ulumul Hadis tempo hari, tepatnya pada 3 Februari 2018 lalu. Pertanyaan tersebut muncul berdasarkan pada asumsi bahwa terdapat sebuah hadis tertentu yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam karya besar mereka. Hal ini pun terjadi tidak terjadi hanya pada satu hadis, melainkan pada banyak sekali hadis.

Harus diakui bahwa memang banyak sekali hadis Nabi yang diriwayatkan secara bersama-sama oleh para pakar hadis dan kemudian mereka tulis dalam sebuah karya besar. Gambaran sederhananya, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jubair ibn Muth’im bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Wahai anak-cucu Abdi Manaf. Janganlah kalian melarang siapapun untuk tawaf dan salat di Baitullah ini. Kapan pun. Siang maupun malam.” Menurut penelusuran Ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban.

Bila ditelisik lebih jauh, secara umum hadis di atas memang bersumber dari Jubair bin Muth’im. Namun, rangkaian para perawi yang terdapat di dalamnya hingga sampai pada para pengumpul (baca: mukharrij) tampaknya tidak melalui jalur tunggal atau itu-itu saja. Ambil contoh riwayat Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Ahmad bin Hanbal -dalam salah satu jalur periwayatannya-menerima hadis tersebut dari jalur Sufyan bin ‘Uyainah, Muhammad bin Muslim, ‘Abdullah bin Babah dan Jubair bin Muth’im.

Sedangkan Ibnu Hibban menerimanya dari ‘Abdullah bin Muhammad al-Maqdisi, Harmalah bin Yahya, ‘Abdullah bin Wahbn, ‘Amd bin al-Harits; selebihnya sama dengan perawi Ahmad bin Hanbal, yaitu Muhammad bin Muslim, ‘Abdullah bin Babah dan Jubair bin Muth’im.

Dengan demikian, apa ada kemungkinan salah satu dari dua tokoh di atas melakukan plagiat? Dilihat dari tahun lahir dan wafat masing-masing tokoh, tidak menutup kemungkinan. Ahmad bin Hanbal wafat pada 241 H sementara Ibnu Hibban wafat pada 354 H.

Tapi, bagaimana pun, Ibnu Hibban hidup di masa saat kajian hadis masih perkembangan pesat dalam berbagai aspeknya. Tanpa terkecuali terkait pesatnya kritik perawi dan tradisi rihlah ilmiah dari satu negeri ke negeri yang lain. Meski pun terkadang hanya untuk mendapatkan sebuah hadis. Tidak lebih.

Tampaknya tidak mungkin dia akan melakukan plagiat. Pasalnya, bila hanya untuk plagiat, ngapain dia harus melanglang buana ke berbagai penjuru negeri. Pasti hanya akan buang-buang waktu, tenaga dan biaya.

Untuk mendapatkan hadis Nabi, Ibnu Hibban melakukan rihlah ilmiah dan betemu dengan para pakar hadis di masanya; sebut saja Zakariya as-Saji dari Basrah, Muhammad bin Khuraim dari Damaskus, ‘Umar bin Muhammad dari Bukhara, Ibnu Khuzaimah dari Nisapur, Ahmad bin al-Hasan dari Bagdad dan lain-lain. Beberapa wilayah tersebut dia singgahi untuk mendapatkan dan belajar tentang hadis Nabi.

Bisa dibayangkan berapa jarak yang harus dia tempuh. Bila plagiat menjadi pilihan, seharusnya dia tidak perlu repot-repot melawan badai dan hujan selama perjalanan.

Kredibiltas Ibnu Hibban tidak hanya tampak dari perjuangan dan perjalanan panjangnya selama belajar dan mengumpulkan hadis, melainkan juga dari pengakuan para muridnya, salah satunya Abu ‘Abdullah al-Hakim; dia memberikan pujian yang luar biasa tentang Ibnu Hibban dan kepakarannya dalam ragam bidang keilmuan seperti fikih, bahasa, hadis dan lain-lain.

Abu Bakar al-Khathib dengan tegas juga menyebutkan bahwa Ibnu Hibban merupakan sosok yang terpercaya. Kredibiltas yang sedemikian cemerlang tentu saja secara otomatis melahirkan asumsi besar bahwa tidak mungkin ada plagiat dalam periwayatan hadis di atas.

Mempertemukan Dua Logika

Plagiat atau plagiarisme secara sederhana dipahami sebagai perilaku menjiplak karya atau pendapat orang lain dan diakui sebagai karya sendiri (lihat KBBI). Kembali pada pertanyaan awal, apakah saat ada kesamaan redaksi hadis antar satu kolektor hadis dengan yang lain berarti ada indikasi plagiat? Sepertinya akan tampak terlalu simplikatif bila jawaban hanya pada salah satu dari dua pilihan: “Iya” atau “Tidak.”

Memperhatikan uraian sebelumnya, bisa dipastikan bahwa dalam tradisi hadis, justru kejujuran menjadi salah satu hal yang paling fundamental. Kejujuran para perawinya akan menjadi satu dari beberapa penentu apakah hadis yang diriwayatkan bisa diterima atau malah harus ditolak.

Kaitannya dengan redaksi hadis yang mereka riwayatkan, jika kebetulan ada persamaan redaksi dengan orang lain, kejujuran dan tanggung jawab ilmiah tetap dijaga dengan baik. Makanya, dalam periwayatan hadis dari siapa dia mendengar atau mendapatkan, yang pada gilirannya membentuk sebuah mata rantai sanad dari seorang perawi hingga sampai pada diri Nabi, hal demikian sangat dijunjung tinggi. Bila tidak, maka yang bersangkutan akan kena penalti, entah sebatas ‘kartu kuning’ (baca: hadisnya dinilai lemah) atau bahkan mendapat ‘kartu merah’ (baca: hadisnya dinilai palsu).

Kejujuran dalam mengutip sebuah hadis bahkan berlaku dalam kasus seandainya yang bersangkutan menemukan sebuah manuskrip yang didalamnya memuat hadis-hadis Nabi. Dia tetap harus mempertegas dan mengakui dengan jujur tentang kondisi tersebut. Tidak serta merta dia mengakuisisi sebagai milik dirinya. Dalam literatur ilmu hadis biasanya disebut dengan metode al-wijadah. Mengenai hal ini, maka yang bersangkutan biasanya dituntut untuk menyebutkan: “Aku menemukan dalam tulisan si fulan, dia berkata:….” dan sebagainya.

Sederhananya, bila harus berbicara tentang kode etik pengutipan, pada dasarnya, para pengkaji hadis terdahulu sudah memeraktikkannya jauh sebelum kode etik tentang hal tersebut dirumuskan. Tentang sebuah hadis yang mereka dapatkan, mereka akan memastikan terlebih dahulu dari mana hadis tersebut bersumber; apakah benar-benar bersumber dari Nabi atau tidak.

Para ahli hadis tersohor seperti Muslim bin al-Hajjaj serta at-Tirmidzi masih merupakan murid dari al-Bukhari, pemilik kitab hadis yang dinobatkan sebagai kitab tersahih setelah al-Qur’an. Namun, hal tersebut tidak serta merta menjadikan keduanya asal meriwayatkan begitu saja dari sang guru. Mereka masih melakukan perjalanan panjang dan pelayatan ke berbagai belahan dunia.

Tentu saja paparan di atas tidak berarti menutup mata dari kenyataan lain bahwa ada sebagian perawi hadis yang melakukan manipulasi (baca; tadlis) sanad, yaitu dengan membuang nama orang yang memiliki celah tertentu dari rangkaian sanad dirinya yang menghubungkan dia dengan Nabi, lalu diganti dengan nama orang lain. Sehingga sanad tersebut tampak tidak memiliki celah sedikit pun. Namun, lagi-lagi, hal yang demikian memiliki konsekuensi yang tidak sederhana.

Jadi, sebenarnya hal pertama yang perlu diclearkan soal plagiarisme hadis adalah mempertemukan dua logika yang relatif berbeda: logika plagiat seperti dalam terminologi di atas dan logika dalam studi hadis dengan semua tetekbengeknya.

Pada akhirnya, yang perlu disadari adalah bahwa ternyata kita sedang berbicara dalam wilayah dan konteks yang berbeda dan tidak sesederhana plagiarisme yang biasanya tidak lebih dari dua kata kunci utama: copy dan paste.

*Tulisan ini merupakan hasil diskusi panjang pada matakuliah Ulumul Hadis, Jurusan Hukum Tata Negara (sem. II, kelas C), Fakultas Syariah, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.


Like it? Share with your friends!

5
6 shares, 5 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
7
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
9
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
8
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Miski Mudin

Master

Miski Mudin, S.Th.I., M.Ag., adalah dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals