Penafsiran Al-Qur’an di Indonesia telah berkembang, dengan menelurkan beragam model dan corak tafsir yang menjadi produknya. Seperti Kitab Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie oleh Rokhmat S. Labib. Kitab tafsir ini pertama terbit pada tahun 2010 diterbitkan oleh Wadi Press.
Tafsir al-Wa’ie sebenarnya berawal dari tulisan Rokhmat yang dimuat setiap bulan di Media Dakwah dan politik al-Wa’ie. Sejak akhir tahun 2004, Rokhmat diminta mengasuh rubrik tafsir di media tersebut. Di tengah perjalanan, banyak pembaca yang menginginkan agar tulisan tersebut bisa dikumpulkan menjadi sebuah buku. Berdasarkan banyak saran dan masukan, akhirnya Rokhmat memutuskan untuk mengabulkan permintaan tersebut.
Spesifikasi Tafsir al-Wa’ie
Kitab Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie karangan Rokhmat S. Labib yang ada di tangan penulis adalah cetakan pertama pada bulan Januari 2013/Rabiul Awwal 1434 H diterbitkan oleh Penerbit Al-Azhar Freshzone Publishing yang beralamat-kan di Jl. Ciremai Ujung No. 104 Bantarjati Bogor 16153. Kitab tafsir ini berwarna coklat tua dan membahas 54 Tema Ayat-Ayat Pilihan al-Wa’ie dan memiliki ukuran 15,5 x 23,5 cm dengan ketebalan 686 halaman.
Baca juga: Bagaimana Menafsirkan Al-Qur’an? |
Sedangkan sistematika penulisan kitab ini, dimulai dengan Pedoman Trasliterasi, dilanjutkan Kata Pengantar oleh Rokhmat, dilanjutkan dengan Daftar Isi, Pendahuluan, diikuti dengan bahasan-bahasan tema yang diajukan oleh Rokhmat, dan diakhiri dengan biografi beliau sendiri.
Pada awal penafsiran, beliau mengemukakan sebuah ayat Al-Qur’an dan diteruskan dengan mencantumkan asbab al-Nuzul dari ayat tersebut (jika ada), kemudian dilanjutkan masuk dalam tafsir ayat tersebut. Setiap awal menafsirkan ayat-ayat, beliau berawal dari sebuah definisi tentang apa yang dibahas dari ayat tersebut.
Kemudian beliau mengemukakan beberapa definisi menurut mufassirin terdahulu, setelah itu beliau mengambil sebuah kesimpulan dari beberapa definisi tersebut dan beliau juga mengemukakan hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.
Tafsir ini berisikan beberapa tema-tema penafsiran yang dibahas oleh Rokhmat S. Labib. Penulis melihat kitab tafsir ini memakai metode penafsiran Tematik, yang mana metode tafsir ini memang menjadi sebuah tren terbaru dari arah metode penafsiran lama. Beberapa tema tafsir ayat juga beliau menyinggung soal perbedaan bacaan qira’ah dengan mengutip dari kitab-kitab yang ada. Di setiap tema tafsir, di dalamnya terkandung sub-sub tema kecil yang di situlah orisinalitas penjelasan beliau terlihat tentang ayat yang bersangkutan. Dan setiap akhir penjelasannya, beliau mengucapkan Wallah a’lam bi al-shawab.
Sekarang ini banyak sekali khususnya di Indonesia penafsiran dengan Metode Tematik, metode ini digemari karena memudahkan para pembaca dalam mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapi umat sekarang ini. Fokus tema yang dibahas dalam tafsir karya Rokhmat S. Labib ini mengerucut pada 2 bidang, yakni adabi Ijtima’i dan Politik, dan yang lebih dominan menurut penulis adalah Politik.
Terlihat dari banyaknya penafsiran yang mendasarkan terhadap visi dan misi dari sebuah Ideologi Partai Politik. Seperti penegakan Khilafah, Penolakan terhadap Demokrasi, Penegakan Syariat Islam dan lain sebagainya.
Contoh Penafsiran dalam Kitab Tafsir al-Wa’ie
Para pemikir Islam kontemporer aliran progresif-reformis cenderung mendukung tema pluralisme agama. Sebaliknya, para pemikiran Islam kontemporer aliran inklusif-revivalis menolaknya. Menurut aliran progresif-reformis untuk menghadapi dunia yang makin plural terutama dalam masalah pluralitas agama-yang dibutuhkan bukan bagaimana menjauhkan diri dari adanya pluralitas, melainkan bagaimana cara atau mekanisme untuk menyikapi pluralitas itu.
Baca juga: 4 Cara Menyikapi Perkara Khilafiyah dalam Islam |
Bahkan menurut Muqsith Ghazali, Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 148 dan surat al-Hujarat ayat 13 jelas menandakan bahwa umat Islam harus menerima adanya pluralitas. Sebaliknya, pemikiran Islam kontemporer aliran inklusif-revivalis yang diwakili oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolaknya secara tegas. Menurut HTI kaum Liberal sering mencomot surat al-Baqarah ayat 256 untuk menjustifikasi ide kebebasan beragama. Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 256.
Menurut HTI ayat ini sama sekali tidak mengindikasikan adanya ide kebebasan beragama sebagaimana yang telah dinyatakan oleh pemikir Islam kontemporer aliran progresif-reformis. Orang yang menyatakan klaim ayat ini sebagai ide kebebasan beragama menurut HTI jelas salah dan batil.
Menurut HTI, makna la ikraha fi al-din yaitu tidak adanya paksaan dalam agama itu hanya dalam konteks Islam. Bahwa orang kafir, selain musyrik Arab, tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Itu berarti bahwa seluruh orang musyrik Arab haruslah dipaksa masuk Islam.
Dan menurut HTI orang yang sudah masuk Islam, tidak diperbolehkan lagi keluar atau murtad darinya. Karena jika keluar atau murtad dari agama Islam menurut HTI yang bersangkutan harus dijatuhi hukuman mati.
Di bawah ini penulis kutipkan penafsiran HTI terhadap ayat di atas yang secara tegas menolak ide kebebasan beragama, dalam tafsir al-Wa’ie disebutkan: “Dalam masalah agama dan ideologi, manusia tidak boleh memilih sesukanya. Akan tetapi Allah SWT telah memerintahkan setiap manusia untuk memeluk Islam.
Seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Baqarah: 17 Ayat itu menunjukkan dengan pasti bahwa Allah SWT tidak memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan keinginannya.
Allah Swt telah menetapkan Islam sebgai agama yang haq, memerintahkan semua untuk memeluknya, dan akan menjatuhkan sanksi amat berat bagi orang-orang yang membangkangnya. Jelaslah, ayat ini tidak ada kaitannya dengan ide kebebasan beragama yang dipropagandakan Barat dan antek-anteknya.
Selain menolak ide kebebasan beragama, HTI pun menolak terhadap demokrasi. Menurut HTI pengertian syura di dalam surat al-Syura ayat 37-38 bukanlah ayat-ayat tentang demokrasi. Firman Allah Q.S. al-Syura: 37-38. Menurut HTI, ayat ini khususnya kalimat syura bukanlah berkenaan dengan demokrasi. Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Baca juga: Mengenal Tafsir Karya Ulama Khawarij: Hamyan al-Zad Ila Dar al-Ma’ad |
Prinsip demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ini sangat ditentang oleh HTI. Karena menurut HTI prinsip ini sangat bertentangan dengan prinsip Islam. Prinsip Islam menurut HTI adalah kedaulatan ada di tangan pemimpin, pemimpin yang dimaksud di sini adalah seorang khalifah yang memimpin suatu negara khilafah islamiyyah dengan system pemerintahan yang Islam. Prinsip demokrasi lainnya adalah demokrasi adalah suara mayoritas.
Di sinilah menurut HTI, ketika demokrasi adalah suara mayoritas berarti kehendak rakyat harus ditaati. Semua prinsip ini menurut HTI jelas batil dan bertentangan dengan Islam. karana dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Syara’.
Itu berarti kedaulatan bukan ditangan rakyat. Menurut HTI ketentuan ini di dasarkan pada banyak dalil yang mewajibkan kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat secara total.
HTI menegaskan, bahwa jika ayat ini adalah suatu dalil tentang demokrasi adalah kesalahan besar. Demokrasi tidak biasa disamakan dengan syura. Karena menurut HTI demokrasi bukanlah berasal dari Islam. Demokrasi lahir dari sekularisme, sebuah ideologi kufur.
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
teori penafsirannya apa itu