Bukankah kita tidak berhak mempertanyakan al-Quran yang sucinya terjaga, sedangkan kesucian itu membuat umat harus menjaga kesucian diri dari hadas dan najis saat hendak menyentuhnya?
Akan tetapi sebagai umat yang berjenis manusia, kita tetap akan terus membuat pertanyaan dan menyimpulkan pernyataan. Karena pernyataan, maka ia harus berasas pada yang nyata, meski takaran nyata dan ghaib tidaklah nihil dari subjek yang berpersepsi.
Sebenarnya ini bukanlah isu yang baru sama sekali, dan bukan berarti isu ini tidak memiliki ‘spesies’ yang identik sebagaimana pemikiran yang pernah dilontarkan sarjana terdahulu. Jadi, isu ini adalah mengenai al-Quran, asbab an-nuzulnya, dan peletakan ayat-ayatnya dalam urutan mushaf.
Awal pemikiran ini lahir ketika saya sedang di bangku pascasarjana di salah satu universitas di Jawa Timur. Mengenai isu yang saya bicarakan dari tadi adalah: “hubungan al-Quran dan asbab an-nuzul serta urutan mushafnya adalah ibarat puzzle”.
Saya mengutarakan itu saat perkuliahan studi al-Quran pada semester pertama. Ketika saya mengutarakannya, saat itu seharusnya hanya menjadi konsumsi teman sekelas dan dosen pengampu mata kuliah. Namun, sekarang menjadi konsumsi publik.
Pada dasarnya, suasana yang muncul saat saya utarakan pernyataan tersebut adalah “mencekam!”. Mungkin saja, dalam pembacaan saya, kelas menganggap ungkapan saya itu terkategorikan sebagai desakralisasi al-Quran, sekali lagi itu perkiraan saya saja.
Jika saat itu saya berkesempatan memberikan penjelasan lebih jauh dan lebih lengkap, maka seharusnya mereka tidak perlu memunculkan prasangka demikian. Baiklah… Lalu apa maksud ungkapan saya?
Pertama, cara pewahyuannya, al-Quran itu diturunkan secara berangsur-angsur.
Kedua, sebab turunnya, terdapat sebagian ayat yang diturunkan berhubungan dengan peristiwa yang terjadi atau yang dialami Nabi Muhammad dan sahabatnya.
Ketiga, secara urutan, urutan mushaf yang ada dikatakan sebagai tauqifi atas petunjuk Nabi Muhammad, artinya, tidak mengikuti urutan turunnya ayat.
Berdasarkan tiga poin tersebutlah saya mengatakan ia ibarat puzzle. Sudah ada blue print (cetak biru) al-Quran, yang menurut pendapat beberapa ulama’ al-Quran diturunkan sekali waktu dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Al-Quran yang dari lauhul mahfudz, sebagai cetak birunya, kemudian diturunkan berangsur-angsur dan beberapa turun menurut keadaan umat (asbab an-nuzul).
Nah, al-Quran utuh yang dari lauhul mahfudz tersebut saya ibaratkan bingkai puzzle lengkap dengan materi puzzle itu sendiri. Karena turunnya kepada Nabi Muhammad tidak langsung secara utuh, alias sepotong-sepotong, maka saya mengibaratkannya sebagaimana potongan-potongan puzzle.
Bukti yang memperkuat itu adalah, penyusunan ayat kedalam mushaf tidak mengikuti urutan turunnya. Artinya potongan-potongan puzzle itu harus disusun mengikuti frame atau bingkai yang ada agar serupa dengan susunan al-Quran utuh yang dari lauhul mahfudz.
Dus, pernyataan saya itu tidak terlalu parah bukan? Jadi, istilah “puzzle” tidak terlalu berlebihan kan?
Lalu apa manfaatnya mengetahui ini, atau apakah ada gunanya pendapat saya ini? Tidakkah pendapat ini justru akan merendahkan kemuliaan al-Quran?
Tentu saja ada. Dan pendapat ini tidak samasekali merendahkan derajat al-Quran sebagai kitab suci paling otentik.
Paling tidak, inilah manfaatnya;
Pertama, tidak mungkin lagi pera kritikus al-Quran (orientalis skeptis) untuk menuduh bahwa al-Quran itu berubah urutannya. Kenapa? Karena Nabi Muhammad sudah memberi petunjuk peletakan ayat al-Quran sesuai petunjuk Jibril dan disesuaikan dengan al-Quran utuh yang diturunkan dari lauhul mahfudz.
Kedua, al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur itu memiliki tujuan agar mudah dihafal dan menjadi pelajaran bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Selain itu bahwa kasih sayang Allah terhadap Nabi dan umatnya sangat besar dengan metode penurunan ayat yang demikian, seandanya tidak, pasti sulit bagi sahabat Nabi untuk menghafalnya, artinya tidak sekuat hafalan saat turun sedikit demi sedikit.
Ketiga, kenapa al-Quran tidak diturunkan sesuai dengan urutan al-Quran utuh disana? Karena al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan terkhusus pada masa itu, maka al-Quran turun dalam rangka menjawab persoalan umat saat itu.
Keempat, tidak ada lagi kesempatan untuk mengatakan “al-Quran produk budaya”. Jika al-Quran dikatakan sebagai produk budaya karena kandungan dan turunnya ayat seakan terpengaruh oleh budaya masyarakat saat itu, maka akan terbantah: “lha wong itu sudah ada blue print-nya, kok mau dikatakan terpengaruh budaya!”. Yang ada, al-Quran yang membentuk budaya.
Kelima, namun bagi orang-orang yang selalu ingin mencari celah kesalahan al-Quran, tentu ungkapan yang saya di atas malah akan menjadi senjata untuk meruntuhkan sakralitas al-Quran.
Wallohu a’lam bis shawab [ ]
0 Comments