Sewaktu nyantri dulu saya mengamati berbagai fenomena yang terjadi termasuk ragam pengajian di pesantren. Namun, memang baru bisa mengendapkan pengamatan tersebut dan mencoba memahaminya setelah keluar dari pesantren.
Memang fenomena yang lazim bahwa ketiadaan jarak antara diri dengan fenomena membuat terjadinya kebutaan daya kritis sehingga perlu mengambil jarak terlebih dahulu agar jernih dan terpeta bagiannya dengan baik.
Di dalam pengamatan tersebut saya melihat struktur pemetaan yang jelas tentang ragam pengajian di pesantren. Baik dari segi jenis kajian, tema keilmuan, metode, dan orientasi. Kemudian akhirnya akan bisa terurai dengan jelas bagaimana pola pendidikan yang berkembang di pesantren dan value-nya.
Jenis Kajian dan Tema Kajian dalam Ragam Pengajian di Pesantren
Berdasarkan jenis kajian, terdapat dua ragam pengajian di pesantren yang sangat lazim untuk dikaji, yaitu tentang Al-Qur’an dan Kitab Kuning. Dari segi Al-Qur’an tidak banyak pembahasan, karena umunya pembelajar Al-Qur’an hanya melantunkan yang kadang menambahkan variasi langgam.
Di luar itu umumnya pembelajar Al-Qur’an menghafal. Berbeda dengan kitab kuning yang cakupan tema keilmuannya lebih variatif.
Berbicara tentang kitab kuning, tentu tidak bisa jauh dari kajian hadis dan ulumul hadis, tafsir dan ulumul qur’an, kitab gramatikal dan tata bahasa (balagoh, nahwu, dan sorof), fikih, aqidah, dan tasawuf.
Baca juga: Potret Progresivitas Intelektualisme Kaum Sarung |
Metode Mengaji Al-Qur’an dalam Ragam Pengajian di Pesantren
Semua ragam pengajian dan tema keilmuan di pesantren yang telah dipaparkan memiliki beberapa metode dalam pengaplikasiannya. Metode yang umum dalam bidang Al-Qur’an adalah dengan melafalkan maupun menghafal.
Kedua metode itu berguna untuk membiasakan para santri mengulang-mengulang membaca Al-Qur’an dan kemudian semakin terasah dengan metode hafalan agar para santri lebih fasih melafalkan ayat kitab suci walaupun tanpa melihat mushafnya.
Metode Mengaji Kitab dalam Ragam Pengajian di Pesantren
Sedang di sisi kitab kuning ada dua ragam metode pengajian kitab di pesantren yaitu maknani dan pembelajaran tematik secara klasikal atau mudahnya metode klasikal. Maknani adalah metode pembelajaran dengan corak utama penerjemahan baik menggunakan bahasa Indonesia maupun Jawa. Karan umumnya kitab berbahasa Arab, sehingga perlu terjemah agar santri paham sebelum lebih jauh mengkaji isinya.
Maknani
Umunya maknani menggunakan satu kitab khusus yang dibaca dari bagian awal muqoddimah (pendahuluan) sampai bagian akhir. Ketika satu kitab telah terbaca dengan tuntas, maka kalangan pesantren menyebutnya khatam. Di dalam maknani sendiri terdapat dua metode yang lazim, yaitu sorogan dan bandongan.
Sorogan dan Bandongan
Sorogan adalah metode pengajian yang memiliki skema berupa santri maju satu persatu menghadap kiai, ustaz, atau pengurus pesantren untuk melafal kitab kuning. Metode ini umumnya juga bernama setoran guna melihat perkembangan kemampuan santri dalam bidang melafalkan, membaca, maknani, maupun memahami serta memaparkan isinya.
Berbeda dengan metode sebelumnya, metode selanjutnya adalah bandongan. Metode ini ciri mengaji secara komunal dengan seorang kiai, ustaz, atau pengurus pesantren. Pada metode ini santri hanya mendengar, maknani, dan mencatat poin-poin isi penjelasan. Tidak perlu maju satu persatu.
Klasikal
Metode kedua dalam pengajian kitab kuning adalah klasikal. Yaitu dengan cara mengumpulkan para santri ke dalam kelas-kelas berdasarkan usia serta kemampuan masing-masing. Penerapan metode ini umumnya di Madrasah Diniyah.
Umumnya penjenjangan metode klasikal ini di era modern memiliki 6 tingkatan menyesuaikan dengan akumulasi lama durasi jenjang Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Patokan ini menjadi acuan karena lazimnya santri mondok—bermukim di pesantren—saat sedang mengenyam pendidikan di kedua jejang pendidikan formal tersebut.
Di dalam metode klasikal ini para santri belajar materi sesuai kurikulum berdasarkan jenjang kelas masing-masing.
Walaupun terdapat ragam pengajian di Pesantren yang menggunakan sistem maknani dengan mengambil satu kitab sebagai basisnya. Namun dalam metode klasikal bagian kitab yang di-maknani tidak urut dari depan ke belakang melainkan berdasarkan topik tertentu sesuai kurikulum sehingga hanya mengambil tema maupun sub tema dari sebuah kitab.
Selain maknani, dalam metode klasikal juga terdapat muatan materi khusus secara tematik dalam satu kitab yang memuat beberapa penggalan Kitab Kuning. Dari segi metode memang terlihat perbedaan mencolok yang nantinya akan berkesinambungan dengan penjelasan tentang orientasi.
Baca juga: Belajar Kehidupan dari Institusi Pendidikan Tertua di Indonesia |
Orientasi dalam Ragam Pengajian di Pesantren
Berbagai macam metode yang telah di paparkan dalam bagian sebelumnya, semua memiliki orientasi masing-masing sehingga semua metode ini rasanya tidak saling tumpang tindih jika memahami secara jernih maksud dan tujuannya. Untuk itu perlu dipaparkan di bawah ini.
Orientasi Mengaji Al-Qur’an
Pertama, metode dalam jenis kajian Al-Qur’an terdapat dua, yaitu membaca dan mengahfal. Membaca tentu memiliki orientasi berupa proses habituasi bagi santri agar dapat dengan lancar dan fasih melafalkan Al-Qur’an. Selain itu membaca Al-Qur’an mengandung nilai pahala dan keberkahan bagi pembacanya dan orang di sekelilingnya yang mendengar.
Bagi pembacanya pahala mengalir dari proses membaca, mendengar bacaan, dan melihat mushaf itu sendiri. Selain itu proses membaca dengan niat belajar juga telah mengandung nilai pahala dan keberkahan tersendiri.
Sedangkan orientasi dari menghafal adalah membuat para santri dapat melafalkan Al-Qur’an tanpa melihat mushafnya. Hal ini penting karena dalam proses pembelajaran selanjutnya akan dipaparkan tentang makna, tafsir, dan penjelasan.
Semua itu akan di paparkan dalam ragam forum pengajian pesantren. Dengan begitu, santri dapat terbantu memahami serta mengkorelarikan Al-Qur’an dan Kitab Kuning. Selain itu menghafal membuat nilai-nilai Al-Qur’an lebih menancap dalam ingatan sebagai pedoman dan hikmah untuk menjalankan kehidupan.
Belum lagi, tentu menghafal sendiri merupakan pahala yang besar dan keyakinan tentang barakah serta keistimewaan yang akan disandang oleh para penghafal baik di dunia maupun di akhirat.
Orientasi Mengaji Kitab secara Sorogan dan Bandongan
Sorogan memiliki orientasi praktis berupa penilaian secara personal terhadap perkembangan kemampuan santri. Penilai yang diperhatikan adalah melafalkan, membaca, maknani, maupun memahami serta memaparkan isinya.
Mudahnya adalah ajang ujuk kemampuan santri di depan kiai, ustaz, atau pengurus pesantren untuk menilai hasil pembelajaran. Sedangkan dari sisi keyakinan tentu mengaji adalah proses belajar yang memiliki nilai ibadah dan pahala.
Selanjutnya metode teknis dalam maknani adalah bandongan. Di dalam praktiknya bandongan memiliki orientasi untuk membiasakan para santri menghafal makna dari kosakata dalam Kitab Kuning serta gramatikalnya. Pengetahuan ini berguna bagi santri untuk modal pembiasaan proses maknani.
Mudahnya bandongan ini bagi santri ialah untuk menyerap pengetahuan guna mengasah kesiapan saat setor di hadapan kiai, ustaz, atau pengurus pesantren saat sorogan.
Pada umumnya metode ini bertujuan memberikan wawasan kepada santri tentang hal-hal umum dan mendasar seputar keagamaan. Karena penjelasan lengkapnya berada di pengajian klasikal.
Selain itu, bandongan terkadang bertujuan tabarukan—mengharap tercurahnya berkah—dari mushonif atau mualif—dua istilah bahasa Arab di kalangan pesantren untuk penyebutan penulis—kitab kunig.
Orientasi Mengaji Kitab secara Klasikal
Metode teknis kedua dalam kajian Kitab Kuning adalah klasikal. Metode ini secara teknis bercorak tematik dalam pembahasannya. Orientasi praktisnya adalah untuk memahami pengetahuan-pengetahuan yang lebih spesifik tentang ajaran Islam sesuai kelas masing-masing. Metode ini akan secara bertahap mengantarkan santri untuk memahami secara komprehensif tentang kajian keislaman.
Berikut merupakan pemaparan tentang pengamatan penulis perihal ragam pengajian yang terdapat di pesantren. Terlihat bahwa terdapat dua value berupa pengembagan pengetahuan dan pengalaman secara praktis serta orientasi barokah dan pahala secara dogmatis.
Pola laten ini membuat pesantren terus dapat menjaga eksistensinya dan memiliki peminat dari masyarakat. Walaupun tentu menimba ilmu adalah sebuah ibadah namun akan lebih berkah dan sakral jika di pesantren, begitulah kepercayaan masyarakat secara umum.
Wallahualam bisawab.
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments