Mengenal Proses serta Metode Penerimaan dan Periwayatan Hadis

Hadis Nabi saw. bisa sampai pada umat Islam sekarang ini setelah melalui serangkaian proses penerimaan dan periwayatan2 min


0
Gambar: NU Online

Hadis Nabi saw. bisa sampai pada umat Islam sekarang ini setelah melalui serangkaian proses penerimaan dan periwayatan. Proses ini dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah al-riwayah. Istilah tersebut berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar rawâ-yarwî-riwâyatan yang berarti naqala wa zakara yaitu membawa atau mengutip dan memindahkan atau menyebutkan.

Istilah di atas melahirkan sebuah term riwayat al-hadis. Sebuah kegiatan yang hanya dilakukan ulama muqaddimin abad III-IV H. Proses awalnya adalah sahabat menerima hadis dari Nabi saw. Kemudian berita dari sahabat tersampaikan ke generasi sesudahnya dan begitu seterusnya sampai ulama yang membukukan hadis.

Baca juga: Menilai Kepalsuan Hadis tanpa Melihat Sanad, Bisakah?

Kegiatan yang dilakukan adalah periwayatan hadis. Hal tersebut efektif setelah generasi yang terkait hadis menerima hadis dari gurunya. Sahabat mendapatkan materi dari Rasulullah saw. Untuk menerima hadis tidak dipersyaratkan apapun kecuali mereka menyampaikan informasi ke orang lain. Proses penyampaian ke orang lain inilah yang disebut al-ada’ dan menerimanya ketika sebagai murid dikenal dengan tahammul.

Adapun penilaian dalam sebuah hadis dimulai dari proses penyampaian hadis ke orang lain. Khusus penerima hadis, syaratnya hanya bagi mereka yang sehat akal pikiran dan secara fisik dan mentalnya bagus. Sehingga dalam menerima hadis seorang anak kecil atau mereka yang berbeda agama bisa saja menerima pesan keagamaan, namun ketika hendak menyampaikan ke orang lain (sebagai guru) maka harus memenuhi kecakapan personal. Ulama hadis telah merumuskannya dengan memasukkannya sebagai kriteria dalam kesahihan sebuah hadis.

Kecakapan sebagai seorang guru yang menjelaskan narasi yang diterima dari guru sebelumnya harus memiliki kriteria khusus. Setidaknya kriteria itu antara lain (1) bergama Islam, (2) sudah berumur baligh, (3) berakal, (4) tidak fasik dan (5) menjaga muru’ah. Itulah syarat yang disepakati oleh ulama hadis. Ini menjadi syarat kedua dalam kesahihan hadis yang harus dimiliki periwayat hadis yang aktif dalam periwayatan hadis.

Kecakapan tersebut diuji oleh ulama hadis sebagai syarat sebuah hadis yang baik dan diterima. Kriteria ini masuk dalam dua kategori yaitu persambungan sanad (ittisal al-sanad) dan keadilan periwayat. Kriteria keduanya berbeda satu dengan yang lain.

Baca juga: Sanad Hadis Dulu dan Kini

Silsilah atau rentetan periwayat hadis dikenal dengan “sanad hadis”. Jadi yang dimaksud dengan ‘harus bersambung sanad’ artinya harus pernah bertemu langsung sebagai guru dan murid. Bukti dari keterkaitan tersebut dapat dilihat dari tahun wafat dan lahirnya di antara periwayat yang terlibat. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan melihat pengakuan salah satunya jika data lahir wafat tidak diketahui. Data itu bisa dilihat dari kitab-kitab rijal al-hadis dengan istilah rawâ‘an (guru) dan rawâanhu (murid).

Meskipun demikian, terkadang data hubungan periwayat di atas juga tidak bisa ditemukan. Jika hal ini terjadi, maka cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan melihat tempat tinggal masing-masing periwayat hadis (balad al-iqamah). Karena melalui tempat inilah yang memungkinkan mereka berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Cara di atas dapat dilihat secara kasat mata melalui teks hadis. Dalam hadis tidak saja isi pesan atau matan saja yang disebutkan dan menjadi hal penting melainkan juga sanad dan periwayat hadis yang disebutkan secara lengkap sebagaimana terdapat di kitab Sahih al-Bukhari atau kitab yang lahir di era rihlah ulama hadis. Kata haddasanafulan, haddasanafulan dan seterusnya.

Istilah untuk kata-kata yang ada dalam hadis yang terdapat di antara nama periwayat hadis disebut sebagai sighat tahammul wa al-ada’. Kata-kata yang dipergunakan dalam hadis ini ada delapan macam jumlahnya yang merupakan kebiasaan dalam proses periwayatan hadis.

Baca juga: Menguji Metode Kritik Hadis di Kalangan Insider dan Outsider Perspektif Kamaruddin Amin

Salah satunya adalah al-sama’ yang merupakan tingkatan tertinggi. Istilah ini menunjukkan bahwa proses perjumpaan antara guru murid dilakukan secara langsung dan berhadapan antara guru dan murid. Tingkatan ini paling tinggi sebagaimana dalam periwayat yang ada dalam Sahih al-Bukhari. Model lain masih banyak seperti al-kitabah, al-wasiyah, dan sebagainya.

Selain keterkaitan satu periwayat dalam rangkaian sanad hadis, periwayat hadis juga disyaratkan harus memiliki kualitas dalam keadilannya. Kualitas terkait hal ini menunjukkan bahwa proses transmisi dari guru ke murid sah dilakukan. Mereka yang mengajarkan hadis sebagai guru atau syaikh harus memiliki syarat tertentu.

Ulama hadis setidaknya sepakat menjadikan empat syarat utama yaitu beragama Islam, berakal, baligh, dan menjaga muru’ah. Keempat syarat tersebut menjadi salah satu syarat kesahihan hadis. Begitulah betapa telitinya para ulama dalam menyeleksi dan menentukan sebuah hadis. []

 _ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Alfatih Suryadilaga
Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. adalah Wakil Dekan Bidang Akademik Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) dan Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan Jawa Timur. Karya tulisan bisa dilihat https://scholar.google.co.id/citations?user=JZMT7NkAAAAJ&hl=id.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals