Kaum Sarung atau akrab disebut Santri adalah manusia yang punya potensi besar untuk memajukan bangsa. Dari sejarah Indonesia kita bisa menemukan sekaligus belajar bahwa santri tidak berhenti pada aktivisme membelenggu saja. Misalnya, mengkaji kitab kuning, melakukan ritual ibadah; Tidak, santri tidak hanya sebatas itu.
Santri tidak hanya mengkaji kitab-kitab kuning saja, mereka justru ikut terjun ke dalam ranah praksis yang sangat riskan; melawan tentara Belanda. Sebab perlawanan itulah, Indonesia masih tetap bisa mempertahankan kemerdekaan yang baru diraihnya. Sehingga, tak pelak lahirlah sebuah penghargaan dan pengakuan dari negara terhadap kaum sarung ini; yaitu dengan ditetapkannya 22 Oktober sebagai ‘Hari Santri Nasional’.
Setelah Indonesia lepas dari penjajahan, santri dan dinamikanya masih terus terjaga konsistensinya. Buktinya ialah masih ‘banyak’ menteri yang berasal dari unsur santri. Misal saja, Wachid Hasyim (Menteri Agama) dan Gus Dur (Mantan Presiden RI). Dan, yang paling terbaru adalah Wakil Presiden kita sekarang (2019) juga berunsur santri, Beliau adalah K.H Ma’ruf Amin.
Selain daripada itu, kita perlu menilik sebentar kondisi para santri di era sekarang. Khususnya di era modern, dengan segala kejubelannya. Kita perlu tahu, apakah santri di era sekarang ‘juga melakukan transformasi’? Lalu jika iya seperti apakah transformasinya?
Baca juga: Benalu Proposal di Lingkungan Pesantren
Ada kisah menarik tentang santri ‘masa kini’ yang berhasil digambarkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz. Beliau berhasil memotret kondisi intelektualismenya para santri. Kondisi yang menurut KH. MA. Sahal Mahfudz sebagai proses transformasi pemikiran. Beginilah kurang lebih gambaran intelektualismenya itu;
Mula-mula, santri sudah beranggapan lebih dari yang kita bayangkan; bahwasannya ilmu-ilmu yang diperoleh dari pesantren (red. fikih) kurang mampu menjawab persoalan-persoalan yang baru muncul. Dalam bahasa sederhana, ilmu dari pesantren ternyata kurang kontekstual.
Kesadaran santri ini kemudian melebar kepada hal ihwal pengajaran yang dilakukan di pesantren. Menurut para santri, kalang kabutnya pesantren dalam menjawab persoalan-persoalan aktual (waqi’ah) disebabkan karena model pengajaran yang dilakukan di pesantren menggunakan metode itu-itu saja; bermadzhab lewat kajian-kajian qauli (verbal).
Baca juga: Santri dan Tantangannya di Era Milenial
Sehingga fikih yang harusnya kontekstual tidak bisa terpenuhi syaratnya. Kekurangan itu karena teks-teks salaf belum ada pembahasan yang terbaru–misalnya soal asuransi. Para santri juga menambahkan, seharusnya model pengajaran (red. fikih) jangan melulu qauli, melainkan sudah harus menggunakan model pengajaran (pengkajian) metodologis.
Proses kesadaran itu akhirnya berimplikasi pada ‘munculnya ide baru’ untuk men-tajdid fikih pesantren. Sebuah usaha ijtihad terbaru–yang menurut santri dikembalikan kepada inti ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Para santri beranggapan bahwa Islam adalah suatu tatanan global, jika tidak dikembalikan pada ajaran yang universal, maka tidak akan meraih Islam secara kaffah (keseluruhan).
Kemudian menurut KH. MA. Sahal Mahfudz, mereka menggunakan argumen bahwa; “Setiap seratus tahun sekali, Allah SWT akan mengutus seseorang untuk melakukan tajdid dalam Islam.”
Baca juga: Melihat Wajah Santri di Minangkabau Zaman Kolonial
Para santri begitu semangat mengkaji definis tajdid yang diformulasikan oleh para pemikir kontemporer. Tajdid adalah sebuah kesadaran umat pada ‘kemunduran Islam’. Namun, ketika tahu ternyata, rumusan tajdid itu berbenturan dengan rumusan para Kyai mereka, mereka segera berhenti. Sebuah sikap yang disebut oleh KH. MA. Sahal Mahfudz sebagai ‘tidak mau kuwalat’ pada Kyai. Sikap ini juga sering disebut ‘sendika dawuh’ atau bisa disebut juga sebagai sebuah gambaran dari jiwa santri.
Terma yang dibahas setelah tajdid adalah soal ijtihad. Menurut para santri, ijtihad adalah pintu utama untuk mencairkan kebekuan Islam. Melalui ijtihad, pintu-pintu yang dulunya tertutup akan terbuka satu-persatu–sehingga persoalan-persoalan aktual bisa terjawab.
Sampai di sini kita bisa menemukan sebuah gambaran intelektualisme santri yang sudah sangat maju dan berani. Namun, kendatipun pemikiran mereka modern dan maju, sikap mereka masih sama ‘sendika dawuh’ pada Kyai. Sebuah tradisi intelektualisme yang tidak dimiliki oleh para pelajar non-pesantren. Mereka boleh saja masih memakai sarung (tradisional), namun intelektulitas mereka sudah maju (modern). Inilah sebuah konsep yang sering disebut-sebut sebagai post-tradisionalisme; bersarung tapi berintelektual.[]
Referensi:
KH. MA. Sahal Mahfudz, 2011. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Apakah Anda menyukai artikel ini? Atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
ok budaya yang masih sulit dihilangkan di dunia pesantren sampai hari ini is budaya patron-client, budaya juragan dan abdi dalem, masih sangat kenthal di dunia pesantren, saya sangat setuju semua tidak boleh bebas nilai ada norm, etika, dan akhlak, tetapi terkadang kita terjebak kepada hal-hal yang over tsb. tanpa reserve sama sekali. Belum lagi beberapa masalah santri ketika sudah mukim mau gmn cari ma’isyahnya bro, walaupun secara teologia jelas يغنهم الله apa yang pernah disampaikan mendiang Habibie mungkin mendekati atau cucok dengan narasi Post-tradisionalis ” berhati Mekkah sekaligus berotak Germany” , juwoz lah hasby pokokmen
Untuk beberapa hal over terhadap hal itu perlu pak kyai. Tapi di hal lain juga perlu sikap kritis supaya daulat terhadap diri bisa terlaksana dan mitosasi bisa segera diposisikan sebagai mana seharusnya.
Maturnuwun pak Kyai sampun kerso komentar. Hehe