Menjadi keniscayaan bahwa pengetahuan baru sangat menentukan sikap dialektis dalam kehidupan bersosial dan beragama. Di mana muncul beragam proses istinbath hukum, yang kemudian menyisakan berbagai fanatisme dan kebenaran sepihak. Menentukan satu kebenaran dibutuhkan berbagai argumen kebenaran tentang kebenaran tersebut. Jika anak melempar kayu kepada orang tuanya, kemudian mengenai kakinya dan memar, maka apakah lantas anak tersebut dikatakan bersalah? Maka akan muncul berbagai aspek dasar hukum yang digunakan untuk melihat kasus tersebut, dengan kata lain tidak grusa-grusu mengambil sikap.
Kehidupan beragama diwarnai oleh sikap hukum yang beragam pula. Ditandai dengan pengamalan berbagai madzhab. Islam sendiri memiliki empat madzhab masyhur dalam menjalani hukum agama: Maliki, Hanbali, Syafii, dan Hanafi. Dengan pendekatan Aswaja (ahl al-sunnah wa al-jama’ah) sebagai metode berpikir dan bergerak (manhaj al-fikr wa al-harakah), dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah turats atau kitab kuning. NU memiliki dua pandangan perihal penerapan hukum syariat, bersikap otoritatif dan mempertimbangkan kemaslahatan. Islam memiliki otoritas dalam mengatur kehidupan umat bergama, Islam juga menjaga agar siapa pun yang berada di luar Islam untuk tetap berjalan dan menjaga hubungan yang majemuk.
Kitab kuning memiliki gaya dan latar belakang pembahasan yang beragam karena konten pengetahuannya yang beragam. Maka wajar jika NU dalam majlis Bahtsul Masa’il masih dominan menggunakan kitab kuning sebagai rujukan untuk melengkapi dasar hukum dari al-Quran dan sunnah. Pun wajar ketika para santri juga menjaga kesakralan kitab kuning sepertihalnya menjaga al-Quran dan kitab-kitab hadis. Keeratan antara NU dan pesantren mendasari bahwa secara historis NU lahir dari lumbung pesantren, di mana pesantren syarat dengan budaya turats.
Kehidupan sosial yang majemuk menandakan bahwa ada keberagaman ini tidak hanya satu kejadian alamiah, tetapi –jika boleh dikaitsertakan dengan titah Tuhan yang kurang lebih berisi tentang satu petunjuk untuk saling mengenal satu sama lain, bukan untuk mencari persamaan, tetapi menghargai perbedaan. Berkaitan dengan itu dalam konteks ahl ilmi, perbedaan konsep para alim ulama’ adalah bentuk rahmat bagi umat.
Peran kitab kuning sangatlah penting, ia menjadi penunjang dari konsep pengembangan bermadzhab. Disadari atau tidak, misalnya, penggunaan metode-metode analogi dan komparasi diaplikasikan dalam penentuan hukum, baik bernegara maupun beragama. Mencari titik temu kemudian meramu melalui dialektika panjang. Orientasinya adalah menerapkan hukum agama tanpa menyinggung bahkan mengubah kearifan lokal yang majemuk, baik dalam tatanan hukum adat atau hukum nasional.
Kontekstualisasi kitab kuning dalam kehidupan sosial adalah bentuk usaha menjaga hubungan kemanusiaan. Sejalan dengan itu prinsip Islam sendiri adalah maslahat. Oleh karenanya Gus Dur menyinggung dalam salah satu esainya bahwa kitab kuning yang dipelajari di pesantren adalah sebuah peradaban Islam yang senantiasa beriring dengan kemajuan zaman, pun kemajuan manusia, baik dalam pola sikap maupun sikap pikir kritis.
Muhammad Adib dalam penelitiannya (Kritik Nalar Fikih Nahdlatul Ulama, 2018) menyimpulkan bahwa NU dan para kiai pesantren telah menyepakati bahwa Aswaja adalah nalar atau otoritas epistemik, sehingga menghasilkan lima prinsip fundamental: 1) Dialektis antara kontinuitas dan perubahan, 2) Pemeliharaan kemaslahatan dan tradisi, 3) Mementingkan hirarki otoritas, 4) Kehati-hatian, 5) Sikap moderat. Di satu sisi, lima prinsip di atas membentuk kesadaran kognitif yang terikat dengan otoritas teks kitab kuning, di sisi lain menemukan ruang fleksibelitas dan pemaknaan kreatif.
Oleh karenanya kitab kuning diharapkan menemui ruang kontekstualisasi pada kehidupan sosial. Sembari menghilangkan paradigma kaku dalam memahami kitab kuning, atau penerapannya.
One Comment