Potret Penafsiran Musda Mulia Tentang Homoseksual

Perbuatan sodomi tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum homo, namun hal tersebut juga bisa dilakukan oleh kaum heteroseksual kepada istrinya.8 min


Tulisan ini pada dasarnya merupakan telaah atas buku “Homoseksualitas, Epistemologi Penafsiran Musda Mulia” yang ditulis oleh Royhan Firdausy. Apa yang dibahas pada buku ini, paparan data serta penafsirannya, bagi penulis tergolong revolusioner, terutama dalam rangka membongkar penafsiran atau stigma yang pada awalnya terkesan “berat sebelah” menjadi lebih akurat dalam rangka penerapan hukum tentang pelaku homoseksualitas. Banyak hal menarik pada buku ini, namun agaknya lewat tulisan ini penulis lebih memfokuskan penafsiran dari Musda Mulia terkait dengan homoseksualitas, yang dibahas dalam buku secara komprehensif.

Sebagai makhluk biologis, manusia memiliki berbagai kebutuhan, salah satunya seksual. Dalam perihal seksualitas, manusia memiliki dorongan syahwat yang muncul bersamaan dengan masa baligh dan bersifat alamiah/sunnatullah yang semestinya dirawat dan diarahkan sesuai dengan aturan-aturan syari’at. Sebab, tidak dapat dipungkiri kelemahan manusia juga terletak pada persoalan seksual.

Kelemahan yang dimaksudkan adalah dalam hal mengendalikan naluri seksual yang kemudian membawa pada pelampiasan secara tidak sah, brutal, dan biadab serta penyimpangan seksual yang tak beraturan. Dari persoalan tersebutlah kemudian Al-Qur’an memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan martabat kemuliaan manusia.

Akhir-akhir ini polemik dan isu homoseksualitas kembali mencuat. Beberapa kalangan memandang homoseksualitas merupakan perbuatan yang sangat rendah dan dianggap melampui batas. Bagi mereka, Al-Qur’an pun mengkategorikan homoseksualitas termasuk dalam katagori fahisyah (perbuatan keji), bahkan disebut dengan tindakan yang melampui batas (israf). Hal ini dapat menggambarkan bahwa pengutukan atau pelaknatan yang dilakukan Tuhan sangatlah keras kepada para pelaku homoseksualitas (liwat) sehingga layak diberikan hukum yang amat mengerikan untuknya.

Argumen tersebut, bagi mereka, didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas;

Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali).” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra).

Alasan yang sering dipakai untuk menyatakan pelarangan adalah bahwa homoseksualitas merupakan kerusakan moral dan penyakit moral. Homo-seksualitas dilarang karena sangat berbahaya bagi kesehatan individu dan kesehatan masyarakat.

Secara teologis, para ulama yang menolak homoseksualitas akan merujuk cerita Luth dalam Al-Qur’an dan sejumlah hadis nabi. Menariknya, berbagai penafsiran mengenai homoseksual lahir dari kisah kaum nabi Luth. Padahal, ayat-ayat yang memuat kisah kaum nabi Luth di dalam Al-Qur’an tidak menyebut secara eksplisit hubungan seksual sesama jenis.

Kata dalam Al-Qur’an yang sering digunakan untuk merujuk hubungan seksual sesama jenis adalah al-fahisyah, al-khabaits, al-munkar dan as-sayyiat. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa produk tafsir yang ditulis oleh masing-masing penafsir memiliki kandungan isi yang beragam, atau dengan kata lain, ayat ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Luth menjadi multi-tafsir.

Salah satu penafsiran kontemporer yang kerap menjadi perdebatan ialah dari Musdah Mulia yang berpendapat bahwa homoseksual sesungguhnya bukanlah “liwath” atau “luth” yang dewasa ini dikenal dengan sodomi. Dua istilah yang merujuk pada relasi seksual yang pernah dilakukan kaum Nabi Luth (man amila amala qawm Luth).

Homoseksual adalah orientasi seksual kepada sejenis, sementara liwath (sodomi) adalah perilaku seksual yang menyasar ke anus, bukan ke vagina. Oleh sebab itu, tindakan homoseksual tidak bisa disetarakan hukuman dan perlakuannya dengan kaum sodom baik secara sosial maupun hukum. Sebab, homoseksual adalah orientasi seksual kepada sejenis, sementara liwath (sodom) adalah perilaku seksual yang menyasar ke anus.

Siti Musdah Mulia, sebagaimana dikutip oleh Masthuriah Sa’dan, menjelaskan bahwa pengakuan HAM terhadap kaum LGBT (yang di dalamnya termsuk pelaku homoseksual) dimulai ketika APA (American Psychiatric Association) melakukan penelitian terhadap orientasi seksual homo.

Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa homo dan orientasi seksual lainnya bukan abnormal, bukan penyimpangan psikologis dan juga bukan merupakan penyakit. Pasca penelitian tersebut, yakni pada tahun 1974 APA mencabut ”homo” sebagai salah satu daftar dari penyakit jiwa. Bahkan, ketetapan ini diadopsi oleh Badan Internasional WHO dan diikuti oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 1983. Tentu saja, penafsiran demikian merupakan penafsiran yang cukup berani, berlainan arus dengan kebanyakan mufassir atau pun para ulama, baik klasik maupun kontemporer.

Secara umum pandangan Musdah Mulia tentang homoseksual dapat dipetakan menjadi tiga pembahasan, yaitu:

1. Homoseksual Berbeda dengan Liwath Kaum Nabi Luth

Dalam kitab-kitab fikih istilah homoseksualitas sering diartikan sama dengan sodomi (perilaku seksual dengan memasukkan penis ke dalam anus). Jika yang dikutuk dalam fikih (seperti Imam al-Auza’i dan Abu Yusuf yang menyamakan hukuman sodomi dengan zina) adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi, maka itu tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang.  Sebab, sodomi bukan hanya dilakukan oleh kelompok homoseksual melainkan juga kelompok heteroseksual.

Demikian sebaliknya, tidak sedikit kelompok homoseksual yang anti sodomi, bahkan mereka anti pada semua bentuk penetrasi penis. Mereka hanya melakukan perilaku seksual tanpa menggunakan alat kelamin, seperti ciuman, pelukan, dan sebagainya.

Argumentasi tersebut menggambarkan bahwa homoseksual sesungguhnya bukanlah “liwath” atau “luthi”, kedua istilah ini merujuk pada relasi seksual yang pernah dilakukan kaum Luth as. yang kemudian dikenal dengan kaum sodom, yang pada akhirnya dalam Islam istilah “sodom” disamakan dengan “liwath”. Bahkan, kota atau tempat tinggal Nabi Luth as. dinisbatkan pada perilaku kaum itu sendiri, yakni “liwath” (luthy secara literal berarti kaum Nabi Luth). Namun yang menjadi permasalahan dan tidak dibenarkan adalah ketika istilah “luthiy” sering digunakan sebagai ungkapan penghinaan yang sangat merendahkan bagi kaum homoseksual. Bahasan ini dapat dipahami pada ayat dalam Al-Qur’an:

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Q.S. al-A’raf [7]: 80-81)

Perkataan Nabi Luth kepada kaumnya di atas dijabarkan oleh Musdah Mulia sebagaimana mengutip at-Thabari, ialah; “Kalian telah melakukan perbuatan seks secara keji dengan laki-laki melalui anus mereka dan bukannya dengan perempuan sebagaimana yang dihalalkan Allah”. Musdah Mulia menjelaskan bahwa melalui paparan Imam at-Thabari ini menunjukkan dengan jelas sesungguhnya “liwath” atau “luthi” merupakan apa yang lazimnya dikenal dengan istilah “sodom”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa homoseksual tidaklah sama dengan liwath.

Homoseksual merupakan orientasi seksual kepada sesama jenis, sementara liwath (sodomi) adalah perilaku seksual yang menyasar ke anus, bukan ke vagina. Karena itu, tidak sepatutnya para pelaku homoseksual diperlakukan sama dengan pelaku sodomi, baik secara sosial maupun hukum. Selain itu, Musdah Mulia juga memaparkan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada kalimat yang secara tegas mengatakan kalimat liwath atau sodomi.

Sebagaimana dalam perkataan yang ditulis dalam karyanya, “salah satu bentuk pelanggaran yang spesifik dilakukan kaum Luth adalah mengekspresikan perilaku seksual terlarang; mengandung unsur kekerasan, pemaksaan dan penganiayaan, di antaranya dalam bentuk sodomi yang keji. Akan tetapi, Al-Qur’an dan hadis tidak menggunakan kosa kata yang secara langsung dapat diartikan dengan liwath atau sodomi”.

Dapat disimpulkan bahwa luthi atau liwath adalah sodomi, bukan homoseksual. Maka homoseksual berbeda dengan liwath atau sodomi. Homoseksual adalah orientasi seksual yang merupakan refleksi dari unsur kasih sayang pada diri seseorang. Sedangkan sodomi atau liwath adalah perilaku seksual yang merupakan refleksi dari hasrat biologis. Orang yang homoseksual belum tentu melakukan sodomi demikian juga orang yang melakukan sodomi belum tentu homoseksual karena bisa jadi ia melakukannya untuk perempuan.

2. Perilaku Buruk Kaum Luth Bersifat Global

Permasalahan homoseksual selain mengacu secara spesifik pada kata liwath, dalam Al-Qur’an yang juga mengandung konteks kisah Nabi Luth as. juga menyebutkan beberapa istilah sebagai label perbuatan itu, seperti al-fahisyah, al-sayyiat, al-khabaits dan al-munkar. Berdasarkan hasil pemetaan ayat yang dilakukan oleh Jules La Beaume, telah ditemukan bahwa empat istilah tersebut termaktub dalam 6 ayat dari 5 surat:  al-fahisyah (QS. al-A’raf [7]: 80; QS. an- Naml [27]: 54, QS. al-Ankabut [29]: 28) al-sayyiat, (QS. Hud [11]:78), al-khabaits, (QS. al-Anbiya’ [21]: 74), dan al-munkar (QS. al-Ankabut [29]: 29).

Menyikapi tentang ayat-ayat yang mencakup empat istilah dalam konteks kisah Nabi Luth tersebut, Musdah Mulia menafsirkan bahwa istilah al-fahisyah, al-sayyiat, al-khabaits dan al-munkar itu bersifat umum bukan hanya mengarah pada perilaku homoseksual tetapi juga heteroseksual.

Sebagaimana dalam ungkapannya, “empat istilah kejahatan yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu bersifat umum, bukan hanya dilakukan oleh kelompok homo, melainkan juga kelompok hetero, biseks dan aseksual. Dengan ungkapan lain, semua manusia tanpa membedakan kelompok heteroseksual, sangat mungkin dan bisa terlibat dalam berbagai bentuk kejahatan seksual (sex crime) yang diistilahkan dalam empat ungkapan al-Qur’an tersebut.”

Dengan demikian, memahami apa yang disampaikan Musdah Mulia bahwa konteks ayat yang menjadi sifat bagi perbuatan kaum Nabi Luth as. tidak mengarah pada perilaku homoseksual saja. Hal tersebut dapat dipahami dengan penggunaan kalimat yang sebagian berbentuk jamak (banyak) dan sebagian lainnya berbentuk mufrad (satu).

Oleh sebab itu, untuk mengetahui lebih jelas perihal tafsiran istilah tersebut, mari perhatikan beberapa tafsiran dari mufassir lainnya. Setiap perbuatan jahat adalah munkar. Adapun contoh perbuatan munkar ialah seperti yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth as. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam (QS. al-Ankabut [29]: 29) yakni “perbuatan keji dan munkar”. Dan nampak ada yang lebih buruk dari perbuatan yang munkar, ialah perbuatan yang keji (fahisya’, fahsya’). Perbuatan tersebut adalah. Laki-laki yang mendatangi laki-laki atau homoseksualitas. Di kalangan perempuan, perbuatan itu disebut lesbian.

Terkait dengan perbuatan yang tidak mengandung unsur seksualitas, tentu pelaku perbuatan tersebut berlaku umum, yakni bisa dilakukan oleh siapa saja, tak mengenal jenis kelamin ataupun orientasi seksual. Hal ini sebagaimana dipertegas oleh Musdah Mulia dalam tafsirnya di atas. Sedangkan terkait hal yang mengandung seksualitas, Musdah Mulia menyatakan jika keempat istilah tersebut diartikan sebagai sodomi – dalam arti liwath, bukan homoseksual.

Oleh sebab itu, perbuatan sodomi tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum homo, yakni laki-laki yang mempunyai kecenderungan orientasi seksual dengan laki-laki, namun hal tersebut juga bisa dilakukan oleh kaum heteroseksual kepada istrinya. Dalam arti luas, apapun orientasi seksualnya, mereka sangat mungkin untuk melakukan kejahatan seksual. Dan yang dikecam dalam ayat tersebut adalah perbuatan sodomi bukan homoseksual (dalam ranah orientasi seksual).

3. Biseksual Sebagai Orientasi Seksual Kaum Luth

Biseksual adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap laki-laki sekaligus perempuan dalam waktu yang bersamaan. Kemudian, berkaitan dengan ayat-ayat yang menyebutkan tentang perilaku kaum Nabi Luth as. sebagaimana telah disebutkan pada bahasan sebelumnya, Musdah Mulia mengungkapkan bahwa kaum Nabi Luth as. mengindikasikan sebagai pelaku biseksual.

Jadi menurut Musdah Mulia, sebagian besar kaum Nabi Luth as. melakukan kekerasan dan pemaksaan, khususnya terkait kejahatan seksualitas, sehingga merugikan dan mencederai orang lain. Bahkan mereka berpaling dari istrinya dan mendatangi tamu Nabi Luth untuk melakukan perilaku yang keji seperti yang digambarkan Al-Qur’an (QS. as-Syu’ara’[26]:165-166). Dengan demikian, sikap keberpalingan mereka dari istri-istrinya menunjukan adanya orientasi biseksual (kecederungan pada jenis kelamin laki-laki juga perempuan).

Kemudian bila ditelusuri lebih dalam ternyata ada kemungkinan apa yang paparkan Musdah Mulia itu tepat, karena jauh sebelum kaum Nabi Luth melakukan hubungan melalui dubur (sodomi) kepada sesama jenis, mereka melakukannya terlebih dahulu kepada istrinya lalu kemudian berubah ketertarikannya kepada sesama jenis. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Alusi yang bersumber dari riwayat Ibn Abi Dunya, dari Tawus dalam tafsirnya Ruh ala-Ma’ani, sebagaimana kalimat yang ditulisnya:

Sesungguhnya kaum Nabi Luth as. telah menyetubuhi istri-istri mereka melalui dubur atau anusnya (sodomi). Bahkan dalam riwayat yang lain dikatakan mereka telah melakukan praktik sodomi kepada istri-istrinya selama 40 tahun sebelum bergaul sesama”. Terkait penafsiran kali ini, belum ada penafsiran yang merespon terkait orientasi seksual kaum Luth, sehingga belum ditemukan satu penafsiranpun yang merespon tafsiran ini.

Azab Sebagai Hak Prerogratif Tuhan

Keberadaan kaum homoseksual senantiasa dikaitkan dengan contoh historis kisah perilaku umat Luth. Dikemukakan bahwa Tuhan sangat murka terhadap kaum Nabi Luth yang berperilaku homoseksual. Kemurkaan Tuhan itu diwujudkan dengan menurunkan hujan batu dari langit dan membalikkan bumi. Akhirnya kaum Luth hancur lebur, termsuk istrinya, kecuali pengikut yang beriman pada Luth.

Berkaitan dengan Azab tersebut secara tekstual telah ada di dalam Al-Qur’an yang megisyaratkan terkait bencana alam berupa hujan batu yang diturunkan kepada kaum Nabi Luth yang durhaka.

Sebagaimana yang ditemukan dalam kitab Tafshil Ayati al-Qur’an al-Hakim yang mengelompakan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, bahwa ada 5 ayat di 5 surat yang berbeda yang redaksi ayatnya menunjukkan turunnya azab hujan batu. Yaitu, (QS. al-A’raf [7]: 83; Hud [11]: 82; al-Hijr [15:74; an-Naml [17]: 58; as-Syu’ara’ [26:173). Sederhananya, secara tekstual ayat-ayat tersebut menjadi bukti kuat akan adanya azab yang menimpa pelaku penyimpangan seksual yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth as.

Musdah Mulia menafsirkan terkait konteks makna azab yang menimpa kaum Nabi Luth as. bahwa azab pedih dalam cerita Luth juga ditimpakan pada umat nabi-nabi lainnya. Bahkan, azab bagi umat Nuh jauh lebih dahsyat sehingga peristiwa itu disebut kiamat pertama. Artinya, Allah selalu murka kepada setiap umat yang berbuat keji dan zalim serta melampui batas, tidak peduli dengan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Azab Allah tidak mesti berkaitan dengan soal seksulitas. Azab Allah dapat mengenai siapa saja, tidak membedakan homo atau hetero.

Bukti lainnya, Musdah Mulia berpatokan pada azab yang menimpa istri Nabi Luth as. dimana menurutnya tidak ada informasi dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa ia lesbian atau melakukan sodomi. Sehingga, Musdah Mulia menyimpulkan, bahwa hanya Allah yang Mahatahu siapa dari umat manusia yang akan menerima azab-Nya dan siapa yang akan mendapatkan rahmat-Nya. Berlandaskan pada ayat Al-Qur’an (QS. al-Ankabut [29]:21).

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa azab yang menimpa kaum Luth tidak disebabkan oleh perbuatan sodomi semata, namun juga karena perbuatan keji lainnya, seperti merampok, mendustakan utusan Allah, dan perbuatan keji lainnya.

Menurut hemat penulis, praktik penyimpangan seksual menjadi pemicu timbulnya keburukan yang lain. Artinya, hasrat seksual mereka yang besar membuat sikap mereka lebih buruk mulai dari keangkuhan dan sikap menentangnya pada ajaran Nabi Luth as. Mereka menolak ajakan pada kebaikan dan bahkan mereka marah ketika ditegur bahwa perbuatan homoseksual itu tidak dibenarkan. Dengan demikian, azab yang menimpanya bukan hanya tertuju pada penyimpangan seksual semata tetapi seluruh bentuk kedurhakaan yang kerap mereka lakukan.

Salam.

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
M. Sakti Garwan
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals