Menurut Pak Rocky Gerung (RG), kitab suci itu fiksi, berdasarkan pengertian umumnya sebagai “prosa naratif yang bersifat imajiner, namun tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran”. Karena kitab suci banyak berisi berita dan janji-janji masa depan, maka, menurut Pak RG, itu bagian dari fiksi, yaitu upaya untuk mengaktifkan imajinasi.
Saya bersepakat dengan Pak RG tentang fiksi jika yang dimaksud terkait dengan teks-teks selain kitab suci. Tapi pada kitab suci, perlu dilihat aspek-aspek lain sebelum menyatakan bahwa kitab suci itu fiksi. Ketika menyatakan kitab suci itu fiksi, Pak RG—menurut saya—sebenarnya baru menyoroti kitab suci pada aspek teks saja.
Padahal, di luar teks itu, ada aspek lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu pengarang dan pembaca/penerima teks itu. Menilai sebuah teks tidak akan sempurna tanpa melihat aspek pengarang dan pembacanya, karena ada unsur “komunikasi” intensif yang tidak bisa diabaikan di antara ketiga aspek itu.
Saya ingin memberi contoh pada Alquran. Dalam keyakinan umum Muslim, Alquran itu firman Allah, dan Allah itu Dzat Yang Maha Tahu segala sesuatu, termasuk terkait masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karena itu, ketika Allah berbicara tentang kisah-kisah masa lalu, soal-soal eskatologis seperti peristiwa kiamat, surga, neraka, dsb, Allah sebagai “pengarang” Alquran tidak sedang berimajinasi untuk menyusun karya fiksi.
Allah sesungguhnya memberitakan sebuah realita, bukan fiksi, karena kisah maupun peristiwa-peristiwa eskatologis itu sudah diketahui-Nya dan ada dalam pengetahuan-Nya sebagai Dzat Yang Maha Tahu.
Begitu juga, dalam kepercayaan Muslim sebagai penerima dan pembaca Alquran, semua berita-berita Alquran, terutama yang terkait kisah maupun peristiwa-peristiwa eskatologis, itu diyakini sebagai sesuatu yang riil, berdasarkan realita, dan bersifat pasti.
Tentang hari kiamat, misalnya, bagi Muslim itu sesuatu yang “pasti” terjadi, bukan “mungkin” terjadi atau tidak terjadi sebagaimana dalam karya fiksi umumnya. Surga dan neraka, contoh lain, dalam keyakinan mayoritas Muslim adalah sesuatu yang telah ada, riil, meski tidak kasat mata dan tak dapat dipastikan tempatnya.
Jadi, ketika berbicara kitab suci itu fiksi atau bukan, selain tiga aspek yang telah disebutkan tadi, ada faktor yang perlu juga dipertimbangkan, yaitu keyakinan, karena faktor ini memiliki porsi yang besar dalam komunitas agama apapun. Itulah kenapa hampir bisa dipastikan sebagian besar pemeluk agama keberatan kitab sucinya disebut atau disamakan dengan fiksi.
Bagi orang-orang yang cenderung bergaya pikir positivis—mugkin Pak RG termasuk di antaranya—soal keyakinan memang tidak akan terlalu diperhatikan. Tapi dalam agama, tidak semua hal bisa didekati dengan nalar ala positivisme. Agama memiliki metode dan logikanya sendiri berdasarkan kekhasannya sebagai “akumulasi” keyakinan-keyakinan. Wallahu A’la wa A’lam.
0 Comments