Maraknya fenomena dan slogan “kembali kepada al-Quran dan hadis”, secara spontan menimbulkan kegelisan pribadi bagi saya sendiri dan memunculkan pertanyaan yang memenuhi otak, “Apakah semudah itu kembali kepada al-Quran dan hadis?”.
Sehingga mereka bebas mencomot dan memotong hadis sesuka dan seperlu mereka. Tentu pertanyaan ini bukan maksud untuk mengurangi pentingnya membaca al-Quran.
Jika pemahaman kita “kembali kepada al-Quran dan hadis” diartikan sebagai mengambil hukum spontan dari al-Quran dan hadis, tanpa mengkaji lebih dalam lagi, tentu hal itu merupakan sesuatu kekeliruan yang besar, dan tentunya ilmu-ilmu al-Quran yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu hanya merupakan kumpulan tulisan-tulisan di atas lembaran.
Cukuplah bukti penulisan ulum al-Qur’an, ulum al-tafsir beserta kaidah-kaidahnya menujukkan kepada kita betapa pentingnya mengkaji al-Quran lebih dalam lagi, tidak sesederhana ucapan “kembali kepada al-Quran dan hadis”.
Selain itu yang meresahkan adalah orang yang mengatakan “kembali kepada al-Quran hadis” acap kali dikatakan sebagai tekstualis, literalis, bahkan radikal. sehingga kalimat “kembali kepada al-Quran dan hadis ” harus dihindari. Padahal, bagi umat Islam al-Quran dan hadis merupakan sumber pokok dalam beragama.
Muhammad Al-Ghazali, seorang cendekiawan kelahiran Nakla Al-Inab pada tahun 1917 dan wafat pada tanggal 3 Maret 1996, seorang dosen di Universitas Al-Azhar dan seorang da’i yang aktif menulis, dalam bukunya kayfanata’mal ma’ al-Qur’an
mendefinisikan “kembali kepada al-Quran” berarti “kembali mengkaji al-Quran”.
Mengenai mengkaji, tentunya kita harus berguru kepada orang yang ahli di bidangnya, firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 43. “Fas’alū ahla al-dhikri in kuntum lā ta’lamūn”, bertanyalah jika kamu tidak mengetahui.
Menurut Al-Ghazali, bedialog dengan orang berakal untuk berpikir tentang hal-hal yang mereka dengar agar dapat menjadi satu bangsa yang dinamis, kreatif, dan berbuat banyak untuk bangsanya.
Hal ini di karenakan mereka telah memahami dan menghayati kandungan al-Quran serta mampu menganalisis tujuan dan maksudnya. Berangkat dari hal ini, menurut al-Ghazali al-Quran mampu berdialog aktif dengan banyak orang serta berperan aktif dalam pembentukan pola pikir manusia.
Cukup menarik ketika al-Ghazali mengkritik dirinya sendiri, ia menghafal al-Quran pada usia 10 tahun. Tapi, ia sama sekali tidak memahaminya. Al-Ghazali bahkan sempat membenci dirinya ketika menghafal berulang-ulang al-Quran dan tidak memahaminya.
Lebih jauh ia juga mengkritik semacam pemikiran naif, kebanyakan sekolah al-Quran menggalakkan hanya karena motivasi kesalehan dan menghasilkan kaset-kaset hafalan tanpa menghasilkan sintesis baru terhadap kehidupan manusia.
Permasalahan seperti ini menurut penulis bukan hanya terjadi di sekolah-sekolah tahfidz, dan bukan pula terjadi hanya kepada anak-anak, bahkan orang dewasa pun membaca al-Quran karena motivasi kesalehan, dan betapa banyak tren-tren tilawah al-Quran dengan suara merdu bertebaran di dunia maya.
Sekali lagi ditekankan bahwa tulisan ini, tidak bermaksud untuk mengurangi pentingnya membaca atau tilawah al-Quran, tapi lebih dari itu untuk mendorong kita untuk membumikan al-Quran dalam kehidupan, sehingga al-Quran tidak hanya jadi bahan bacaan.
Jika kita menelisik sejarah para sahabat yang mendengarkan al-Qur’an, mereka begitu dekat dengan realitas pada zaman itu. Realitas tersebut dijadikan media pemahaman dan analisis, artinya ada objek konkrit yang dapat ditangkap para sahabat, bahkan pada usia kanak-kanak.
Kondisi para sahabat dan masa sekarang ini jelas berbeda, jauhnya bahasa serta hilangnya realitas kehidupan umat Islam dengan apa yang terkandung dalam al-Quran.
Untuk itu saran al-Ghazali pentingnya mengkaji al-Quran secara berkesinambungan dengan pendekatan sosialisasi al-Quran dan mengisi pemikiran mereka dengan makna atau pemahaman secara global sekaligus menggalakan pengkajian secara kontekstual. Meskipun kritikan al-Ghazali ini ditujukan kepada sekolah tahfidz yang murid-muridnya merupakan anak-anak, menurut penulis, hal seperti ini perlu juga untuk siapa pun yang mempelajari al-Quran.
Dari penjelasan tersebut, kita pahami bahwa kembali kepada al-Quran itu tidak sesederhana mengucapkannya. Ada syarat-syarat, ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama untuk memahaminya, jika kita tidak mumpuni untuk memahami al-Quran maka jangan cepat mengambil kesimpulan untuk menetapkan suatu hukum, apalagi menyampaikan kepada orang lain sehingga bias pemahaman.
Slogan “kembali kepada al-Quran dan sunnah”, alangkah baiknya dipahami sebagaimana pengertian menurut al-Ghazali, yaitu kembali “mengkaji al-Quran dan sunnah”, jika tidak tahu tanyakan kepada ahlinya.
Comments 1