“Kami adalah kaum Kristen Palestina. Kami juga menggemakan Allahu Akbar, meski kalimat tersebut lebih sering didengar dari mulut kaum muslimin. Hal yang sama juga berlaku bagi ungkapan-ungkapan semacam insya Allah atau Alhamdulillah. Alasannya sederhana, sebab kami adalah bangsa Arab, dan dalam bahasa Arab, Tuhan disebut dengan nama Allah, tak peduli oleh kaum Kristen maupun kaum muslim.”
Itu adalah pernyataan dari Sebastia Theodosios (Atallah Hanna), salah seorang pemuka Gereja Ortodok Yunani di Yerusalem. Sebuah pernyataan yang bisa dibilang agak mengagetkan, barangkali terutama buat bangsa kita (orang-orang yang berbahasa Melayu-Indonesia) yang suatu saat pernah dilanda kegaduhan soal usulan melarang kaum Kristiani menyebut Tuhan dengan sebutan Allah. Alasannya, nama Allah adalah ism al-a’zham yang konon merupakan hak prerogatif bangsa muslim.
Dalam bahasa Indonesia (atau barangkali Melayu pada umumnya), kata Allah memang sedikit problematis. Meskipun jelas-jelas ditulis dengan menggunakan huruf “a” setelah huruf dobel “l”, dan demikianlah memang penulisan ejaan baku dari kata tersebut, kaum muslimin bersikukuh untuk membacanya dengan bunyi “o”. Meskipun kita terbiasa menuliskan lafaz “Allah”, tetapi kita tetap membacanya dengan “Alloh”. Ini berbeda dengan yang terjadi pada kaum Kristiani, di mana mereka lebih klop dengan bunyi dalam penulisan aslinya: “Allah”.
Dari sini kemudian masuk asumsi teologis pada lafaz Allah. Bahwa orang dengan mudah saja dapat menengarai agama dari mitra bicaranya dengan cara, salah satunya, mendengarkan bagaimana ia menyebut Tuhan. Jika ia melafalkan, “Tuhan Allah” (“a” dibaca “a”), maka dia Kristen. Sebaliknya, apabila ia mengucapkan, “Tuhan Alloh” (“a” dibaca “o”), maka dia muslim. Kemungkinan karena inilah kemudian beberapa dari kita akhirnya berkesimpulan bahwa Allah-nya kaum Kristen tentulah bukan Alloh-nya kaum Muslim, meski kedua kubu sama-sama mengadopsi penggunaan kata “Allah”.
Tentu saja pola pemetaan kategori keagamaan seseorang, melalui cara penyebutannya terhadap nama Tuhan, ini bakal membingungkan apabila digunakan di jazirah Arab. Seperti kata Atallah Hanna di atas, sebagai bangsa Arab, orang-orang Kristen di sana juga menggunakan aksara dan bahasa Arab sebagai medium komunikasi. Kristen maupun muslim sama-sama membunyikan sebutan “Alloh” (dengan “o”). Bahkan idiom-idiom macam ‘Allahu Akbar’ pun bukan perkara yang eksklusif dimiliki oleh kaum muslim belaka. Bagaimana tidak, di sana tuhan ditulis dengan الله, bukan Allah (penulisan latin), sehingga kecil kemungkinan ia dilafalkan secara tak sama oleh pemeluk agama yang berbeda.
Sejak lama, muasal dari lafaz Allah diperdebatkan. Beberapa ulama memandangnya sebagai isim ‘alam murtajal, sebuah nama yang tidak dibentuk dari kata atau makna yang lain. Dalam hal isim ‘alam termasuk kategori kata yang ma’rifat (definitif), lawan dari nakirah (indefintif), maka menurut Imam Sibawaih lafaz Allah merupakan a’raf al-ma’arif (lafaz yang paling definitif). Sempat tersiar kabar, seseorang memimpikan Imam Sibawaih tak lama setelah beliau wafat. Dan ditanyakan, “Apa yang diperbuat Allah kepadamu saat ini?” Sang Imam menjawab, “Allah memperlakukanku dengan sangat baik, sebagai balasan aku telah menetapkan nama-Nya (Allah) sebagai a’raf al-ma’arif.”
Dengan kata lain, lafaz Allah tidak memiliki asal-usul, dan karenanya tak perlu mencari-cari ia berasal dari kata dasar apa. Selain dikemukakan oleh Imam Sibawaih, pendapat ini juga disokong oleh Imam Ibn al-’Arabi, Imam al-Suhaili, dan Imam al-Razi.
Beberapa ulama berpendapat bahwa lafaz Allah merupakan bentuk derivatif atau turunan (musytaq). Tidak kurang guru Imam Sibawaih sendiri (meski dalam qaul-nya yang lain Imam Sibawaih sependapat dengan gurunya), Imam Khalil al-Farahidi, berpendapat bahwa lafaz Allah berasal dari kata ilah yang kemudian dimasuki al-ta’rif (sehingga menjadi al-ilah). Bagaimana bunyinya bisa berubah menjadi Allah?
Itu karena lafazh al-ilah mengalami sebuah proses kebahasaan yang disebut dengan naql (perpindahan). Bahwa, hamzah yang berharakat kasrah (bunyi “i”) dibuang, dan kemudian harakatnya dipindahkan (naql) pada huruf sebelumnya, jadi berbunyi ali-lah. Lam yang pertama kemudian disukun (dimatikan) sebab bagi orang Arab, dua huruf serupa yang sama-sama berharakat akan menjadi berat bacaannya, dan kemudian di-idgham-kan kepada lam yang kedua, maka jadilah Allah. Proses seperti ini sangat lazim terjadi dalam bahasa Arab.
Lebih jauh, menurut Imam Khalil, lafaz ilah sendiri berasal dari kata wilah yang memiliki asal fiil waliha (yang berarti cinta). Wawu lafaz wilah diganti hamzah, seperti yang terjadi pada lafaz isyah dan i’aa yang belakangan sebetulnya berasal dari kata wisyah dan wi’aa. Dengan demikian lafaz ilah mengikuti wazan fi’al dengan makna maf’ul (obyek), seperti halnya kitab sebetulnya bermakna maktub (sesuatu yang ditulis). Pendeknya, ilah berarti sesuatu yang dicintai, atau dalam bahasa spiritualis, Al-Ilah adalah Dzat yang tidak ada satu pun yang tak mencintainya.
Dalam pendapat lain disebutkan bahwa lafaz Allah sesungguhnya bermula dari kata hu. Ini berkaitan dengan sebuah proses epistemologis dalam pencarian Tuhan.
Mula-mula manusia menyadari terdapat Dzat yang misterius yang menguasai segala sesuatu (Misterium Fascianum). Mereka pun akhirnya bertanya-tanya, Dzat ini mesti dilabeli dengan sebutan apa? Menurut al-Kirmani, melalui pertanda-pertanda fitrah yang muncul dari dalam diri manusia sendiri, kemudian disimpulkan bahwa Dzat tersebut mestilah dipanggil dengan hu, yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ha’ kinayah.
Ha’ kinayah adalah apa yang kelak dikenal dengan sebutan dhamir (kata ganti untuk orang ketiga), yang dalam bahasa Indonesia berarti “dia” atau “ia”. Terdapat proses kebahasaan yang lebih spesifik tentang bagaimana hu kemudian, terutama ketika kata tersebut berdiri sendiri, berubah menjadi huwa (dengan tambahan wawu yang berharakat fathah). Yang jelas, lafaz hu nyatanya dapat menempel pada kata lain apa saja, seperti contoh nafsa-hu (dirinya) atau badanu-hu (badannya).
Lantas bagaimana proses hu berubah menjadi Allah?
Itu mula-mula karena orang kemudian menambahkan lam milki (lam yang menunjukkan arti kepemilikan), dan jadilah lahu. Kenapa mesti ditambahkan lam seperti itu? Sebab segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya (Lahu al-khalqu wa al-amr). Berikutnya lam pada lafaz lahu dipanjangkan dan ditebalkan bacaannya menjadi laahu, dengan maksud pengagungan kepada-Nya. Dan terakhir, lafaz laahu dibubuhi alif lam ta’rif, dan jadilah al-laahu, atau Allah.
Gagasan tentang muasal lafaz Allah dari kata hu ini mirip dengan pendapat yang mengatakan bahwa lafaz Allah sebetulnya bukanlah bahasa Arab. Dengan kata lain, ia merupakan mu’arrab (pengaraban) dari kata laahaa dalam bahasa Suryani, yang menurut sebuah riwayat disebut sebagai bahasa pertama umat manusia (ingat sebuah hadis riwayat Ibn Hibban yang menceritakan bahwa Nabi Adam berkebangsaan Suryani). Bahasa Suryani ini kemudian beranak pinak menjadi bahasa-bahasa yang lain, seperti rumpun bahasa Semit, di mana bahasa Arab termasuk salah satu unitnya.
Pendapat ini menjelaskan kenapa sebutan untuk tuhan terasa mirip, bahkan dalam pengucapan agama-agama yang berbeda (atau terutama agama-agama yang diturunkan pada umat berumpun semitik). Sebut misal, tuhan kadang disebut dengan nama eloh, atau elohim, dalam kitab-kitab Ibrani. Di sisi lain, bangsa Yahudi menyebutnya Yahweh, yang kemudian dalam bahasa Arab dapat ditengarai sebagai Ya Huwa.
Pada zamannya, apakah umat-umat terdahulu, dengan variasi bahasanya yang berbeda-beda, juga menyebut Tuhan dengan panggilan Allah? Apakah orang Jawa, misalnya, juga menyerukan Allah dalam doa-doanya? Wallahu a’lam. Yang jelas, menurut beberapa penelitian, nenek moyang bangsa Jawa pada umumnya menyebut sesuatu yang agung dengan kata Tu, seperti Tu-han, Tu-mbal, dan sebagainya. Dan, lihatlah, betapa miripnya kata Tu dengan kata hu!
‘Ala kulli hal, apa yang dimaksud dengan sejarah Allah dalam tulisan ini adalah gambaran tentang asal-usul kata Allah, bukan tentang historiografi Dzat Allah itu an sich. Sebagai sebuah kata yang hidup dalam tata kebudayaan tertentu, setiap orang bisa saja menyebut Tuhan dengan sebutan Allah, sebagaimana bangsa Arab menggunakannya, tak peduli mereka Muslim atau Kristen. Kita tahu, dulu, kaum musyrik di Makkah juga bukan tidak mengenal dan menyebut-nyebut nama Allah.
Satu-satunya yang membedakan adalah kerangka teologis yang menjadi muatan dalam kata tersebut. Kerangka keyakinan inilah yang membedakan antara aqidah yang benar dengan yang salah. Allah dalam pandangan Kristen, misalnya, disebut memiliki seorang putra. Sementara kaum musyrik Arab percaya bahwa ada tuhan-tuhan kecil lain bernama Hubal, Lata, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai pendamping dari ketuhanan Allah. Sebaliknya, dalam kerangka teologis kaum muslim, Allah adalah Dzat yang Maha Esa; tak beranak dan tak memiliki sekutu. Kata Allah sendiri merupakan salah satu saja, meski dianggap sebagai nama yang paling agung (asma’ a’zham), dari Dzat yang ternyata memiliki banyak nama-nama indah (asma’ul husna) itu.
Wallahu a’lam bis shawab
0 Comments