Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan lelaki dan perempuan setara beserta keragaman potensi pada tiap-tiapnya. Setujukah atas kalimat di awal? Tentu, tak ada jawaban lain selain setuju atas pernyataan kalimat di awal.
Namun, sudahkah pernyataan di awal tersebut terimplementasi dalam keseharian? Untuk menjawab pertanyaan barusan, tentu terdapat perbedaan. Sebagian meyakini bahwa sudah, sebagian lain menyatakan belum.
Tunggu, mari diperdengarkan keluh-kesah sebagian lain yang menyatakan, “pernyataan di awal belum sepenuhnya terimplementasi dalam keseharian“. Bisa dipastikan, masyarakat luas sepakat bahwa memang Tuhan menciptakan lelaki dan perempuan disertai potensi dalam dirinya masing-masing yang sangat beragam. Namun, di sisi lain, selain sepakat adapula yang sepakat dengan pernyataan lain, semisal, “potensi pada lelaki lebih besar dibanding perempuan“, setujukah?
Jikalau tidak setuju, maka selamat sebab telah terhindar dari ketidakkonsistenan dalam pemikiran. Namun, jika ada yang setuju dengan pernyataan terbaru barusan, sepertinya perlu ada penjelasan lebih lanjut.
Baik, pernyataan “potensi pada lelaki lebih besar dibanding perempuan” itu memang benar adanya, buktinya para penafsir kalam Ilahi didominasi kaum adam. Tunggu.
Perkenankan saya sampaikan kabar dari Negeri Piramid mengenai seorang puteri yang terlahir di tepian sungai Nil. Aishah Abdurrahman namanya, seorang yang terlahir pada 6 November 1913 M dari kalangan keluarga agamis. Ayahnya, Muhammad Ali Abdurrahman seorang pemuka agama di daerahnya, sedang ibunya, Faridah Abdussalam Muntasir seorang puteri dari ulama besar al-Azhar, Sh. Ibrahim al-Damhuji al-Kabir. Sungguh, keluarga yang dekat dengan Tuhan dan keislaman.
Sebab keagamaan yang kuat, menghantarkan Aishah Abdurrahman kecil dapat menyempurnakan hafalan kalam-Nya yang mulia. Walaupun, kemuliaan berkat menghafal kalam Ilahi harus ditebus dengan mengorbankan masa kanak-kanaknya yang ceria seperti anak lazimnya. Betul, sejak dini ia telah mendapat asupan keilmuan Islam di kamarnya sendiri secara langsung dari sang ayah.
Beranjak remaja menuju dewasa, ia mendapat pengalaman yang -bagi penulis- hampir sama dengan yang dialami oleh wanita lain, Fetima Mernissi contohnya. Pada usia tersebut, Aishah Abdurrahman mengalami pergulatan pemikiran dengan lingkungannya, yakni ayahnya sendiri.
Keinginan Aisyah Abdurrahman saat kecil hingga remaja cukup sederhana, hanya diperbolehkan menimba ilmu di luar rumahnya. Belakangan diketahui untuk memenuhi perkembangan pemikirannya, saat itu ia bersembunyi di balik nama pena agar dapat menulis sembari agar tidak diketahui oleh sang Ayah.
Habis Gelap Terbitlah Terang, atas berkat kehendak-Nya, keinginan tersebut dapat terkabulkan meskipun melalui jalur sang kakek, tatkala ia memberitahukannya kepada sang ibu. Dikisahkan sang ibu meminta sang kakek bahkan pada guru sang ayah, Sh. Mansur Ubay Haykal al-Sharqawi, agar membolehkan Aishah Abdurrahman untuk mengenyam pendidikan di luar rumah.
Namun, kebebasan yang ia rasakan tidaklah abadi. Tepat setelah berpulangnya sang kakek pada Sang Pencipta, Aishah Abdurrahman kembali pada peraduan awal, yakni berada di dalam rumah. Meskipun begitu, ia tetap mengupayakan agar api pemikiran yang selama ini ia jaga tak padam begitu saja, dipinjamnya buku-buku dari teman-temannya. Sebab teladannya ia pada sang ayah, tak pernah sekalipun ia memberontak akibat kekangan yang dirasakan. Ia tetap mengikuti serta menaati apa yang dipesankan padanya.
Singkat cerita pada 1936, ia menamatkan sarjana muda (Lc.) pada jurusan Sastra Arab Fakultas Adab di Universitas Kairo. Lalu, merampungkan pula program magisternya (M.A.) pada jurusan dan universitas yang sama. Serta berkarir selama empat tahun hingga akhirnya ia menamatkan kembali program doktoralnya (Ph.D.) pada 1950.
Berkat tangan dinginnya, tercetak sekitar 40 judul karangan dalam berbagai bidang keislaman. Salah satu yang menarik ialah magnum opus miliknya yang berjudul al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim dengan berciri khas kajian kesusastraan al-Quran sebanyak dua jilid, pertama terbit pada 1966 dan kedua pada 1969. Tafsir al-Quran yang ia karang berisikan 14 surat-surat pendek pada juz ‘amma dan didedikasikan untuk pendamping hidupnya, Amin al-Khulli.
Semenjak kemunculan tafsir al-Quran karangan Aishah Abdurrahman, publik sangat apresiatif bahkan banyak permintaan agar yang mengarang dapat melanjutkan pada surat-surat al-Quran yang lain. Namun, pada 1 Desember 1998 Sang Pencipta memanggilnya dalam hembusan terakhir di usia 85 tahun.
Demikianlah kisah dari Negeri Piramid mengenai seorang wanita mulia sebab berhasil menulis kalam-Nya yang Mulia yang bernama Aishah Abdurrahman bintu Shathi. Maka, masihkah pernyataan “potensi pada lelaki lebih besar dibanding perempuan” dipertahankan? Atau, mari kita tetap konsisten dengan keyakinan, bahwa lelaki dan perempuan itu setara. Tabik.
Disadur dari:
Fatimah Bintu Thohari, “Aishah ‘Abd al-Rahman bint al-Shathi’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, Dirosat Journal of Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016, 87-99.
0 Comments