Aku, Salib, dan Kemanusiaan

Awalnya, saya sempat ragu karena takut keimanan saya menjadi luntur. Rupanya, doktrin masa kecil masih tetap menghantui alam bawah sadar saya.2 min


2
2 points
satuharapan.com

Akhir-akhir ini kita diviralkan dengan berita terkait Ustad Abdul Somad (UAS) yang mengomentari simbol utama dari agama saudara kita yang Kristen, salib. Jika diperhatikan, di kalangan Muslim terdapat dua kelompok, yang membela dan yang menyesalkan. Begitu pula, di kalangan Kristen, ada yang menyikapinya dengan biasa saja dan ada yang berujung pelaporan.

Mereka semua tentu mempunyai argumen yang membenarkan reaksi mereka. Argumen ini sudah pasti dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing individu. Bagi kalangan Muslim yang pro, itu dikatakan sah-sah saja karena memang ceramah disampaikan dalam lingkup internal. Sementara pihak Muslim yang kontra menganggap jawaban UAS sudah masuk kategori mengolok-olok agama lain yang dilarang dalam Q.S. al-An’am: 108.

Adapun dari pihak Kristen yang menganggap biasa saja beralasan hal itu tidak akan mengurangi keimanan mereka. Sebaliknya, mereka malah mengajak UAS untuk berdiskusi karena jawaban tersebut muncul sebagai akibat kurangnya interaksi antar umat beragama. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang meradang. Mereka menganggap pernyataan tersebut melanggar Undang-Undang penodaan agama, sehingga layak dilaporkan.

Di atas adalah dinamika yang terjadi sebagai reaksi atas pernyataan UAS. Akan tetapi, pada kesempatan ini, saya tidak dalam rangka menguatkan salah satu kelompok tersebut, melainkan hanya ingin mengutarakan perasaan ketika saya berinteraksi dengan salib.

Kebetulan saya lahir dari seorang Ibu Muslim, otomatis agama saya Islam. Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan doktrin yang mengatakan bahwa agama kita adalah satu-satunya agama yang benar di mata Tuhan. Sebaliknya, agama lain tidak mempunyai kebenaran sama sekali dari semua aspek tanpa kecuali.

Nasib siapa yang tahu, pada suatu waktu takdir membawa saya ke tempat yang tak terduga. Saya harus mengenyam pendidikan di yayasan milik Kristen. Awalnya, saya sempat ragu karena takut keimanan saya menjadi luntur. Rupanya, doktrin masa kecil masih tetap menghantui alam bawah sadar saya.

Kekhawatiran saya bertambah besar karena di setiap kelas tergantung salib. Setiap belajar mau tidak mau saya harus ditemani lambang tersebut yang terpampang di depan. Teman kelas pun berasal dari lintas agama dan budaya. Namun, seiring waktu, kecurigaan itu berkurang karena kami membangun komunikasi atas nama manusia bukan agama dan ras.

Dengan hadirnya salib di kelas, saya pun tidak merasakan pendangkalan iman sebagai Muslim. Justru di ruangan bersaliblah, kami belajar kasih terhadap sesama seperti yang diungkapkan oleh Romo Driyarkara, “Manusia adalah kawan bagi sesama”. Oleh karena kita adalah kawan, maka tidak etis jika kita melontarkan kata-kata yang dapat menyakiti manusia lainnya.

Terkait ini saya teringat puisi dari penyair terkenal Persia Hafez Sa’adi.

Anak-anak Adam adalah bagian tubuh satu sama lain,
yang telah diciptakan dari satu esensi,
ketika malapetaka menimpa satu bagian tubuh,
bagian tubuh yang lain turut merasakannya

Jika engkau tidak bersimpati dengan penderitaan orang lain,
engkau tidak layak disebut manusia

Hubungannya dengan pendangkalan iman, saya teringat dengan ucapan Gus Dur ketika ditanya tanda-tanda orang yang keras hati. Beliau menjawab, “Saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh, tapi saat membaca al-Quran tak sedikit pun hatimu tersentuh”. Jawaban Gus Dur ini benar-benar menampar saya. Kita selalu takut terhadap hal-hal di luar kita. Padahal, ancaman dan masalah sesungguhnya ada dalam diri masing-masing.

Saya pun tidak pernah merasakan “penampakkan jin atau setan” yang berusaha memperdayai iman saya. Sebaliknya, mereka justru hadir dalam diri manusia yang terejawantahkan dengan sikap curiga, amarah, dan menyakiti sesama. Jin dan setan dalam dirilah yang mesti disingkirkan agar peran sebagai manusia dapat dijalankan.

Tak ada yang mesti ditakutkan dengan simbol agama lain yang di dalamnya “bersemayam jin”. Silakan alergi terhadap simbol, maka bersiaplah kehilangan etika. Yang perlu ditaklukkan adalah jin dalam diri yang senantiasa merusak sisi kemanusiaan kita. Oleh karena itu, komunikasi dan interaksi lintas iman dan budaya diperlukan untuk menumbuhkan mutual understanding antara pemeluk-pemeluknya. Dengan begitu, perbedaan tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan keindahan. []

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!

 


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
1
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Ulumuddin

Master

Pekerja Teks Komersial

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals