Lagi, rasa persatuan bangsa kita diuji. Beberapa waktu lalu UAS dalam videonya menjawab pertanyaan dari jamaahnya namun dengan menyinggung simbol agama lain. Dalam video tersebut jamaah beliau bertanya terkait hukum melihat salib, lalu dijawab oleh UAS bahwa di dalam salib ada jin kafir.
Saya tidak akan membahas jawaban UAS secara spesifik. Namun, saya lebih tertarik membahas pada pernyataan UAS yang secara tidak langsung menyinggung agama lain, ya walaupun tempat beliau berkhotbah di lingkungan umat yang notabenenya semua muslim.
Sangat disesalkan, UAS selaku tokoh publik dengan berjuta-juta pengikut menurut saya ceroboh dalam menyampaikan ceramahnya. Setidaknya, jika beliau hendak menyampaikan penilaian terhadap agama A, maka tidak seharusnya menyampaikan keburukan agama B. Kenapa beliau, entah itu sengaja ataupun tidak, tidak mau menyampaikan yang positif-positifnya saja? Itulah pertanyaan yang bekelebat dalam kepala saya sekarang.
Bahkan Nadirsyah Hosein turut berkomentar terkait hal yang sama, kenapa sih sang UAS tidak menyampaikan yang positifnya saja? Tanpa menyampaikan hal negatif tentang hal lain. Bahkan Gus Nadir menganalogikan betapa mudahnya melakukan hal tersebut, seperti dengan mengagumi kecantikan istri seseorang tanpa menjelekkan istri orang lain.
Tidak berselang lama setelah videonya viral, UAS dengan tanggap memberi pernyataan yang merespon isu dilaporkannya beliau ke pihak kepolisian. Ada tiga poin penting dalam pernyataanya terkait videonya yang viral tersebut. Pertama, beliau mengatakan video tersebut adalah video tiga tahun lalu, kedua, dia memperkuat argumen bahwa beliau menyampaikan tersebut di kalangan jamaahnya bukan di tempat umum, dan terakhir dengan nada meyakinkan beliau menyerahkan semua pada Allah atas peristiwa pelaporan dirinya.
Ironisnya, pernyataan UAS tersebut menimbulkan keributan dan terpaksa mengingat masa lalu. Masih tergambar dengan jelas, bagaimana hukum menjerat Ahok dan Ibu Meliana dengan tuduhan penistaan agama. Padahal jika diamati lebih jauh, baik perbuatan maupun ucapan Ahok dan ibu Meliana masih absurd untuk dikatakan penistaan agama. Artinya, masih pro dan kontra di kalangan umat muslim Indonesia.
Saya sendiri di tiga tahun lalu bertepatan tahun 2016, di mana Ahok di demo berjilid-jilid oleh sebagian muslim yang mengaku mewakili seluruh umat muslim Indonesia. Saya, baik kasus Ahok dan Ibu Meliana dulu ataupun kasus UAS sekarang, berharap kasus ketiganya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dalam artian saling memaafkan. Saya berpikir, apa susahnya UAS meminta maaf tanpa harus berkilah dengan pernyataan khotbah yang dilakukannya berada di lingkup jamaahnya. Sehingga menurut saya, jika UAS sendiri meminta maaf, maka tidak perlu ribut lebih jauh hingga harus berurusan di meja hijau. Ironisnya, UAS memang tidak berkenan untuk meminta maaf.
Namun, mengingat kasus Ahok dan Ibu Meliana berlanjut di meja hijau maka saya juga berharap kasus UAS demikian. Hal tersebut dikarenakan untuk menunjukkan kesetaraan hukum sebagai warga negara, dan juga untuk menghindari kecemburuan dan perselisihan antaragama. Saya berharap pihak berwajib bisa mengambil tindakan yang bijaksana dalam menangani kasus ini.
Teringat akan sebuah tanggapan dari akun sosial media seseorang, kurang lebih dia menyatakan pernyataan UAS yang menyinggung simbol agama mereka telah dimaafkan dan tidak perlu diributkan. Namun kendati demikian, dia bertanya apakah pasal penistaan agama di Indonesia hanya terkhusus untuk kaum mayoritas? Dan tidak berlaku untuk mereka yang minoritas.
Pernyataan dari salah satu netijen tersebut secara langsung menampar sistem hukum Indonesia sekarang ini. Sebagaimana yang sering didengar dalam percakapan-percakapan masyarakat umum bahwasanya hukum tersebut layaknya sebuah pisau, tajam ke bawah (minoritas) dan tumpul ke atas (mayoritas). Tidakkah pemerintah berinisiatif untuk mengubah persepektif masyarakat tersebut?
0 Comments