Islam dan Malam Tahun Baru Masehi

"..Problem umat Muslim hari ini adalah belum bisa membedakan ritual keagamaan (ibadah mahdah) dengan atribut keagamaan atau fasilitas keagamaan.."2 min


4
78 shares, 4 points

Seirama dengan hari Natal, peristiwa malam pergantian tahunpun akan seramai dan semerdu nyanyian hari Natal. Jika di hari “kelahiran Yesus” kita dapati banyak tulisan, anggapan dan fatwa keharaman mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Kristiani maka kurang lebih sama dengan haramnya merayakan malam pergantian tahun.

Baca juga: Perspektif Baru untuk Selamat Natal

Akhir-akhir ini mungkin sebagian dari kita mendapatkan tulisan via media sosial baik FB, WhatsApp, Line dan sejenisnya, bahwa merayakan Tahun Baru secara tidak sadar seseorang telah menjadi penganut tiga agama sekaligus. Membunyikan lonceng bagian dari kebiasaan umat Nashrani, meniup terompet bagian dari tradisi Yahudi, dan menyalakan kembang api bagian dari kebiasaan dari agama Majusi.

Bahkan pendapat yang lebih radikal lagi, sebagian dari kalangan umat Islam sendiri mengharamkan seluruh aktivitas yang sengaja memfokuskan dan menjadikan waktu khusus pada malam pergantian tahun, misalnya shalat sunat, diskusi, ikut pengajian, shalawatan, silaturrahim dan kegiatan positif lainnya dengan alasan tidak dalilnya (bid’ah). Fenomena memberi waktu tersendiri dalam kegiatan yang positif seperti shalawatan dan shalat sunat bisa kita jumpai di kampus-kampus maupun di pesantren-pesantren.

Kita sedang menghadapi dua cara pandang yang cukup normatif dalam melihat fenomena keberagamaan dan keberagaman kita. Cak Nun dalam sebuah pengajian menjawab pertanyaan seorang jamaah yang beranggapan bahwa musik itu haram. Cak Nun memberi penjelasan yang lugas dengan saling tanya jawab dengan penanya.

Sederhananya, penanya sepakat jika bunyi, nada, dani irama tidak haram, tapi berbeda jika sudah menjadi instrumen musik, karena musik bisa membuat manusia lupa Tuhannya (anggapan penanya). Cak Nun memberi Analogi “apakah pisau itu haram ? Tidak (jawab penanya tadi), jika pisau saya gunakan tikam kamu apakah pisaunya haram? Iya (jawabpenanya tadi). Begitu analoginya (kata Cak Nun). Jangan salahkan bendanya tapi salahkan dirimu dan sikapmu.” Analogi tersebut untuk menjawab hukum musik tadi.

Sama hal-nya dengan terompet, lonceng dan kembang api, semuanya adalah benda bebas nilai yang telah melewati beberapa zaman. Sebagai contoh lain, jika di Jawa ada angklung, gamelan, pewayangan dan penggunaan alat musik tradisional digunakan sebagai iringan dalam ritual keagamaan pada lintasan sejarah telah melewati tiga agama, yaitu Hindu, Budha dan Islam.

Lalu apakah kemudian memainkan angklung, gamelang, gitar, dan alat musik tradisional dianggap mengikuti budaya Hindu dan Budha? Sebagian besar penganut agama Islam Nusantara tak mengharamkannya.

Problem umat Muslim hari ini adalah belum bisa membedakan ritual keagamaan (ibadah mahdah) dengan atribut keagamaan atau fasilitas keagamaan. Kecendrungan menyamakan keduanya adalah hal yang fatal.

Dalam kajian Orientalis awal dan modern ditemukan bahwa atribut keagamaan dapat bercampur atau terasimilasi dengan atribut keagamaan yang lain, lalu kemudian melalui tahap kristalisasi dan pada akhirnya atribut tersebut terklaim terhadap agama tertentu saja.

Fenomena ini bisa kita lihat pada arsitektur masjid di Nusantara lebih banyak mengadopsi kubah yang pada dasarnya arsitektur tersebut melewati proses sebagaimana disebutkan sebelumnya. Arsitektur kubah yang awalnya adalah peninggalan tradisi Romawi kuno lalu kemudian diadopsi oleh Kristen Eropa. Arsitektur kubah bertahan kepada tradisi Kristen Eropa pada saat itu.

Barulah pada masa Khalifah Umar ketika merebut Palestina dari kekuasaan Romawi pada tahun 637 M, arsitektur kubah diadopsi menjadi bagian dari arsitektur masjid yang dibangun Umar pada saat itu. Demikian salah satu dari proses integrasi antara beberapa tradisi kemudian terkristalisasi dan diklaim sebagai bagian dari agama tertentu.

Sama halnya dengan kubah, penggunaan tasbih, menara, beduk, pengeras suara, dan fasilitas keagamaan lain adalah bukti bahwa agama terbuka pada hal yang terkait dengan fasilitas keagamaan atau atribut keagamaan.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, Pemahaman hadisman tasyabbaha bi kaumin fahuwa minhutidak bisa dipahami secara tekstual, namun harus dipahami dengan menggunakan beberapa instrumen keilmuan salah satunya ilmu sejarah agar tidak terlalu normatif dalam memahami hadis tersebut.

Dengan dasar ini pula kita dapat memahami, apakah hadis ini secara umum melarang mengikuti tradisi dari luar Islam ataukah hanya yang terkait dengan ibadah saja.

Selanjutnya fatwa bid’ah yang memfokuskan kegiatan-kegiatan positif pada malam pergantian tahun mungkin butuh jawaban sederhana “mending anda pingsan, tidur atau mati untuk sementara tepat pada waktu itu kemudian anda bangun setelah seluruh rangkaian tahun baru selesai”. Mungkin mereka jarang goyang atau kurang piknik.

Intinya yang mau merayakan tahun baru silahkan saja, yang tidak mau tidak masalah asalkan jaga keamanan, ketentraman dan hindari perbuatan negatif.

Wallahu a’lam bi al-S}hawab.


Like it? Share with your friends!

4
78 shares, 4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
2
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
10
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Abdul Gaffar Roneng (JAKFI)
Abd. Gaffar Roneng adalah mahasiswa asal Sidenreng Rappang Sul-sel. Saat ini sedang menyelesaikan S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain kuliah, ia juga sedang menjabat ketua IKPM Sidenreng Rappang (Forum Komunikasi Wija nene' Mallomo).

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals