Orang-orang seringkali berpikiran bahwa filsafat itu rumit, abstrak, dan jlimet. Tidak mengherankan sih jika anggapan seperti itu muncul mengingat filsafat modern dan pascamodern memang selalu identik dengan pemikiran yang abstrak dan membahas hal-hal yang spesifik.
Namun di saat yang bersamaan, anggapan di atas juga keliru karena filsafat itu luas dan kita tidak bisa memukul rata semuanya. Misalnya saja filsafat Hellenistik yang muncul di abad ke-4 SM hingga zaman Romawi, filsafat ini malah memberikan ajaran yang menurut saya begitu “sempurna” dan membumi.
Perbedaan ini jelas terlihat ketika merujuk pada makna filsafat yang berkembang di masa klasik. Bahkan menurut Pierre Hadot, filsafat klasik merupakan pembalikan arah, perubahan cara berada dan hidup, sebuah pencarian kebijaksanaan (Wibowo, 2019: 1).
Pada tahap ini filsafat menjadi sebuah metode atau jalan untuk mencapai kebebasan batin dengan keleluasaan setiap individu atas dirinya sendiri.
Melihat definisi ini, dapat dikatakan filsafat merupakan jalan menuju kebahagiaan. Arah ini menunjukkan, filsafat menjadi praktik menjalani hidup, perilaku hidup.
Asal mula praktik ini dulunya diinisiasi oleh Socrates dari dialog-dialog yang bertujuan mengajak lawan bicaranya agar semakin bertambah baik. Ia mengharap musuh percakapannya ini memiliki jiwa yang bijaksana. Ya, mirip-mirip Artikula sekaranglah, yang membawa jargon #BijakMenyikapiPerbedaan, hahaha.
Oke, kembali ke pertanyaan mendasar, bagaimana bisa filsafat menjadi sangat teoretis seperti sekarang?
Agaknya tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa universitas atau perguruan tinggilah yang memiliki peran dalam hal ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan di atas.
Saya tidak menyangkal bahwa universitas yang ada memang memiliki banyak sisi positif. Namun dalam konteks ini, kehadiran beberapa universitas justru turut berpengaruh di bidang pendidikan yang tak lagi menitikberatkan pada pembentukan manusia seutuhnya, melainkan hanya menciptakan manusia yang mumpuni di bidang tertentu. Hal ini, jika menelisik sedikit ke belakang, sudah dimulai sejak abad pertengahan, ketika ilmu-ilmu lain saling bermunculan dan berdampak pada filsafat yang dipersepsikan sebagai ilmu khusus (Wibowo, 2019: 5).
Nah, di universitas-universitas inilah filsafat kemudian menjadi lebih spesifik dan berjuang menentukan kebebasannya melawan belenggu teologi. Pada akhir abad ke-18, filsuf semakin diidentikkan dengan universitas setelah munculnya Wolf, Kant, Schelling, Fichte, dan Hegel.
Baca juga: Sekilas Tentang Etika Immanuel Kant |
Filsafat pun kian teoretis dan terbebat pada universitas, dengan adanya Heidegger, Husserl, dan Bergson di zaman modern. Lama-kelamaan filsafat hanya sebatas wacana dan betul-betul terpisah dari praktik kehidupan nyata.
Suatu kali Schopenhauer (Wibowo, 2019: 1) memperolok-olokkan gejala ini:
“Filsafat di universitas mirip main anggar di depan kaca. Jika ditelaah, tujuan filsafat yang paling dalam hanyalah tawaran ajaran bagi para murid sesuai dengan keinginan Bapak Menteri yang mengangkat profesor (…). Tentu saja filsafat seperti itu tidak bisa dianggap serius, hanya guyon saja (…).”
Filsafat dan Perilaku Hidup
Kita memang tidak bisa menggebyah uyah atau menyamaratakan, karena pasti saja filsafat modern tak sepenuhnya bersifat teoretis yang jauh dari persoalan hidup. Namun garis besarnya, filsafat modern dan filsafat klasik jauh berbeda.
Filsafat di abad ke-4 SM hingga zaman Romawi mendidik murid untuk setia mengikuti nasihat para gurunya, sebentuk praktik latihan untuk mengikuti metode hidup tertentu. Model seperti ini misalnya bisa kita lihat pada sosok Cicero. Sebagai seorang pengikut mazhab Stoik, dia tidak hanya pandai di lingkaran wacana saja, tetapi juga mencoba menyesuaikan hidupnya degan ajaran Stoik yang penuh kebijaksanaan dari guru-gurunya.
Filsafat menjadi perilaku hidup salah satunya mendapat pengaruh dari Plato melalui perbincangan panjangnya. Plato telah menularkan pemikirannya tentang filsafat untuk mengingat kematian kepada aliran-aliran setelahnya: Sinisme, Epikurisme, dan Stoikisme. Dalam definisi antik Socrates, berfilsafat adalah latihan mati.
Terdapat banyak tafsiran mengenai arti ini. Namun, penulis menilai arti ini lebih pas jika maksud dari latihan mati dipersepsikan mengingat kematian. Pernyataan ini selaras dengan pemikiran Plato mengenai filsafat untuk kematian.
Lantas kenapa harus mengingat kematian? Bukankah memedulikan ajal itu tidak berguna?
Bagi Plato mengingat kematian (memento mori) adalah cara agar mendapatkan pandangan baru terhadap hingar-bingar kehidupan. Menyadari bahwa maut bisa datang kapan saja, tentu saja akan membuat kita lebih bersyukur dengan keadaan.
Karena ketika kita awas bahwa waktu yang dimiliki sekarang tidaklah banyak untuk menerima keadaan dengan bahagia apa yang telah diberikan Tuhan, pasti kita akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Baca juga: Waktu Terlalu Berharga untuk Dihargai |
Latihan seperti ini, juga menyadarkan manusia bahwa apa yang dikagumi dan dianggap indah hanyalah fana, selepas malaikat maut menghampiri, semua yang berhubungan dengan materi sudah tiada guna lagi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mengingat kematian itu berarti kita lantas melalaikan dunia? Untuk menjawab itu, kita sebaiknya bisa melihat “aturan emas” yang terdapat di kitab suci umat Muslim dalam surat Al-Qashshah ayat 77 berikut:
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Merujuk aturan itu, kehidupan akhirat dan dunia harus memiliki keseimbangan. Pierre Hadot pernah membuat argumen yang cukup menarik mengenai hal ini. Latihan mati tidak seolah-olah terus-menerus mengingat kematian dan serta merta melalaikan kehidupan dunia.
Malah sebaliknya, latihan mati merayu individu untuk melatih diri hidup secara sejati, melampaui sudut pandang yang sempit, meningkatkan kualitas jiwa ketataran yang lebih tinggi, dan mempunyai perspektif yang luas (Wibowo, 2019: 31).
Pada akhirnya praktik secara nyata dalam masyarakat dan mengingat kematian yang akan datang cepat atau lambat, dapat membentuk kepribadian manusia seutuhnya dan memiliki visi bagus untuk menatap masa depan.
Dua kategori inilah dasar filsafat menjadi perilaku hidup yang mampu membantu memaknai kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan, sehingga individu tetap dalam koridor ilahiah. Semakin anda menjadikan filsafat sebagai perilaku hidup, semakin pula kesalehan yang anda dapat. [DK]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment