Indonesia pada tahun 2020 ini telah mencapai usia 75 tahun. Untuk itu mari merefleksikan kemerdekaan yang telah berpuluh tahun ini.
Merefleksikan 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Usia 75 tahun bagi negara, terbilang masih muda jika berbanding dengan Negara Yunani sebagai pelopor demokrasi yang telah hadir sejak 500 tahun sebelum masehi. Begitu juga jika berbanding dengan Negara Super Power Amerika yang kini telah berusia 244 tahun. Melihat hal itu menjadi wajar jika Indonesia masih meraba-raba bagaimana cara bernegara yang baik dan benar.
Ilustrasi gampang yang menggambarkan Indonesia masih meraba-raba adalah dengan melihat bagaimana proses pembentukan undang-undang yang beberapa tahun ini banyak mendapat sorotan. Pola kepemimpinan yang berubah-ubah mulai dari era Soeharto yang kaku, reformasi mulai mengendur dan sampai Jokowi yang kembali agak kaku.
Serta yang paling terlihat adalah bagaimana upaya pemerintah untuk secara terus menerus meningkatkan integritas para pegawai dan pejabatnya lewat berbagai reformasi birokrasi.
Baca Juga: Tantangan 75 Tahun Indonesia Merdeka |
Mari Saling Berkontribusi
Kondisi ini penting menjadi perhatian, karena dalam usia yang muda ini masyarakat Indonesia harus bersabar menikmati proses yang ada dengan membantu entah lewat kritik yang membangun atau lewat gerakan konkret di masyarakat.
Semisal gerakan advokasi lingkungan untuk mengontrol ketersediaan lahan hijau, gerakan pemerhati korban kekerasan dan perdagangan manusia, Serta gerakan literasi dan lain sebagainya.
Kondisi ini membuat semua lapisan masyarakat dapat berkontribusi secara langsung dalam proses pendewasaan negara dan secara bertahap dapat membantu masyarakat mencapai taraf kesejahteraan. Minimal dalam hal; kebutuhan pangan, tempat tinggal, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan baik fisik maupun mental.
Pesimisme Masyarakat
Memang semua itu rasanya agak sulit terjadi jika melihat kondisi masyarakat hari ini. Mengingat realitas di masyarakat–tanpa bermaksud mengeneralisir–dapat kita jumpai oknum yang terus-terusan mencaci pemerintah dengan kritik yang menjatuhkan.
Selain itu, ada juga oknum yang menyalahkan sistem atau menyalahkan negara. Oknum-okmun tersebut tidak mau tau dan hanya memaki yang justru akan membuat kegaduhan di masyarakat.
Padahal sistem dan negara adalah benda mati yang pasif, dan akan aktif jika terdapat gerakan dari manusia entah itu masyarakat, ataupun pejabat. Oleh karena itu kurang bijak jika menyalahkan sistem atau negaranya. Hal ini merefleksikan bahwa ketika suatu sistem atau negara itu carut-marut pasti di baliknya ada manusia-manusia mbulet yang membuat dan menjalankannya.
Namun realita yang menyedihkan ini jangan justru membuat kita bersikap pesimis dan membabi buta saling menyalahkan. Harusnya sebagai warga negara yang baik, justru terpanggil untuk berkontribusi dalam proses perbaikan yang terjadi. Tentu hal ini harus dengan rasa optimis dan lecutan penyemangat “ketika ada komitmen untuk memperbaiki, maka sudah barang tentu akan dapat terjadi.” Bukan begitu?
Merefleksikan Kemerdekaan dengan Mempertanyakan Eksistensi Masyarakat Indonesia
Dalam merefleksikan kemerdekaan kali ini, saya akan meminjam gagasan tingkat eksistensi manusia Soren Kierkegaard. Gagasan itu membagi eksistensi manusia menjadi tiga tingkatan meliputi estetis, etis dan terakhir religius.
Tiga klasifikasi dalam terpetakan sebagai berikut. tahap estetis ini meliputi masyarakat yang masih sibuk untuk mementingkan diri sendiri. Pemenuhan hasrat individu ini terkadang bertabrakan dengan peraturan serta hak orang lain sehingga menimbulkan polemik dalam kehidupan bernegara.
Tahap selanjutnya adalah tahapan etis yang meliputi masyarakat bermoral dan patuh akan peraturan. Manusia pada tahap ini telah bebas dari belenggu keinginan pribadi dan telah mampu untuk menghargai hak orang lain serta kewajiban atas dirinya sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Tahapan ini juga menjadikan seorang pribadi selalu mempertimbangkan harmoni dalam masyarakat dengan berusaha menciptakan kehidupan yang komunal untuk mencapai kehidupan bersama.
Tahapan terakhir adalah tahapan religius yang bercirikan dengan pribadi yang tercerahkan. Makna dari tercerahkan di sini berarti manusia yang telah mampu menangkap secara jernih kebenaran tanpa terbelenggu oleh kepentingan pribadi atau etika moral masyarakat.
Cara mencapai Eksistesi Tertinggi
Menurut Kierkegaard capaian pada tahap ini, tidak lepas dari campur tangan Tuhan sebagai pencipta kebenaran sekaligus kebenaran tertinggi.
Baca Juga: Quo Vadis Kemerdekaan? |
Gagasan Kierkegaard ini secara sekilas bersesesuaian dengan gagasan manusia sempurna menurut Ibn Al-Arabi. Konsep manusia sempurna itu mensyaratkan kesiapan individu dalam menerima pancaran kebenaran ilahiah. Untuk itu perlu pengembangan ilmu pengetahuan serta pengalaman individu lewat kontemplasi.
Dalam konteks yang lebih luas, pencerahan adalah akumulasi dari proses nature–proses pendewasaan alamiah yang terjadi secara biologis. Serta nurture–proses manusia memaksimalkan seluruh potensi dalam dirinya untuk proses pendewasaan–yang berjalan dalam kehidupannya.
Pada tahap terakhir ini manusia butuh ilmu pengetahuan yang luas, serta proses perenungan untuk memahami hakikat dirinya dan dunia di sekelilingnya. Manusia pada tahap ini tidak lagi terpaku oleh pandangan umum masyarakat.
Potensi diri yang telah mampu melihat kebenaran secara jernih menjadikannya mampu mengkritik pandangan masyarakat yang kurang bersesuaian. Karena terkadang jika terlalu terpaku dengan pandangan masyarakat secara mayoritas menjadikan kita tidak kritis. Akhirnya sulit untuk melihat celah guna melakukan perbaikan.
Kebutuhan akan manusia-manusia pada tingkatan eksistensi ini berguna untuk memastikan keberlangsungan kehidupan bernegara selalu berjalannya. Yaitu untuk memajukan peradaban kemanusiaan dan berselaras dengan zeitgeist (spirit zaman).
Tentu dengan hadirnya orang-orang tercerahkan dapat menggeser orang-orang yang masih terbelenggu oleh kepentingan individu yang distruktif. Oleh karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan yang terbuka dan multidisipliner (lintas keilmuan) menjadi kunci utama. Dengan begitu akan tercipta sumber daya manusia yang tercerahkan.
Pertanyaannya: “Di tahap manakah tingkat eksistensi kemanusiaan kita?”
Wallahualam bisawab.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!
0 Comments