Hermeneutika Al-Qur’an dalam Pandangan Quraish Shihab

Perdebatan hermeneutika Al-Qur’an setidaknya telah memunculkan tiga kubu, yakni kubu pro, kontra, dan kubu yang menengahi keduanya.3 min


-1
Sumber gambar: m.ayosemarang.com

Pembicaraan mengenai hermeneutika memang tak pernah usai, terutama di kalangan akademisi muslim. Sebenarnya pendekatan hermeneutika digunakan oleh para kritikus dalam berbagai bidang kajian seperti sastra, sosiologi, ilmu sejarah, antropologi maupun filsafat, namun di kemudian hari, ini menimbulkan pro dan kontra ketika hermeneutika dijadikan sebuah pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an.

Kritik atas paradigma sentris telah memicu munculnya sebuah paradigma baru, yakni paradigma yang anti-sentris. Jika sebelumnya kebenaran sangat tergantung dan dipengaruhi oleh sentris yang berlaku, maka paradigma anti-sentris membuat kebenaran menjadi sangat relatif. Dari sinilah muncul asumsi pluralitas yang juga didorong oleh adanya kesadaran kontekstualitas dan progresifitas.

Asumsi pluralitas memunculkan sebuah pemahaman baru bahwa setiap teori, setiap konsep, serta setiap pemahaman dan penafsiran tidak akan ada yang mampu mencakup seluruh kenyataan hidup. Oleh karena itu hermeneutika disini dianggap sebagai disiplin kajian yang mampu menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran manusia dalam aspek apapun, karena hermeneutika dianggap sangat mempertimbangkan pluralitas.

Baca Juga: Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir

Dari sisi pro beberapa sarjana muslim seperti Khaled Abou El Fadl menyatakan bahwasannya penerapan metode hermeneutika dalam kajian keislaman akan sangat membantu mengihindari authoritarianism, yakni “menggunakan kekuasaan Tuhan” (author) untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang pembaca (reader) dalam memahami dan menginterpretasikan teks. Hal ini berangkat dari kegelisahannya terhadap fatwa bias gender yang bersumber dari penafsiran yang tidak mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.

Sarjana muslim yang berada di sisi kontra ada Muhammad Mahmud Kalu dan Adian Husaini. Mereka menegaskan bahwa penerapan hermeneutika dikhawatirkan akan berdampak buruk pada keteguhan iman umat Islam tentang status Al-Qur’an yang keotentikannya akan tergugat, hal tersebut karena hermeneutika dianggap sebagai terminologi Barat yang digunakan untuk Bible.

Alasan lainnya adalah karena dengan penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an berarti menyamakan teks Al-Qur’an dengan teks-teks lainnya. Adian Husain juga menganggap bahwa hermeneutika bukan produk tradisi keilmuan Islam, hermeneutika berasal dari tradisi Yahudi/Kristen. Menurutnya, ilmu penafsiran dalam Islam sudah mapan dan tidak memerlukan “barang baru” seperti hermeneutika.

Perdebatan hermeneutika Al-Qur’an setidaknya telah memunculkan tiga kubu, yakni kubu pro, kontra, dan kubu yang menengahi keduanya. Bebeberapa pendapat dari kubu pro dan kontra telah dipaparkan di atas, lalu bagaimana argumen dari kubu yang menengahi keduanya?

Hemat penulis, dalam perdebatan apapun, pendapat tengah akan selalu terlihat lebih bijaksana dan mampu memberikan jalan keluar yang menampung dua atau lebih pendapat berbeda. Oleh karena itu, di tengah-tengah perdebatan hermeneutika yang masih terus bergulir, argumen yang menengahi akan menarik untuk dibicarakan.

Quraish Shihab sebagai salah seorang mufassir dikenal memiliki pandangan wasathiyah. Hal ini tergambar dalam karyanya yang berjudul “Tafsir Al-Misbah”. Kitab tafsir yang becorak al-adabi wal-ijtima’i ini sangat kaya, di dalamnya dapat ditemukan banyak metode penafsiran yang lahir di dunia Arab seperti tahlili, muqaran,ijmali, dan maudhi’i. Lalu bagaimana mengenai hermeneutika dalam pandangan Quraish Shihab?

Baca Juga: Membumikan Al-Quran Ala M. Quraish Shihab

Dalam bukunya yang berjudul “Kaidah Tafsir”, Shihab memaparkan pendapatnya mengenai hermeneutika secara rinci. Ia mengemukakan beberapa argumen ketidak-setujuannya terhadap hermeneutika, dan di sisi lain ia juga memberikan argumen yang menunjukkan sisi positif dari hermeneutika.

Di antara yang ia tolak dari hermeneutika adalah berkaitan dengan anggapan Al-Qur’an sebagai bagian dari produk budaya, sebagaimana yang dikemukakan oleh tokoh hermeneutik muslim Nashr Hamid Abu Zayd. Menurut Shihab pernyataan tersebut bertentangan dengan ayat Al-Qur’an seperti QS. Yunus ayat 15 dan QS. Al-Haqqah ayat 44-47 yang menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang datang dari Allah, bahkan Nabi Muhammad pun tidak dapat mengubah wahyu tersebut.

Selain itu, Shihab berpendapat bahwasannya jika memang Al-Qur’an merupakan produk budaya maka seharusnya saat ini ada orang yang mampu membuat kitab yang sebanding dengan Al-Qur’an, namun nyatanya hingga saat ini tidak ada yang mampu.

Di sisi lain, Shihab menyatakan bahwa tidak semua ide yang diketengahkan oleh pakar hermeneutika merupakan ide yang keliru atau negatif, pasti di antara ide-ide tersebut ada yang baik dan dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan bahkan memperkaya penafsiran. Hal ini dapat terlihat dari adanya titik temu antara hermeneutika dengan Ulumul Qur’an. Menurut Shihab, hermeneutika memiliki landasan-landasan yang sejalan dengan Ulumul Qur’an.

Sebagaimana pula dikemukakan oleh Farid Esack, bahwa praktik hermeneutik sebenarnya sudah dilakukan oleh umat Islam sejak lama. Dapat dilihat dari adanya kajian asbabun nuzul dan nasikh-mansukh yang mengindikasikan adanya pertimbangan konteks dalam menafsirkan Al-Qur’an, lalu adanya kategori corak tafsir sesuai madzhab dalam tafsir Al-Qur’an tradisional yang mengindikasikan adanya kesadaran tentang kelompok, ideologi, periode maupun horizon sosial tertentu dalam tafsir.

Quraish Shihab memberikan kesimpulan yang netral, bahwa jika hermeneutika digunakan untuk menafsirkan dan memahami kosa kata, konteks, serta makna yang tersembunyi dalam Al-Qur’an maka dianggap penting untuk mempelajari hermeneutika.

Oleh karena itu Shihab mengkritik sikap anti-hermeneutika, menurutnya menolak secara mentah-mentah hermeneutika merupakan sikap yang tidak wajar mengingat bahwa beberapa prinsip hermeneutika juga sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh ulama Islam dalam ilmu tafsir Al-Qur’an.

Hemat penulis sejauh ini perdebatan yang tengah terjadi antara kubu pro dan kubu kontra terjadi karena adanya perbedaan dalam mendefinisikan hermeneutika itu sendiri. Di satu sisi pihak pro memberikan definisi yang luas terhadap hermeneutika, sehingga mereka sampai pada melihat titik temu antara hermeneutika dengan ilmu tafsir Al-Qur’an. Sedangkan pihak kontra memberikan definisi yang lebih sempit terhadap hermeneutika, yakni metode yang dianggap akan menggugat keotentikan Al-Qur’an.

Baca Juga: Pro Kontra Hermeneutika Sebagai Metode untuk Menafsirkan Alquran

Quraish Shihab memberikan pandangan yang menengah tentang hermeneutika Al-Qur’an. Berdasarkan pada argumen Shihab di atas baik yang menolak maupun yang menerima aspek dalam hermeneutika, maka dapat disimpulkan bahwa masuknya hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an sepatutnya dijadikan sebagai proses adaptasi, bukan adopsi.

Sehingga di dalamnya akan ada proses seleksi dan mengkritisi antara prinsip hermeneutika yang dapat diterima karena sejalan dengan prinsip Islam, serta prinsip hermeneutika yang tidak dapat diterapkan karena tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam.

wallahu ‘alam

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

-1
Noviane Rizka Azhari
Mahasiswa

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals